Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jika Tidak Bahagia, Katakanlah!

26 Juni 2018   16:06 Diperbarui: 26 Juni 2018   18:17 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudah makan belum? Sudah. Siapa namamu? Nemo"

Percakapan demikian sudah sering terdengar. Pertanyaannya jujur, jawaban juga jujur. Bukan hanya kita dengar, tetapi juga kita sering melakukannya; baik selaku penanya atau yang ditanya. Dari pertanyaan dan jawaban bisa jujur. Dari penanya atau yang ditanya bisa jujur.

Mengapa demikian? Karena kejujuran dalam percakapan di atas tidak membutuhkan biaya besar atau bahkan gratis. Tidak perlu mengeluarkan uang banyak jika kebetulan ada perbedaan fakta jawaban dari contoh pertanyaan tentang makan. Jika belum makan jawabannya, paling-paling keluar uang 5000 atau 10.000 rupiah. Itu sudah cukup. Apalagi pertanyaan yang kedua. Itu sama sekali tidak ada biaya atau konsekuensi dari ketidaksesuaian jawaban tentang namanya.

Lain halnya ketika bertanya atau ditanya begini, "Apakah kamu bahagia?" Jika jawabannya "ya", aman rasanya. Tetapi jika jawabannya "tidak", maka harus mulai siap-siap untuk menyambut masalah. Masalah yang akan mengikuti dari jawaban yang tidak menunjukkan adanya kebahagiaan. Karena bahagia itu memerlukan biaya. Serius, memang demikian faktanya.

***

Manusia itu biasanya diajari untuk selalu jujur. Ya, selama menyangkut hal-hal yang bisa dikendalikan dan masih dalam batas-batas kemampuannya. Tetapi adakalanya manusia juga tidak jujur ketika dihadapkan pada keadaan yang apabila menampakkan kejujuran justru akan menimbulkan masalah serius.

Bahagia pun demikian. Ia kadang berada pada kondisi yang memaksa untuk tidak jujur. Tidak jujur karena takut melukai orang lain, takut keluar biaya untuk traktir atau sekedar takut jadi angan-angan yang tidak bisa diwujudkan. Jadi, bahagia selalu menghadapi masalah dilema. Ingat, dilema bukan delima.

Dilema kebahagiaan ini jika terus dipelihara dan dirawat, bukan saja akan berarti berbohong pada kenyataan, tetapi juga akan memperparah keadaan. Bahagia itu tidak bisa tumbuh di lahan yang dikuasai pertentangan atau kontradiksi dan persyaratan.

Bahagia sejati tidak mengandaikan kata "asalkan" atau "tetapi" dan "jika". Tidak bisa mengatakan "saya bahagia tetapi...." "Saya bahagia asalkan..." "Saya bahagia, jika..." Ketiga jenis kalimat itu sama saja memberikan pengertian bahwa yang mengucapkannya tidak benar-benar bahagia pada saat itu. Atau ia berarti belum dan baru merencanakan untuk bahagia di masa depan.

Teorinya sih demikian, tapi faktanya tidak demikian. Karena, teori kebahagiaan tidak akan pernah mendapatkan kesepakatan. Bisa saja orang mengatakan "bahagia itu sederhana dan gratis". Itu bisa benar dalam satu keadaan, tetapi kebanyakan salah dalam kenyataannya. Mengapa demikian? Karena menjadi bahagia adalah tujuan utama hidup manusia.

***

Bicara tentang tujuan hidup, tentu saja tidak sesederhana mengucapkannya. Jangankan membahas tujuan hidup yang menjadi target sasaran dari seluruh kumpulan umur dan himpunan usia kita, bicara tentang tujuan mudik ke kampung halaman saja bisa menguras segala hal; tenaga, pikiran, uang dan lain-lain. Bagaimana pula mengatakan bahagia dan tujuan hidup sebagai gratis dan sederhana?

Maka, mengatakan tujuan hidup adalah menjadi bahagia, berarti ada kemungkinan bisa didapatkan ada kemungkinan tidak. Jika kebetulan didapatkan, itulah yang diharapkan. Tetapi jika kebetulan bahagia tidak atau belum didapatkan, maka di sini tantangan hidup yang sesungguhnya.

Ketika faktanya memang tidak bahagia,  kejujuran akan mengurai kerumitannya, meskipun membutuhkan banyak biaya. Kalimat teoretis ini mirip seperti menjawab pertanyaan dokter ke pasien tentang rasa sakit yang diderita. Apakah mau menyembunyikan dan membohongi diri sendiri dan dokter tentang sakit yang diderita, atau jujur dengan sakit yang dirasa?

Memilih tidak jujur, maka siap-siap dengan semakin parahnya penyakit. Memilih jujur maka siap-siap dengan konsekuensi biaya. Dua-duanya mengandung akibat yang harus ditanggung oleh sang pasien. Keadaan ini tidak begitu susah dan tidak perlu dijadikan dilema. Kebanyakan orang akan memilih jujur dengan penyakitnya, berapa pun biayanya. Itu urusan belakangan saja.

Jika tentang sakit saja bisa jujur, maka lebih-lebih dengan bahagia sebagai tujuan hidup. Jujur di dalamnya tentu menjadi penting apa pun konsekuensinya. Sehingga jika memang tidak bahagia maka katakanlah tidak bahagia. Begitu  mengakuinya, alam bawah sadar akan bekerja mencari cara bagaimana mengubahnya menjadi bahagia, cepat ataupun lambat.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun