Tiga bulan sudah berlalu. Aku seolah menghilang dari panggung Kompasiana. Waktu yang cukup lama ketika kesibukan dalam kegiatan lain mengambil alih fokus dan kegiatan menulis yang pernah dilakukan. Yah, begitulah konsistensi manusia. Ada kalanya membumbung tinggi sampai mampu menghasilkan sesuatu secara beruntun. Ada kalanya menukik ke dasar sampai tak satu huruf pun dihasilkan. Maka, menulis sama saja dengan berbisnis, adakalanya untung (produktif) adakalanya rugi (vakuum).
Bicara tentang konsistensi, ia merupakan satu konsep sikap dan karakter psikologis seseorang dalam rangka menjangkau sesuatu hal. Sebagai sebuah konsep sikap, konsistensi menjadi tolok ukur kesinambungan seseorang dalam menjalankan sesuatu yang menurutnya baik atau benar. Di saat konsistensi dijadikan tolok ukur sikap tersebut, ia berhadapan dengan risiko terputus di tengah jalan.
Terputus dengan berbagai alasan yang bisa saja subjektif atau objektif. Tetapi penilaian eksternal terhadap konsistensi tersebut kebanyakan tidak mempedulikan alasan-alasan subjektif atau objektif. Di kala seseorang berhenti dari melakukan sebuah kebaikan atau kebenaran, di saat itu orang akan mempertanyakan; kenapa dan ada apa? Sejauh menyangkut dengan apa yang dilakukannya sebagai sebuah kebenaran, maka pertanyaan tersebut seolah memunculkan rasa "eman-eman" mengapa hal tersebut terjadi.
Sebagai sebuah karakter psikologis, konsistensi juga rentan dengan naik turunnya mood atau motivasi dalam diri seseorang. Di saat mood terhadap target konsistensi tersebut baik, maka karakter konsistennya akan tetap terjaga. Tetapi di saat mood dan motivasinya mengalami kemerosotan, tentu saja akibatnya target konsistensi menjadi tidak lagi menjadi sebuah keharusan untuk diselesaikan atau diteruskan.
Tetapi, naik turunnya kualitas konsistensi itu tidak harus kemudian dijadikan sebagai bagian dari parameter final dalam menilai seseorang. Tidak ada yang final dalam pertumbuhan dan perkembangan yang dijalani seseorang. Finalisasi hanya mungkin terjadi di saat yang bersangkutan tidak lagi hidup di dunia ini. Di saat itu final yang sesungguhnya menjadi nyata.
Oleh karena itu, tidak ada kewajiban normatif atau etik yang akan dituntut kepada seseorang ketika ia gagal dalam menjaga konsistensi. Karena konsistensi bukan merupakan sebuah produk dari algoritma pemrograman yang bisa dijalankan secara persis sesuai dengan kode yang ditulis. Sekali lagi ia merupakan bagian dari fenomena sikap dan karakter kedirian seseorang. Fenomena yang tidak akan selalu ajeg dalam setiap keadaan. Manusia bukanlah robot dengan sejuta kode pemrograman yang bersifat mekanistik dan otomatis.
***
Tetapi, nilai dari sebuah konsistensi sebenarnya terletak dalam upaya yang dilakukan seseorang untuk menjadi konsisten dengan caranya sendiri, bukan menurut cara orang lain. Misalnya saja, dalam hal menulis, seseorang bisa dikatakan konsisten jika ia terus menerus tanpa terputus menghasilkan tulisan dengan beragam tema. Namun demikian itu bukan satu-satunya makna dari konsistensi dalam penulisan. Bisa saja yang dimaksudkan justru konsisten menulis dalam sebuah tema tulisan meskipun tidak dilakukannya secara berkesinambungan. Bukanlah itu juga bisa dikatakan sebagai suatu konsistensi?
Konsisten dalam pengertian yang pertama bersifat frekuensi dan konsisten dalam pengertian kedua bersifat substansi. Keduanya memiliki makna konsisten meskipun berbeda secara sifatnya. Hanya saja, manusia kebanyakan sering terjebak dalam pengertian konsisten versi pertama di mana ukuran dan standarnya adalah frekuensi yang ajeg dan berkesinambungan. Hal tersebut wajar saja dan lumrah jika menjadi kebiasaan perseptif yang dilakukan seseorang dalam menilai orang lain. Karena hal yang paling gampang dalam menilai adalah menilai dalam bentuk kuantitas atau frekuensi, bukan dalam bentuk substansi.
Di dalam dunia ilmu pengetahuan, konsistensi frekuensi ini menjadi dasar dari hukum generalisasi. Bahwa sesuatu akan dianggap berlaku secara umum apabila hasil dari pengujian secara berulang dan secara frekuensi konsisten terus menerus menghasilkan kesimpulan yang sama. Barangkali inilah salah satu fungsi kebenaran statistik kuantitatif dalam hubungannya dengan kebenaran ilmu pengetahuan. Namun sekali lagi, hal ini bukanlah satu-satunya varian dari kebenaran.
Konsistensi secara substantif akan menjadi lebih sulit untuk dideteksi secara kuantitatif apalagi secara statistik. Mari kita ambil contoh tentang kebenaran revolusioner dari sebuah gerakan etik atau gerakan apapun yang pada mulanya mungkin saja ditentang oleh banyak orang. Tetapi seiring dengan konsistensi dalam substansi yang terus menerus disuarakan yang mengacu pada substansi yang sama, maka secara perlahan, kebenaran substantif tersebut akan menampakkan dirinya ke permukaan sehingga dapat dilihat dan diakui oleh orang banyak.
Para inventor, para pelopor pergerakan, para Nabi yang menyuarakan kebenaran, mereka pada mulanya mungkin ditolak oleh kebanyakan orang di sekitarnya. Tetapi mereka konsisten bukan saja secara frekuensi tetapi juga secara substansi yang pada akhirnya mengantarkannya kepada pengakuan dari kebenaran yang mungkin diragukan sebelumnya. Kebenaran yang pada awalnya tidak didasarkan pada jumlah, pada statistik dan pada hukum generalisasi, tetapi kebenaran yang berpijak pada keajegan substansial yang tidak mempedulikan jumlah nominal.
Dengan demikian, maka konsisten tidak harus dipahami sebagai nominal frekuensi dari sebuah tindakan, tetapi juga prinsipil substansial yang keluar dari bayang-bayang jumlah dan generalisasi atau dukungan banyak orang. Meskipun dengan makna yang terakhir ini tidak semua orang akan mampu bertahan dari penilaian kebanyakan orang. Namun setidaknya, kita bisa memahami bahwa kebenaran tidak hanya konsisten secara frekuensi tetapi juga yang terpenting konsisten secara substansi.
Sekian...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H