Atau apakah ia masuk ke dalam ruang eksistensi lain yang tidak diketahui oleh orang-orang normal di sekitarnya? Manusia normal tidak akan mampu memasuki dunia kegilaan jika ia mempertahankan kenormalannya. Ibaratnya, ia tidak akan bisa masuk ke dalam dunia hewan apabila ia tetap menjadi seorang manusia.
Hanya dengan menjadi hewan, manusia bisa mengetahui dan merasakan bagaimana dunia hewan yang sejatinya. Perbedaan dua dunia ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan mengandai-andaikan keduanya. Eksistensi masing-masing makhluk selalu tegas berada di dalam jenis penciptaannya.
Multi Agen dalam Penilaian
Tidak bisa dikatakan bahwa hanya manusia yang eksis dan menjadi penentu keberadaan yang lainnya secara makna. Karena Tuhan tidak hanya menciptakan manusia yang kemudian memaknai segalanya. Emas tetaplah emas walaupun tidak ada manusia.
Tidak semua hal bernilai ekstrinsik di mata manusia. Nilai selalu melekat di dalam kedirian objek sendiri. Tuhan tidak mewakilkan penilaian segala sesuatu hanya kepada manusia. Seekor simpanse diberikan kekuasaan dalam menilai betapa berharganya buah apel yang ada digenggamannya. Seekor ayam jago memberikan nilai kepada ayam betina sehingga dia tahu bagaimana melanjutkan keturunannya.
Jika manusia hanya menjadi satu-satunya pengendali nilai di dunia ini seperti kata orang-orang eksistensialis itu, maka monopoli nilai akan menjadi penyebab manusia melecehkan alam semesta. Hanya karena manusia sepakat untuk tidak menganggap bahwa sampah itu tidak berharga, maka kemudian manusia membuangnya?
Tetapi lihatlah bahwa bahkan dari  kalangan manusia itu sendiri banyak yang memberi nilai terhadap sampah. Ada orang yang memberikan nilai ekonomis, ada yang memberikan nilai estetis, bahkan ada yang memberikan nilai akademis terhadap seonggok sampah. Belum lagi ada orang yang memberikan nilai teologis terhadapnya bahwa ia ada karena dikehandaki oleh-Nya.
Bahkan jika seluruh umat manusia dimuka bumi ini menganggap sampah tidak ada nilainya, maka itu tidak berarti sampah tersebut benar-benar tidak bernilai. Hanya manusia saja yang belum atau tidak mampu menangkap kandungan nilai dari seonggok sampah tersebut. Manusia terlalu bodoh di dalam menilai semua yang ada. Keterbatasan dan keangkuhan eksistensialis manusia adalah penyebab kebodohannya.
Penilai Absolut
Tidak ada yang diciptakan oleh Tuhan yang tidak bernilai. Tidak peduli apakah manusia mengakui atau tidak mengakui terhadap nilai tersebut. Bahwa eksistensialis mengatakan hanya manusialah yang memiliki perangkat makna dalam penilaian, maka hal itu tidaklah akan menggugurkan fakta bahwa alam semesta dan yang ada ini bernilai di mata Tuhan.
Jika penilaian selalu didasarkan pada eksistensi manusia, maka keragaman dan relativitas penilaian akan selalu menjadi sumber malapetaka. Peperangan bahkan sering terjadi hanya karena berbeda di dalam menilai sebuah peristiwa atau objek benda. Tidak ada peperangan yang tidak didasari oleh perbedaan di dalam penilaian.