Jadi intinya kelebihan dalam membayar hutang boleh diberikan jika tidak disebutkan di dalam akad. Selain itu, ia juga boleh apabila memang sudah menjadi kebiasaan di antara yang memberi hutang dan yang berhutang.
Ini penting di dalam kaidah Islam karena di dalam Islam akad mengenai hubungan antar sesama manusia ini dibagi menjadi dua: akad sosial (tabarru') dan akan komersial (muawadlah). Hutang-piutang di dalam Islam masuk di dalam akad sosial yang bermotifkan tolong menolong. Jadi tidak boleh mendapatkan keuntungan darinya.
Sedangkan jika seseorang berniat mendapatkan keuntungan dari hubungan antar manusia tersebut, maka akad komersial seperti jual beli, kerjasama bagi hasil dan lain-lain, boleh dilakukan. Maka, dari akad demikianlah keuntungan diperbolehkan, bukan dari dari hutang-piutang.
- Lakukan pencatatan atau pembukuan dalam urusan hutang-piutang
Untuk menghindari kesahpahaman di antara mereka yang terlibat transaksi hutang, maka harus dilakukan pembukuan dan pencatatan. Saya rasa hal ini sudah menjadi kebiasaan yang diberlakukan di manapun. Apalagi pada lembaga-lembaga yang "memberikan pinjaman", pastilah ada pencatatannya.
Jika ruang lingkupnya pribadi pun, pencatatan hutang-putang ini wajib hukumnya. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi perselisihan baik mengenai nominal, waktu bayar atau kesepakatan lainnya.
Betapa pentingnya menuliskan hutang-piutang ini sampai Allah menyuruhnya langsung melalui firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar..."Â (2:282)
- Ketika berhutang hendaknya seseorang berniat untuk segera melunasinya
Kebiasaan berhutang terkadang sering membuat orang menganggap enteng di dalam membayarnya. Menunda-nunda pembayaran hutang bukanlah kebiasaan yang baik.
Jika berhutang semestinya sesegera mungkin untuk melunasinya. Karena secara etika saja, kita sudah dibantu oleh orang lain atau pihak lain dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Masa kemudian kita justru malah membalasnya dengan cara menunda-nunda pelunasan hutangnya.
Anjuran ini begitu penting sampai-sampai mereka yang berhutang dan tidak membayar hutangnya, dianggap sebagai pencuri. Artinya, harus ditindak sebagaimana seorang pencuri. Hal ini selaras dengan hadis Nabi SAW:
"Orang mana saja yang berhutang dan berniat tidak membayarnya, maka ia akan datang menghadap Allah sebagai seorang pencuri."Â (HR. Ibnu Majah)
- Ketika melunasi hutang hendaknya si penghutang melunasi dengan cara yang baik