Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanti Kurikulum Ceramah Pilkada Tanpa SARA

8 Februari 2018   22:39 Diperbarui: 8 Februari 2018   22:57 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memaksakan agama sebagai bagian dari alat kepentingan, maka hal itu sudah merupakan ciri dan karakter penafsiran dari penganutnya, bukan dari agama itu sendiri. Tentu saja akibat dari perbedaan penafsiran ini, maka implementasinya juga akan cenderung beraneka warna sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Sejatinya sebuah agama itu bukan mengakibatkan hidup saling caci maki dan memojokkan antara sesama, tetapi menjadi perekat untuk mewujudkan kebersamaan antara sesama warga negara dan antara sesama manusia. Inilah fungsi utama agama secara sosiologis sebenarnya.

Kebenaran ini bukan saja muncul dari idealisme para pemeluk agama bersangkutan tetapi juga secara akademik dan ilmiah memang demikian adanya. Kesamaan keyakinan keagamaan harus memunculkan sikap dan in group  feeling  bagi para pemeluknya, sehingga bisa mempererat persatuan dan kesatuan masyarakat.

Persoalan mulai muncul ketika in group feeling  ini dipakai untuk mendorong dan mengeluarkan sebagian masyarakat yang tidak satu keyakinan. Dari sinilah konflik akan muncul dalam tataran kehidupan masyarakat. Ini sebenarnya yang sering mengakibatkan agama seolah menjadi "sumber konflik" di tengah-tengah masyarakat.

Konflik ini dipicu oleh kepentingan politik, kepentingan ekonomi bahkan kepentingan pribadi sekalipun. Konflik-konflik ini sering muncul akibat adanya dorongan memanfaatkan in group feeling  tersebut untuk kepentingan yang sebenarnya tidak membuat integritas masyarakat menjadi solid.

***

Sangat bisa dipahami pada akhirnya, jika Bawaslu berencana menerbitkan semacam kurikulum untuk bahan ceramah dalam rangka kampanye Pilkada serentak 2018 ini.

Tujuan sesungguhnya di balik semua itu adalah dalam rangka memagari potensi dan peluang penafsiran sepihak oleh kalangan pemeluk agama untuk menggunakan agamanya sebagai bagian dari alat kampanye.

Ini tidak berarti agama harus dijauhkan dari praktik-praktik kehidupan politik di negeri ini, namun mengaca dari kejadian Pilkada belakangan ini, agama sering justru menjadi alat pemecah belah anak bangsa.

Gejala ini tentu saja terkait erat dengan model penafsiran "semau gue" terhadap ajaran agama seseorang. Ini amat riskan jika dihubungkan dengan momen dan suasana Pilkada yang akan datang.

Peluang melakukan penafsiran semaunya ini bisa berakibat pada saling pojok memojokkan pihak tertentu dengan mengatasnamakan ajaran agama. Padahal sebenarnya hal itu merupakan hasil penafsirannya terhadap ajaran agama, yang belum tentu ajarannya mengatakan demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun