Mohon tunggu...
Mahdi Nurianto
Mahdi Nurianto Mohon Tunggu... -

Staff Kajian Energi Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan (HMTM) "PATRA" ITB

Selanjutnya

Tutup

Money

Darat atau Laut? Masih Menjadi Kontroversi di Blok Masela

23 November 2015   12:52 Diperbarui: 23 November 2015   13:01 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

        “Indonesia kaya akan minyak dan gas”, sebuah kalimat yang sudah menjadi mindset banyak orang. Padahal pada kenyataannya tidaklah demikian. Untuk cadangan gas alam sendiri, Indonesia

Gambar: Negara-negara yang memiliki cadangan gas alam terbukti terbesar (BP Statistical Review)

menempati posisi ke-14 dalam hal cadangan gas alam terbukti (BP Statical Review). Dari fakta tersebut, mungkin kita berpikir bahwa Indonesia termasuk kaya akan gas. Namun, menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menunjukkan bahwa terdapat defisit antar Supply  dan Demand gas alam di Indonesia, yang berarti Supply gas alam di Indonesia lebih kecil daripada kebutuhan di Indonesia akan gas alam itu sendiri (Kementerian ESDM, 2012). Hingga terus kedepannya, konsumsi gas alam di Indonesia akan semakin meningkat sehingga mengakibatkan demand akan gas alam semakin meningkat. Bila kita bandingkan dengan negara Malaysia, produksi gas alamnya jauh melampaui konsumsi gas alamnya. Pada tahun 2012, Malaysia memproduksi sekitar 2100 ribu barrel per hari dan hanya mengkonsumsi sekitar 1100 ribu barrel per hari.

 

Gambar: Grafik produksi dan konsumsi gas alam di Malaysia

         Dengan fakta yang telah dipaparkan di atas dan dengan menyadari bahwa gas alam merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan akan habis nantinya bila diproduksi secara terus menerus, maka perlu kita diskusikan ulang orientasi pemanfaatan gas alam ini. Selama ini, di Indonesia, migas dianggap sebagai komoditi. Migas dianggap sebagai sesesuatu yang hanya diorientasikan sebagai bahan dagang. Sehingga hal ini akan berdampak kepada mengeksploitasi sebanyak mungkin tanpa memperhitungkan efek positif yang dapat ditimbulkan dari eksploitasi tersebut. Seharusnya, dalam posisi Indoesia saat ini, perlu diubah orientasinya dari migas sebagai komoditi, menjadi migas sebagai pendorong penggerak ekonomi suatu daerah pada khususnya dan nasional pada umumnya.

         Orientasi memanfaatkan migas sebagai pendorong penggerak ekonomi sangat penting dalam membangun ekonomi bangsa ini. Dengan orientasi ini, eksploitasi migas akan mengakibatkan banyak pihak yang akan merasakan efek positifnya. Dengan adanya ekspoitasi migas, akan berdampak pada tergeraknya sektor-sektor ekonomi lain, seperti industri

Gambar: Supply dan Demand gas alam di Indonesia

petrokimia, industri pupuk, dan sebagainya. Dengan berkembangnya di sektor tersebut, tentu akan mengakibatkan sektor-sektor pendukung, seperti transportasi dan permukiman, akan tumbuh dengan pesat. Efek ini kita kenal sebagai The Multiplier Effect. Oleh karena itu, Skala prioritas pertama penggunaan gas alam adalah sebagai industri, lalu pembangkit listrik, dan yang terakhir baru ekspor. Jangan sampai gas dijadikan sebagai komoditi dan ekspor gas sebagai skala prioritas pertama.

          Saat ini, The Multiplier Effect dari migas telah terjadi di berbagai belahan dunia, salah satunya di Darwin, Australia. Di laut sekitar Darwin, yakni Laut Timor, terdapat lapangan minyak dan gas yang berproduksi. Kemudian, minyak dan gas ini dikirim melalui pipa bawah laut ke Darwin. Lalu, kemudian diolah disana. Dengan demikian, banyak lapangan pekerjaan yang timbul akibat pengolahan migas ini, yakni petrokimia dan industri lainnya. Hal ini berakibat meningkatnya ekonomi Kota Darwin dan sekitarnya secara pesat.

 

Blok Masela: Sebuah peluang dan tantangan

Gambar: Letak Blok Masela

           Blok Masela, merupakan sebuah blok dominasi gas yang berada di Laut Arafuru di Indonesia bagian timur. Saat ini,  Blok Masela dikelola oleh Inpex Corporation (Jepang) bersama Shell (Belanda). Blok ini telah dieksplorasi dan direncanakan akan dieksploitasi. Berdasarkan data dari SKK MIgas, cadangan terbukti gas bumi di Blok Masela adalah 10,73 triliun kaku kubik (TCF). Dengan cadangan gas sebesar itu, maka cadangan kondensat di blok tersebut juga banyak, yakni sebesar 209 juta barrel.

            Walaupun Blok Masela memiliki potensi yang begitu besar, namun pada kenyataaannya Blok Masela memiliki banyak tantangan untuk dikembangkan. Salah satunya adanya letaknya yang di lepas pantai. Kedalaman laut di sekitar lokasi berkisar antara 500 sampai 800 meter. Kemudian letaknya yang jauh dari kota besar turut menambah kesulitan dalam pengembangan lapangan ini.

 

Dua opsi pengembangan yang kontrofersi

          Pengembangan lapangan gas sangat berbeda dengan pengembangan lapangan minyak. Gas tidak seperti minyak yang dapat langsung ditransportasikan. Gas perlu dilakukan proses likuifaksi (Liquefaction) di kilang LNG (Liquefied natural gas ) untuk memproses gas alam menjadi gas alam cair atau LNG. Pencairan ini dilakukan agar gas bumi dapat disimpan dan diangkut kepada pengguna. Moda transportasi LNG diterapkan apabila penyaluran gas bumi dengan jaringan pipa tidak dapat dilakukan karena tidak memenuhi aspek keekonomian.


Gambar: Floating LNG processing Plant


         Pada dasarnya, tidak semua lapangan gas perlu dilakukan proses likuifaksi di kilang LNG. Bila gas yang diproduksi langsung digunakan oleh daerah sekitar tentu tidak diperlukan proses ini. Namun, dalam konteks Blok Masela, lapangan gas tersebut jauh dari daratan yang mengonsumsi gas alam yang tinggi. Sehingga perlu dibuat kilang LNG untuk pendistribusian ke daerah-daerah yang tingkat konsumsi gas alam yang tinggi. Oleh karena itu, untuk mengembangkan Blok Masela, pembanguan kilang LNG sudah tentu harus dilakukan.

         Untuk pembangunan kilang LNG di Blok Masela, terdapat dua opsi yang ditawarkan. Pertama, membangun kilang di daratan (Onshore). Lalu opsi kedua yakni membangun kilang LNG terapung  (Floating LNG/FLNG). Kedua opsi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

          Untuk FLNG, kelebihan pertama yang dimiliki adalah masalah waktu konstruksi. Pembangunan FLNG secara total membutuhkan waktu relatif lebih singkat dibandingkan pembangunan kilang LNG di darat. Selain itu, FLNG dinilai lebih tahan dalam menghadapi gempa dan tsunami. Menurut Dekan Fakultas Teknologi Kelautan ITS, Eko Budi Djatmiko, menyatakan bahwa FLNG Masela sudah didesain dengan asumsi risiko hingga ketinggian gelombang laut mencapai 10 meter.

          Namun, dari semua kelebihan yang dimiliki oleh FLNG, terdapat berbagai kekurangan yang dimilikinya. Pertama adalah masalah The Multiplier Effect yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan menggunakan FLNG, maka akan lebih sedikit menghasilkan efek yang positif terhadap perkembangan ekonomi di sekitar Blok Masela. Selain itu, FLNG juga merupakan teknologi baru yang hanya sedikit dari lapangan migas di dunia yang menggunakan teknologi ini. Sehingga, track record dari teknologi ini belum sebanyak dari teknologi kilang LNG di daratan.

Gambar: LNG Plant onshore

           Berbeda dengan FLNG, kilang LNG di daratan, walau waktu konstruksinya lebih lama dan membutuhkan komponen yang lebih banyak , pembangunan kilang LNG di daratan akan menimbulkan The Multiplier Effect seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pembangunan kilang LNG di daratan, yakni di wilayah Aru, akan menjadikan Aru menjadi kota besar layaknya Balikpapan karena adanya pipa dan pengolahan gas dari Blok Masela. Walau dibutuhkan pipa sepanjang 600 km dari Blok Masela ke Pulau Aru, menurut Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Kamli,  pembangunan kilang LNG di daratan, yakni di Pulau Aru, akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan dan akan menyedot banyak tenaga kerja. Sehingga perekonomian di Pulau Aru pada khususnya dan Indonesia timur pada umunya akan berkembang dengan cepat.

            Dalam hal total investasi pembangunan kedua opsi tersebut, terdapat perbedaan antara hitungan menurut Bapak Rizal Kamli dengan Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi. Menurut Bapak Rizal Kamli, total investasi untuk pembangunan kilang LNG di darat hanya mencapai US$ 14,6 miliar sementara FLNG mencapai US$ 19,3 miliar. Sedangkan menurut Bapak Amien Sunaryadi, total dana yang dibutuhkan untuk membangun FLNG hanya mencapai US$ 14,8 miliar, atau lebih murah US$ 4,5 miliar dari total pembangunan LNG di darat yang diperkirakan mecapai US$ 19,3 miliar.   

             Dari penjelasan di atas, telah terlihat bahwa masing-masing opsi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun, saat ini, sudah seharusnya kita berpikiran bahwa bukan energi yang mengikuti manusia, tapi manusialah yang mengukuti energi tersebut. Dengan  memandang migas sebagai pendorong penggerak ekonomi, tentu opsi mengembangkan Blok Masela dengan menggunakan kilang LNG di daratan merupakan pilihan yang paling memungkinkan. Kilang LNG di daratan akan mengakibatkan Multiplier effect yang menciptakan banyak lapangan pekerjaan dan akan menyedot banyak tenaga kerja, khususnya di Pulau Aru. Dengan adanya kilang LNG di daratan, maka akan terbentuk pabrik-pabrik seperti pabrik pupuk. Terlebih lagi industry-industri pendukung pengilangan akan semakin tumbuh subur di sekitar kilang LNG tersebut. Sehingga, ekonomi di Pulau Aru pada khususnya dan Indonesia Timur pada umumnya akan meningkat secara signifikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun