Setiap orang memiliki pemahaman berbeda terhadap sebuah konsep tentang apa pun itu. Konsep tentang teori evolusi, konsep tentang teori big bang atau konsep tentang kuliner bahkan konsep tentang bakwan dan siomay. Satu objek pengetahuan yang dipahami dan direnungi kemudian dijadikan sebuah "kebenaran informatif" bagi diri sendiri, itu merupakan manifestasi dari arti kebenaran yang sesungguhnya.
Tingkat-tingkat kebenaran itu tidak harus sama. Ketika mengatakan bahwa jalan di desa waktu malam itu gelap gulita karena tidak ada secuil cahaya pun yang menyinari bumi, itu benar. Dan ketika mengatakan suasana malam di jalan-jalan protokol di Jakarta itu terang karena disinari lampu-lampu jalanan, itu juga benar. Jadi sifat dan atribut dari jalan di malam hari ternyata beragam.
Kebenaran yang Relatif Terhadap Cara Berlaku
Lalu di mana letak kebenaran yang sesungguhnya? Menurut saya, jika kedua konsep tentang jalan tersebut merupakan kebenaran, maka itu baru sekadar kebenaran dalam pengertian objektif atau subjektif sifatnya. Kebenaran yang relatif kepada cara pandang orang yang mengalami keadaan malam tersebut.
Tetapi ia belum menjadi kebenaran interpretatif fungsional aksiologis dan aplikatif. Maksudnya adalah bagaimana seseorang yang menyusuri jalan yang gelap atau terang itu melakukan adaptasi untuk kepentingan dan keselamatan dirinya. Itu adalah  kebenaran di dalam perilaku dan implikasi bagi seseorang.
Atau bagaimana ketika orang menyusuri jalanan protokol yang terang benderang di Jakarta melakukan apa yang menurutnya benar. Mungkin dia menyusuri jalan untuk mencapai suatu tempat dengan benar, atau mungkin dia menyusuri jalanan tersebut dengan maksud dan tujuan yang merugikan orang lain. Maka kebenaran tentang terangnya jalan tidak menjamin timbulnya perilaku yang benar juga.
Kedua konsep jalan terang dan jalan gelap pada akhirnya tidak menjadi dan tidak memberikan manfaat apa pun jika orang yang memahami konsep tersebut tidak melakukan apa-apa. Karena pengetahuan yang tanpa kebenaran aplikatif dan kebenaran fungsional, tidak ada artinya sama-sekali.
Kita ambil contoh lagi misalnya, Tak seorang pun akan meragukan kebenaran konsep-konsep ajaran yang ada di dalam kitab suci setiap agama. Tetapi keyakinan akan konsep kebenaran demikian itu tidak akan ada artinya apa-apa jika tidak sampai menjadi pegangan di dalam berperilaku sehari-hari.
Kebenarannya hanya tinggal menjadi kebenaran yang diarsipkan di rak-rak buku dan meja-meja belajar saja. Tetapi tidak menyentuh kepada kebenaran di alam interaktif antara satu manusia dengan manusia lainnya. Kebenaran yang masih menggantung dalam konteks kemanfaatan bagi yang meyakininya. Itu sebabnya sebuah kebenaran tidak ada artinya jika hanya ada di dalam pikiran semata-mata.
Keliru dalam Pemahaman, Benar dalam Laku dan Garis Batas
Kebalikan dari itu semua adalah ketika seseorang ditengarai melakukan kesalahan konseptual, tetapi yang bersangkutan melakukan hal yang benar berdasarkan konsep yang salah tersebut. Misalnya saja, menurut orang yang punya penyakit asam lambung, ia mengatakan bahwa kopi itu tidak ada manfaatnya. Padahal siapa sih orangnya yang akan membenarkan pemahaman orang tersebut terhadap kopi?
Tetapi ketika pemahaman bahwa kopi itu tidak ada manfaatnya, berguna bagi dia sebagai orang yang menderita penyakit lambung, maka tidak ada alasan untuk memaksanya mencabut pernyataan tersebut. Toh manfaat dari ungkapan tentang kopi yang tidak ada manfaatnya itu berguna bagi dia dan dia tidak ada masalah dengan keyakinannya itu.
Akan selalu ada garis demarkasi di mana  kita harus sadar kapan harus mengoreksi kebenaran yang diyakini orang lain, kapan harus berhenti untuk mengoreksinya meskipun kita tahu akan letak kesalahannya.
Pengetahuan terhadap objek kebenaran tidak akan menjamin seseorang bertindak benar dalam praktiknya. Begitu juga sebaliknya, pemahaman yang salah tentang objek kebenaran tidak akan menjamin munculnya kesalahan susulan yang lainnya. Selalu ada kejutan di dalamnya. Jadi tidak perlu "gumun" dengan peristiwa yang tidak linear jalannya.
Batas tersebut tidak selalu sama antara satu orang dengan yang lainnya. Jika batas-batas itu dilanggar, maka saling mengotot di dalam kebenaran versi masing-masing akan menjadi peristiwa yang menggelikan. Perdebatan selalu muncul ketika satu orang tidak tahan untuk melakukan koreksi terhadap kesalahan orang lain yang menurutnya tidak demikian seharusnya.
***
Maka kebenaran itu tidak menampilkan diri di dalam satu bentuk dan satu dimensi saja. Meskipun ada kebenaran-kebenaran yang sifatnya objektif diakui secara universal seperti terbitnya matahari di timur dan tenggelamnya di barat, tetapi ada kebenaran yang diyakini seseorang yang mungkin salah menurut orang lain. Tetapi yang bersangkutan merasa nyaman dengan keyakinan tersebut.
Dalam hal ini mungkin istilah pengetahuan yang disertai dengan kebijakan menjadi penting. Orang tidak cukup hanya sekadar tahu tentang sesuatu, tetapi juga harus bijak kapan menggunakan pengetahuan yang benar menurutnya tersebut agar tidak merusak keyakinan kebenaran yang dianut orang lain.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H