Setiap tahun umat Islam pasti merayakan hari raya setelah sebulan penuh berpuasa. Hari raya yang disebut dengan idul fitri atau bahasa lokalnya lebaran. Ia merupakan tradisi keagamaan yang tidak hanya bersifat sakral tetapi juga sosial bahkan kultural.
Disebut sakral karena lebaran merupakan tradisi keagamaan seperti halnya tradisi keagamaan lainnya yang dilakukan oleh kalangan umat beragama. Tradisi ini berakar dari keyakinan keagamaan yang bukan merupakan hasil dari imajinasi manusia belaka, tetapi merupakan ajaran yang memang didasarkan pada perintah Tuhan (Allah).
Disebut sosial karena lebaran menjadi fenomena masyarakat atau umat Islam yang tidak sekedar dilakukan oleh satu dua orang saja tetapi oleh semua yang memeluk keyakinan keagamaan Islam. Semua umat Islam di mana pun ia berada pastilah menjalani hari raya tersebut. Tidak peduli di mana ia berada.
Disebut kultural karena lebaran merupakan ekspresi budaya seperti kebiasaan mudik dan praktik tradisi lainnya sesuai dengan latar belakang budaya masing-masing. Di desa-desa ada yang memeriahkan lebaran ini dengan tradisi makan ketupat, tradisi menyalakan petasan atau tradisi balon udara dan tradisi-tradisi lainnya yang dilekatkan ke dalamnya.
***
Dalam sifatnya sebagai sesuatu yang sakral, lebaran bisa diartikan sebagai makna langit. Makna yang tidak harus diragukan kebenarannya dalam menyempurnakan rangkaian ibadah umat Islam di dunia. Agama sebagaimana kita tahu adalah ujaran-ujaran langit (Tuhan) yang diturunkan demi kepentingan manusia dalam menjalani kehidupannya.
Manusia bagaimanapun cerdas dan inteleknya, tetap saja memerlukan panduan dan bimbingan Tuhan dalam menelusuri dan menjalani kehidupannya di dunia ini. Jadi lebaran adalah salah satu cara bagaimana Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui rangkaian ajaran-ajaran-Nya. Sehingga tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kontak dengan Tuhannya dalam berbagai cara.
Sakralitas dari lebaran sebagai makna langit berarti bahwa lebaran memiliki nilai dan makna yang berada di luar batas-batas nalar dan intelek manusia. Nilainya bukan merupakan hasil dari kesepakatan umum manusia khususnya umat Islam. Ia merupakan fenomena dengan muatan nilai dan makna yang dipaketkan langsung dari Tuhan.
Mengapa Tuhan memberikan paket nilai dan makna dari sebuah hari raya kepada manusia? Tentu saja ini merupakan isyarat bahwa Tuhan pun "peduli" dengan tabiat manusia. Tabiat yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang menyenangi kemeriahan, kesenangan dan riang gembira.
Setelah sebulan penuh umat Islam menjalankan ibadah yang menguras kekuatan mental dan fisiknya, menjadi naluriah jika manusia mengharapkan rasa suka cita dan keriangan massal. Meskipun fenomena tersebut bukan merupakan "pahala" bagi umat Islam, tetapi bisa dimaknai sebagai bentuk "imbalan" kesenangan Tuhan kepada umat Islam.
Ini berlaku juga bagi agama-agama lainnya di muka bumi ini. Tidak ada agama di muka bumi ini yang tidak memiliki hari raya yang membuat umat pemeluknya merasa riang dan gembira dalam menyambut dan menjalaninya. Tuhan Maha Tahu dengan semua kebutuhan manusia yang bersifat material dan imaterial (psikologis dan mental).
***
Lebaran juga memiliki makna bumi lainnya sebagai fenomena sosial kemanusiaan. Makna bumi ini tidak bisa dan tidak boleh dilepaskan dari makna langitnya. Muatan sakral yang diturunkan Tuhan ke manusia di bumi ini harus berimplikasi pada adanya perubahan dalam segala bentuk tindakan manusia yang menjalaninya.
Misalnya saja, ketika makna bumi ini dikaitkan dengan sesama manusia, maka lebaran menjadi momentum bagi setiap orang untuk saling berinteraksi dengan cara-cara yang ideal. Interaksi yang didasari dengan kesamaan derajat antara satu manusia dengan manusia lainnya.
Tidak peduli apakah ia atasan atau bawahan, presiden atau rakyat, semuanya larut dalam egalitarianisme suasana lebaran. Nilai ini kemudian diimplementasikan dalam tradisi saling kunjung-mengunjungi antara sesama manusia. Saling salaman dan saling maaf-memaafkan menjadi pelengkap dari nilai lebaran sebagai nilai bumi dan semesta manusia.
Tidak cukup dengan itu saja implementasi dari makna bumi lebaran ini. Interaksi dengan sesama makhluk Tuhan pun merupakan bagian dari makna tersebut. Lebaran seharusnya menjadi momentum untuk manusia memahami peranannya sebagai pengelola alam semesta ini.
Alam bukan semata-mata sebagai objek eksploitasi untuk kepentingan manusia. Tetapi alam juga merupakan entitas di mana manusia harus menghargai dan menghormatinya. Jika manusia merasa memperlakukan alam dengan sewenang-wenang, maka lebaran bisa dijadikan momen manusia untuk "minta maaf" kepada alam semesta.
Ya, minta maaf dalam pengertian menata sikap dan persepsinya terhadap alam semesta. Memperbaiki cara pandang dan perlakuannya terhadap benda-benda di sekitar. Menyayangi kembali makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Karena bagaimanapun mereka merupakan bagian dari alam semesta atau bumi khususnya yang sama-sama berhak mendapatkan perlakuan sewajarnya dari manusia sebagai pengelolanya.
***
Makna terakhir dari lebaran adalah makna diri sendiri. Meskipun terakhir, tetapi makna ini merupakan makna paling penting dalam segala rangkaian makna di atas. Tak ada artinya sama sekali seseorang yang merayakan lebaran dengan sesama manusia dan dengan sesama makhluk lainnya yang hidup di muka bumi ini jika ia tidak lebaran dengan dirinya sendiri.
Lebaran dengan diri sendiri berarti menata ulang cara diri menjalani kehidupan di dunia ini. Istilah "idul fitri" (kembali ke kesucian) barangkali lebih tepat untuk dijadikan acuan dalam praktik lebaran dengan diri sendiri. Islah dengan diri sendiri dari segala hal yang telah membuat diri sendiri menjauh dari keharusan dan kemestian sebagai manusia. Itulah implementasi dari makna lebaran bagi diri sendiri.
Adalah hal yang wajar jika manusia mengalami konflik bukan hanya dengan orang lain, tetapi juga konflik dengan diri sendiri. Pertentangan antara nurani kemanusiaan dan dorongan-dorongan kebinatangan yang menghantam keutuhan diri sendiri. Peperangan dengan diri ini justru merupakan peperangan yang paling abadi dan sulit untuk didamaikan.
Maka dengan dorongan kekuatan dari makna langit dan makna bumi lebaran ini, lebaran dengan diri sendiri bisa dilakukan. Hasilnya barangkali "idealitas kedirian" yang meningkat dari sebelumnya. Kesadaran bahwa diri sendiri menjadi titik pijak dari kesadaran sosial dan kesadaran kosmos. Tanpa kesadaran diri yang tepat, kesadaran lainnya akan menjadi tidak bermakan apa-apa.
Maka jika rangkaian ini dibalik, akan menampakkan rangkaian lebaran yang dimulai dari diri sendiri, kemudian merambah ke lebaran dengan sesama manusia dan makhluk lainnya kemudian disempurnakan dengan lebaran dengan Tuhan sebagai tujuan final dari semua rangkaian tersebut. Dari diri sendiri sebagai titik permulaan, meluas ke kiri kanan sebagai manusia dan sesama makhluk dan diakhiri dengan menaik ke atas menuju Tuhan.
Maka lebaran, oleh karenanya tidak hanya dianggap sebagai kebiasaan sosial keagamaan semata-mata, tetapi juga sebagai alat atau perangkat dalam rangka menyatukan kesadaran diri, kesadaran kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan. Demikian barangkali makna ideal dari satu fenomena hari raya lebaran ini.
Sekian...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H