Nama merupakan predikat yang melekat pada sesuatu. Nama orang disebut untuk mengidentifikasi seseorang. Mengatakan nama Presiden Jokowi, pikiran dan hati langsung terasosiasi ke sosok seorang lelaki dengan gambaran yang jelas terekam di memori setiap warga Indonesia.
Nama selalu menempel pada objek baik itu yang tampak atau tidak tampak. Menamai objek yang tampak akan mudah untuk membedakan penampakannya dari objek yang lainnya. Penampakan yang bisa dilihat, diraba, disentuh, dirasa dan dihirup oleh pancaindra.
Tetapi menamai objek yang tidak bisa diindra sedikit membutuhkan kemampuan untuk berimajinasi dan berabstraksi. Kemampuan ini akan membedakan objek abstrak satu dari objek abstrak lainnya. Kemampuan yang hanya bisa dimiliki seiring dengan tingkat perkembangan intelektualitas seseorang.
Misalnya saja menyebut "keadilan" dan "ketidakadilan". Anak kelas satu SD tidak mungkin bisa memahami konsep dari kedua kata tersebut. Tetapi anak yang sama bisa memahami jika disebutkan kepadanya "nasi" dan "segelas susu". Hal ini disebabkan, nasi dan segelas susu menjadi benda yang sudah akrab ditelinga dan seluruh pancaindranya.
Antara yang tampak nyata dan tidak tampak nyata sudah membuat satu jurang pemahaman di dalam pikiran seorang anak kelas satu SD. Ini menandakan bahwa semakin tinggi tingkat abstraksi, semakin sulit untuk dipahami. Mengabstraksikan sepiring nasi atau segelas susu lebih mudah dari pada mengabstraksikan keadilan dan ketidakadilan.
***
Ketika kita menyebutkan kursi, minimal dalam benak dan imajinasi kita terbayang sebuah benda yang berkaki empat untuk diduduki. Setidaknya itu gambaran umum mengenai kursi. Tentu saja ada banyak variasi dari gambaran dasar mengenai kursi  tersebut. Tetapi secara hakiki, esensi kursi berfungsi sebagai tempat duduk. Tidak peduli bagaimana pun bentuknya.
Katakanlah tentang keadilan, maka yang terbayang adalah perlakuan orang tua kepada anaknya ketika memberi uang jajan, ketika memperlakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Bisa juga keadilan adalah keputusan dari pengadilan dalam kasus yang dialami oleh seseorang. Bisa juga keadilan adalah distribusi ekonomi dari pemerintah kepada seluruh rakyatnya.
Hal yang sama juga ketika kita menyebut ketidakadilan, itu adalah gambaran sebaliknya dari gambaran ketika kita menyebut keadilan. Kebalikannya dari konsep keadilan yang dipahami seseorang. Entah itu di lingkungan keluarga, di lingkungan hukum dan pengadilan atau di lingkungan sebuah negara. Ketidakadilan adalah lawan dari keadilan.
***
Nama yang paling tinggi tingkatan abstraksinya adalah nama Tuhan. Pikiran setinggi apa pun hebatnya, tidak bisa menemukan abstraksi yang paling tepat dari nama Tuhan tersebut. Bagaimanakah gambaran imajiner ketika kita menyebut nama tersebut? Tidak ada yang mampu untuk menyebutkannya.
Bagaimana pikiran dan imajinasi manusia memahami Tuhan? Ketika menyebut nama itu apakah pikiran dan imajinasi manusia membayangkan sosok tertentu? Apakah pikiran membayangkan jenis kelamin tertentu? Apakah pikiran manusia membayangkan tempat tertentu? Tak satu pun dari semua atribut fisik atau atribut non fisik mampu untuk memberikan gambaran mengenai sebutan Tuhan.
Tetapi mengapa manusia harus menyebutnya dalam setiap gerakan dan tindakannya sehari-hari? "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang". Demikian salah satu cara penyebutannya. Atau penyebutan lainnya sesuai dengan keyakinan setiap orang. Mengapa harus demikian?
***
Barangkali itu adalah cara manusia untuk bisa "melepaskan" dan "menerbangkan" eksistensi dirinya ke arah dan ke tingkatan yang lebih tinggi. Eksistensi yang terdiri dari kegiatan pancaindra dan gerak ragawinya, kilasan pikiran dan perasaannya, keteguhan keyakinan dan kepercayaannya.
Sehari-hari manusia selalu disibukkan dengan segala tetek bengek pekerjaan dan kegiatan yang selalu bersentuhan dengan benda-benda atau pikiran-pikiran dunia manusia. Jika manusia selalu berkubang dan berada di tataran yang demikian selamanya, maka dia tidak akan memperoleh kesempatan untuk menaikkan dan menerbangkan eksistensinya ke tahapan yang lebih tinggi.
Maka di sanalah celah sebenarnya bagi manusia untuk bisa melepaskan diri dari keterikatan dengan dunia ini dengan cara menyebutkan Tuhan yang justru tidak bisa dibayangkan dengan pikiran sehebat apa pun. Di sinilah manusia dileburkan kesadarannya ke dalam sesuatu yang tidak konkret, tidak tampak di mata dan di dalam imajinasi kepala.
***
Manusia seolah "dipaksa" untuk menyadari dan mengakui adanya sesuatu yang tidak bisa dia lihat, tidak bisa dia bayangkan dan tidak bisa dia otak-atik bentuk keberadaannya. Keadaan itu harus tetap dibiarkan seperti itu. Tanpa kejelasan dan tanpa kepastian, tetapi harus diyakinkan bahwa itu memang benar-benar ada dan nyata.
Sebutlah nama Tuhan sebelum berinteraksi dengan apa pun di dunia ini, maka eksistensi kita akan melayang dan terbang bersama sebutan tersebut ke level dan tingkatan yang melebihi dunia ini; melebihi manusia dan makhluk lainnya yang ada di dunia.
Katakanlah kalimat "dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang", kemudian mulailah semua kegiatan di dunia ini setelah sepenggal kalimat tersebut. Melayang dan terbanglah eksistensi diri ini dalam rangka melonggarkan ikatannya dari yang hal-hal yang bersifat duniawi.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H