Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Kritik Sudah Menjadi Barang Antik

28 Juli 2018   06:15 Diperbarui: 28 Juli 2018   07:52 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: bhphotovideo.com

Di zaman yang serba terhubung sekarang ini, kritik sudah mulai menjadi barang mewah yang tidak semua orang bebas memilikinya. Kritik (bukan kecaman) sering dikaburkan oleh sebagian orang dengan menganggapnya sebagai cemoohan dan hasutan. Padahal tidak mesti harus diartikan demikian.

Satu waktu saya pernah menulis artikel di situs tetangga. Artikel yang berisi "sentilan halus" mengenai sikap dan perilaku tokoh yang oleh kebanyakan orang pun dianggap kurang simpatik. Alih-alih mendapat apresiasi karena mengikuti cara berpikir orang banyak, malah tulisan dicaci-maki oleh pengagumnya seolah tulisan tersebut dimaksudkan untuk menjelekkan tokoh pujaannya. Padahal tidak demikian adanya.

Menurut saya pribadi, sebuah tulisan kritis tentang sesuatu itu mutlak diperlukan. Ibarat dokter yang berusaha mendiagnosis kelainan dalam tubuh seseorang, maka kritik pun menjadi boleh-boleh saja dilakukan. Karena tanpa adanya kritik, setiap orang akan melaju kencang dengan kebenaran versi dirinya sendiri tanpa ada yang mengingatkan.

Tetapi, ternyata mengungkapkan kritik tidak semudah yang dikira. Ada beberapa sebab yang mungkin bisa jadi bahan renungan, mengapa sebuah kritik menjadi barang mewah saat sekarang ini.

Sikap Kultus Individu

Mengidolakan seseorang sebenarnya tidak salah. Sikap demikian menjadi hak siapa pun dalam bersosialisasi di tengah kehidupan. Ketika mengidolakan seorang tokoh, terutama tokoh politik, orang secara tidak sadar, akan mudah terjerembap ke dalam sikap mengkultuskan. Ini sikap yang membahayakan. Mengapa demikian? Karena kultus adalah:

Penghormatan resmi dalam agama; upacara keagamaan; ibadat; sistem kepercayaan; penghormatan secara berlebih-lebihan kepada orang, paham, atau benda; -- individu; penghormatan secara berlebihan kepada seseorang.

Demikian pengertian kultus menurut KKBI. Pengertian yang mengandung dua wilayah yang berbeda. Wilayah agama dan wilayah kemanusiaan. Kedua wilayah ini sering menimbulkan sikap yang tumpang tindih dan salah penempatan.

Selama kultus itu berada pada tataran wilayah agama, saya rasa itu tidak menjadi masalah. Karena agama memang mengharuskan pemeluknya untuk mendudukkan tokoh atau ajarannya di posisi yang disakralkan.

Tetapi ketika kultus sudah masuk ke dalam wilayah interaksi kemanusiaan, maka urusan menjadi lebih ruwet. Karena seseorang yang sudah mengkultuskan orang lain baik itu sebagai tokoh agama (di luar para nabi), tokoh politik atau tokoh dan figur apa pun, ia cenderung menutup kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang muncul darinya.

Absolutisme kultus individu terkadang menjadi pengganti sikap rasional para pengagumnya. Tokoh itu tidak bisa salah, tokoh itu terlalu suci untuk dikritik atau dicemooh. Padahal tidak ada di dunia ini orang yang benar-benar suci dan terbebas dari kesalahan.

Nilai dari Sebuah Pengharapan

Jika kita meminjam teori expectancy value yang dicetuskan oleh Martin Fishbein dari situs ini, maka akan kita dapati apa yang disebut sebagai nilai pengharapan. Teori ini menyatakan bahwa:

Orang-orang menyesuaikan diri dengan dunia sesuai dengan harapan (keyakinan) dan evaluasi mereka.

Kita fokus pada kata kunci "harapan dan keyakinan" dan "evaluasi". Keduanya begitu berpengaruh terhadap sikap dua arah yang sering kita jumpai. Dua arah itu adalah para pengagum dan para pengkritik.

Melihat sikap para pengagum, maka sikap kultus individu di atas bisa lebih dijelaskan dengan menggunakan sudut pandang teori ini. Bahwasanya, adalah wajar apabila para pengagum menyandarkan semua harapan dan keyakinannya terhadap seorang tokoh di dalam memperjuangkan apa yang mereka inginkan.

Di saat orang tidak mampu untuk menyuarakan kepentingan diri sendiri, maka orang akan cenderung "menitipkan" aspirasi tersebut kepada orang lain yang diyakini akan mampu diwujudkan. Aspirasi inilah yang menjadi dasar utama seseorang yang kadang membuatnya kehilangan rasionalitas dalam mengukur kritik yang dilontarkan oleh orang lain kepada tokoh pujaannya.

Sebaliknya, dari sisi yang mengkritik, kepentingan dan evaluasi menjadi salah satu dorongan baginya untuk melakukan atau melontarkan kritiknya. Meskipun kita tidak akan pernah tahu apa yang menjadi tujuan sebenarnya, tetapi setidaknya, kritik yang dilontarkan memiliki muatan kepentingan dan evaluasi.

Barangkali, perbedaan dengan sikap pengagum di atas tadi, sikap dari pengkritik ini bisa dalam rangka memberikan pencerahan dari hal yang menurutnya kurang tepat jika dilakukan oleh orang yang dikritiknya. Bisa juga motifnya berupa motif untuk memperjuangkan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Segalanya serba mungkin terjadi.

Akhir kata, semua kita memiliki hak untuk melontarkan kritik kepada siapa pun. Kritik dimaksudkan dalam rangka menumbuhkan mekanisme kontrol dari setiap anggota masyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh media. Selama kritik tidak dimaksudkan untuk menyerang pribadi atau mencemooh, maka tidak ada alasan kritik dibungkam dengan cara apa pun.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun