Di sekeliling kita ada banyak gejala atau fenomena kehidupan bernegara dan berbangsa; gejala ekonomi, gejala budaya, gejala agama, gejala sosial termasuk juga gejala politik. Kiranya tidak salah jika kita meminjam metode dubium methodicum Rene Descartes dalam membaca semua gejala yang ada tersebut. Satu metode meragukan segala sesuatu termasuk segala hal yang telah dianggap pasti dalam kerangka pengetahuan manusia.
Dalam kehidupan politik pun demikian adanya. Kita tidak atau jangan terbuai dengan megahnya fakta yang diracik para politisi untuk menyilaukan mata rakyatnya dalam rangka meraup suara mereka. Kita harus sadar, ada opini ada interpretasi dari penciptaan fakta yang dipelopori mereka.
Ini bukan masalah curiga mencurigai, tetapi ini masalah wawasan dalam diri bahwa tidak semua fakta di depan mata itu memang menampakkan kebenaran yang sesungguhnya. Karena di dalam setiap cerita itu selalu ada skenario dan sutradara yang menggerakkan adegan-adegannya. Ada penulis yang merancang akhir ceritanya.
Mari kita ambil contoh yang lebih rumit sifatnya. Sebentar lagi kita akan memasuki kontes "pileg" dan "pilpres" di tahun 2019. Para sutradara dan penulis skenario calon-calon yang akan bertanding tentunya sudah mulai siap-siap dengan gambaran dan citra jago-jago yang akan diusungnya. Itu sah-sah saja dan merupakan salah satu bentuk dari demokrasi yang kita anut di negeri ini.
Tetapi sebagai rakyat, lagi-lagi kita jangan hanya terjebak dalam sebuah citra yang dibuat bahkan meskipun secara faktual citra itu memang nyata dan tidak dibuat-buat. Melek penafsiran terhadap fakta di depan mata juga mesti kita biasakan. Sikap ini akan berguna dalam rangka memperkecil penyesalan akibat dari keteledoran dan kelalaian.
Tujuan dari penggunaan metode tersebut bukan dalam arti merelatifkan semua pengetahuan tentang segala yang telah diketahui. Metode itu digunakan dalam rangka mencapai tingkat kepastian yang tertinggi dalam melihat dan memahami satu gejala dan fenomena dalam segala hal.
Karena, di setiap gejala ada sutradara dan penulis skenario yang merancang akhir ceritanya. Di balik fenomena ada noumena dan dibalik fisika ada metafisika. Kemampuan untuk menafsirkan yang ada di balik semua itu merupakan salah satu bentuk dari melek gejala atau melek fenomena (phenomenon literacy) termasuk melek fenomena politik. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H