Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sweet Karma dari Kompasiana

11 Februari 2021   08:12 Diperbarui: 11 Februari 2021   08:19 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: kompasiana.com

Setiap menuliskan wacana, "rasa" di hati seperti terbata-bata dan terbebani oleh tuntutan kaidah bahasa dan logika. Padahal rasa tidak ada sangkut pautnya dengan hukum logika. Berulang kali, setiap aku  menulis, hasilnya seperti terasa kaku, garing dan mengekang. Tulisan pun ibarat fatwa filsafat yang menjemukan.

Begitulah omelan pikiranku ketika mengevaluasi bagaimana aku menuliskan ide dan pemikiran. Seperti ada sesuatu yang kurang. Tulisan seperti sayur kekurangan bumbu yang melezatkan. Bukannya mencerahkan, setiap tulisan menjadi terasa seperti makanan yang membuat tenggorokan keselek ketika ditelan.

Namun, mungkin ada benarnya apa yang dikatakan orang bahwa setiap penulis memiliki gaya tersendiri. Ada tulisan yang bercita rasa seni sastra, puisi, cerita atau diari. Ada juga tulisan yang bercita rasa akademik, referensi, teori atau filsafat. Aku pun tidak tahu, tulisanku termasuk jenis yang mana.

Barangkali, kaidah umum yang disepakati sekarang ini, telah membuat nilai tulisan seakan terikat oleh aturan dan kaidah yang dipaksakan. Lihat saja bagaimana kursus-kursus atau tips dan trik menulis disajikan. Buku-buku keterampilan menulis pun disusun sedemikian yang memuat kaidah penulisan.

Padahal, pada waktu dulu, prasasti-prasasti ditulis tidak berdasarkan kaidah penulisan seperti sekarang. Bahkan kitab suci pun disajikan tidak dalam bentuk seperti karangan manusia kebanyakan. Bahasanya kadang terdengar aneh. Urutan dan kronologinya kadang acak tidak beraturan.

Tetapi walau tidak terikat oleh aturan kaidah penulisan seperti sekarang, prasasti, naskah kuno, dan kitab suci tetap menarik perhatian orang untuk diteliti dan dipelajari. Semua ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan kaidah dan aturan penyampaian tulisan masa kini. Semua itu berkaitan dengan makna tulisan.

***

Mengenang kembali ke masa silam di saat mulai menulis di Kompasiana ini, sebenarnya aku tidak punya tujuan khusus kenapa menulis dan untuk apa. Awal-awal menulis dulu motifnya hanya untuk menumpahkan ide yang ada di kepala daripada diutarakan di depan orang dengan tidak karuan.

Beberapa orang mungkin menulis dengan tujuan untuk mengasah keterampilan sehingga satu saat nanti tulisannya bisa laku di penerbitan. Beberapa orang mungkin menulis dengan motif sebagai hobi yang mendarah daging selama hidupnya. Beberapa orang mungkin menulis tanpa tujuan dan maksud sepertiku.

Semua motif tersebut pada akhirnya bermuara pada hasil tulisan yang tersaji. Hasil tulisan yang dibaca orang pun memberikan umpan balik psikologis yang menyenangkan. Hidup menjadi terasa mendapatkan pengakuan ketika beberapa orang membaca tulisan kita, mengomentari atau sekadar memberi rating.

Banyak juga tulisanku masuk dalam kategori headline di Kompasiana ini. Ketika hal itu terjadi, maka peluang untuk semakin banyak dibaca orang menjadi terbuka lebar. Peluang untuk menambah pundi-pundi rating pun makin besar. Headline tulisan seakan menjadi parameter dari segi kualitas tulisan yang disajikan.

Bagi diriku sendiri, cukuplah imbalan tersebut menjadi bukti bahwa apa yang dituliskan tidak buruk-buruk amat untuk dinikmati. Selebihnya, biarlah waktu yang akan menjawab mau ke mana aku dengan tulisan tersebut pada akhirnya kelak. Yang penting sekarang, jika mood menulis keluar, maka menulislah.

Barangkali beberapa pembaca juga merasakan hal yang sama dengan apa yang saya rasakan selama ini. Memang demikianlah tulisan yang kita buat pada akhirnya akan menjadi sesuatu yang direspons dan dinilai orang dari berbagai sudut pandang. Semua terserah kepada para pembaca.

***

Sikap tidak peduliku dengan tulisan di Kompasiana, pada akhirnya membuahkan pengakuan tersendiri dari tim redaksi. Setelah beberapa waktu, tiba-tiba di halaman profilku ada centang biru yang oleh kebanyakan orang ditunggu-tunggu. Padahal aku sendiri tidak tahu menahu akan hal itu.

Namun, akhirnya aku mengambil pelajaran dari munculnya centang biru yang tiba-tiba datang seperti hantu itu. Ternyata ada beberapa hal yang mungkin menjadikan pertimbangan tim redaksi untuk menyematkan tanda centang biru pada profilku.

Di antara tebakanku mengenai hal itu adalah seorang penulis Kompasiana akan diganjar dengan centang biru jika ia konsisten menulis dalam sebuah tema tertentu. Kebetulan aku sendiri selama ini sering menulis dalam kategori humaniora dan sosial budaya. Mungkin konsistensi itu menjadi hal yang utama.

Selain itu, tebakanku tentang penyebab ganjaran centang biru itu adalah sistematika dan logika pikir dalam menyajikan tulisan. Sedikit banyak ini menyangkut kaidah tulis menulis seperti tata bahasa, gaya tulisan atau alur argumen yang disajikan.

Selanjutnya adalah kejujuran. Kejujuran di sini mungkin berkaitan dengan disiplin keilmuan atau minat yang kita miliki. Tulisan yang kita sajikan ke hadapan pembaca, sebenarnya bisa menjadi jendela untuk menilai seseorang secara keilmuan atau kesukaannya.

Mereka yang sukanya mengamati hiruk pikuk politik, akan banyak menulis tema tentang politik. Ketika menulis tema tersebut, sudah pasti dia menggunakan kemampuan pengetahuannya dalam bidang politik. Mereka yang punya hobi sepak bola, pasti akan banyak mengulas tentang pertandingan sepak bola.

Akhirnya, sikap tidak peduliku terhadap gaya tulisan, tema tulisan, respons terhadap tulisan yang kusajikan di Kompasiana ini membuahkan sweet karma berupa centang biru. Centang yang malah menambah beban moral penulis untuk membuat tulisan yang bermutu.

Maka bagi Anda yang belum ketiban centang biru, tidak usah galau dan menunggu. Tulis saja apa yang ada di dalam benak dan pikiran. Selanjutnya biarlah konsistensi tema, taat kaidah tulisan dan kejujuran yang bekerja.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun