Andai kita bertanya kepada seorang anak TK begini: "nak, menurutmu hujan berasal dari mana?". Pastinya dia akan mengatakan "dari langit" atau "dari atas". Apakah salah jawaban tersebut? Tidak salah, hanya kurang tepat dan kurang mendalam. Karena sesungguhnya hujan berasal dari proses penguapan air yang ada di bumi juga.
Cara berpikir anak TK tadi adalah cara berpikir faktual perseptual. Artinya dia hanya memersepsi fakta yang dilihatnya oleh indra penglihatannya. Sedangkan cara berpikir yang kedua adalah cara berpikir faktual saintifik, artinya menafsirkan fakta tersebut melalui pendekatan ilmiah.
Keduanya benar dalam batasannya masing-masing. Keduanya diperlukan dalam kondisi tertentu. Bisa dibayangkan jika kebenaran hujan dari langit tidak diyakini atau ditolak, hanya karena mengetahui hujan berasal dari bumi, tentu orang menggunakan payung tidak diposisikan di atas kepala, mungkin saja di bawah mata kaki. Hal yang aneh tentunya jika terjadi demikian.
Atau, jika hanya meyakini hujan dari atas langit dan menolaknya bahwa ia juga berasal dari penguapan air di bumi, tentu program reboisasi, konservasi hutan hujan sebagai paru-paru bumi yang berfungsi menyerap air tidak dikampanyekan. Biarkan saja hutan gundul ditebangi sampai mengakibatkan banjir. Tidak lucu juga bukan?
Antara Fakta dan Penafsiran
Di sini kita berbicara antara fakta dan penafsiran. Fakta boleh saja diberitakan, disampaikan kepada siapa pun yang berkepentingan. Karena tingkat pengetahuan dasar yang dikuasai manusia adalah fakta yang bisa ditangkap oleh pancaindranya. Ia merupakan landasan dari berbagai pengetahuan lanjutan yang lebih kompleks sifatnya.
Tetapi jika manusia hanya berhenti dalam pengetahuan faktual, maka manusia tidak ubahnya dengan flashdisk yang mampu menampung jutaan informasi tentang fakta yang direkam ke dalamnya. Bahkan bisa-bisa pusat data (data center) Google lebih hebat daripada manusia dalam hal menyimpan dan merekam fakta dan data.
Manusia tidak hanya sekedar hidup di tengah hutan rimba fakta. Manusia hidup penuh warna di tengah-tengah opini dan interpretasi yang dikreasi oleh masing-masing diri. Di dalam ruang opini dan interpretasi itu sejatinya manusia berada sebagai makhluk yang berpikir bukan makhluk penyimpan fakta dan data semata-mata.
Citra boleh saja dijadikan pijakan untuk menilai sesuatu. Karena citra adalah fakta pertama yang bisa dipahami oleh manusia. Bahkan bayi sekalipun bisa memahami citra olahan pancaindranya. Tetapi citra bukan kebenaran yang sesungguhnya, ia hanya salah satu pintu yang bisa mengantarkan penikmatnya ke tujuan yang mungkin saja menyenangkan atau justru sebaliknya, malah menyengsarakan.
Tidak percaya dengan kaidah ini? Coba saja makan makanan cepat saji terus menerus untuk membenarkan citranya sebagai makanan praktis, menarik, lezat dan bergengsi. Niscaya dalam beberapa bulan bobot tubuh menjadi kian bertambah dan beragam penyakit mulai kolesterol, penyempitan pembuluh darah, jantung koroner dan diabetes datang berlomba-lomba menghampiri tubuh kita.
Untuk menghindari hal yang demikian, maka di sini penafsiran seorang dokter tentang makanan cepat saji pantas untuk didengarkan. Semua dalam rangka menjaga kesehatan dan melek dengan kebenaran baru. Kebenaran bahwa meskipun citra dari makanan cepat saji itu bergengsi dan enak, tetapi ternyata membawa penyakit sampingan.
Di sekeliling kita ada banyak gejala atau fenomena kehidupan bernegara dan berbangsa; gejala ekonomi, gejala budaya, gejala agama, gejala sosial termasuk juga gejala politik. Kiranya tidak salah jika kita meminjam metode dubium methodicum Rene Descartes dalam membaca semua gejala yang ada tersebut. Satu metode meragukan segala sesuatu termasuk segala hal yang telah dianggap pasti dalam kerangka pengetahuan manusia.
Dalam kehidupan politik pun demikian adanya. Kita tidak atau jangan terbuai dengan megahnya fakta yang diracik para politisi untuk menyilaukan mata rakyatnya dalam rangka meraup suara mereka. Kita harus sadar, ada opini ada interpretasi dari penciptaan fakta yang dipelopori mereka.
Ini bukan masalah curiga mencurigai, tetapi ini masalah wawasan dalam diri bahwa tidak semua fakta di depan mata itu memang menampakkan kebenaran yang sesungguhnya. Karena di dalam setiap cerita itu selalu ada skenario dan sutradara yang menggerakkan adegan-adegannya. Ada penulis yang merancang akhir ceritanya.
Mari kita ambil contoh yang lebih rumit sifatnya. Sebentar lagi kita akan memasuki kontes "pileg" dan "pilpres" di tahun 2019. Para sutradara dan penulis skenario calon-calon yang akan bertanding tentunya sudah mulai siap-siap dengan gambaran dan citra jago-jago yang akan diusungnya. Itu sah-sah saja dan merupakan salah satu bentuk dari demokrasi yang kita anut di negeri ini.
Tetapi sebagai rakyat, lagi-lagi kita jangan hanya terjebak dalam sebuah citra yang dibuat bahkan meskipun secara faktual citra itu memang nyata dan tidak dibuat-buat. Melek penafsiran terhadap fakta di depan mata juga mesti kita biasakan. Sikap ini akan berguna dalam rangka memperkecil penyesalan akibat dari keteledoran dan kelalaian.
Tujuan dari penggunaan metode tersebut bukan dalam arti merelatifkan semua pengetahuan tentang segala yang telah diketahui. Metode itu digunakan dalam rangka mencapai tingkat kepastian yang tertinggi dalam melihat dan memahami satu gejala dan fenomena dalam segala hal.
Karena, di setiap gejala ada sutradara dan penulis skenario yang merancang akhir ceritanya. Di balik fenomena ada noumena dan dibalik fisika ada metafisika. Kemampuan untuk menafsirkan yang ada di balik semua itu merupakan salah satu bentuk dari melek gejala atau melek fenomena (phenomenon literacy) termasuk melek fenomena politik. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H