Agama memiliki berbagai dimensi dan terkadang menimbulkan perbedaan pemaknaan dan pendefinisian. Untuk menghindari penekanan parsial ini, para sarjana dalam kajian agama lebih menyukai definisi agama yang multikategori dan multidimensi.
Frederick Streng menggambarkan agama melalui tiga dimensi dasarnya yaitu dimensi personal, kebudayaan dan ultimate. Eric Sharpe membedakannya menjadi empat macam dimensi yaitu dimensi eksistensial, intelektual, institusional dan etik.
Charles Glock membedakannya menjadi lima dimensi yaitu dimensi ekspresiensial, ideologis, ritualistik, intelektual dan konsekuensial. Ninian Smart mengategorikan agama menjadi enam bahkan tujuh dimensi yaitu dimensi mistis atau naratif, ritual, sosial, etis, doktrinal, pengalaman dan materil.
Dari semua dimensi tersebut yang paling utama adalah adanya dimensi Tuhan, yang suci, transenden dan sakral (sacred).Â
Beranjak dari kategorisasi dan multidimensinya pengertian agama, maka Peter Connolly sendiri mengartikan agama sebagai beragam keyakinan yang mencakup penerimaan kepada yang suci (sacred), wilayah transempiris dan berbagai perilaku yang dimaksudkan untuk mempengaruhi relasi seseorang dengan wilayah transempiris tersebut.
Polimetodik Kajian Agama
Beragamnya dimensi agama tersebut mengharuskan seorang pengkaji untuk menggunakan metode yang disebut Ninian Smart sebagai Polymethodic. Tanpa menggunakan metode demikian, maka dimensi-dimensi keagamaan tidak akan bisa dijelaskan secara holistik.
Metode ini mengharuskan para pengkaji agama di samping menggunakan sebuah pendekatan tertentu misalnya filsafat, sebagai pendekatan utamanya, juga menggunakan jenis pendekatan lainnya, seperti pendekatan sosial atau pendekatan lainnya.
Melalui cara ini maka kajian agama di samping bersifat spesifik terhadap pendekatan utamanya, juga bersifat general dengan pengayaan pendekatan lainnya yang digunakan bersamaan.
Keragaman perspektif, definisi dan metode di dalam memahami agama ini, diharapakn bisa menjelaskan agama bukan saja sebagai fenomena doktrinal dan sumber ajaran sakral saja, tetapi juga sebagai fenomena kultural profan yang melekat di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.(*)
Bersambung...