Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Instrumentalisme Agama Menggeliat Menjelang Pilkada

8 Februari 2018   15:29 Diperbarui: 9 Februari 2018   00:11 1827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salat berjamaah (pendidikanmendows.blogspot.co.id)

Beberapa hari belakangan, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyampaikan ungkapan yang agak menggelitik telinga orang Islam. Seperti dilansir dari Kompas.com (5/2/2018), ia menyerukan kader PAN untuk sering-sering salat jamaah agar bisa meraih simpati dan suara jamaah masjid tempat dia salat.

"Kenapa magrib sama subuh di masjid? Kalau kamu magrib sama subuh enggak di masjid, orang-orang di masjid nanti suaranya diambil PKS semua," katanya. "Paling enggak dibagi dua. Kamu juga salat di masjid. Magrib dan subuh. Bagi dua paling tidak," katanya.

Jujur, agak bingung juga ketika mau beropini mengenai kata-katanya di atas. Ada dua posisi berbeda di dalam pikiran ini; menerima dan protes. Menerima karena bagi umat Islam salat jamaah adalah sebuah amalan "sunnah yang sangat dianjurkan" (sunnah muakkadah).

Protes karena tujuan salat jamaah kok untuk mendapatkan suara jamaah masjid jika mencalonkan diri jadi anggota legislatif atau pimpinan pemerintahan. Tujuannya agar suara jamaah di masjid dapat dibagi dua antara PKS dan PAN.

Lama-lama jadi curiga juga kalau begitu, orang bertindak alim ternyata sebenarnya bukan dalam rangka menjadi alim secara religi, tetapi alim secara partai. Kealiman dalam rangka meraih simpati rakyat pemilih biar suaranya tidak lari ke partai lain.

***

Jangan-jangan Karl Marx memang benar ketika mengatakan religion is opium of the people (agama adalah candu bagi masyarakat); candu yang akan meninabobokan masyarakat dari kesadarannya; candu yang akan digunakan untuk membius pandangan masyarakat dalam sikap kritisnya terhadap kepentingan pribadi atau golongan.

Latar sejarah ungkapan bahwa agama sebagai opium bagi masyarakat itu muncul sebagai bentuk kegelisahan intelektual pribadi Marx ketika melihat peranan agama dan institusi keagamaan yang digunakan menjadi alat represi kaum pinggiran.

"Kamu miskin tidak apa-apa, karena orang beriman itu hidupnya di dunia ini memang susah. Orang beriman itu akan mendapat kebahagiaan nanti di alam akhirat. Jadi lupakanlah kesenangan hidup di dunia ini."

"Yang penting kamu sebagai orang beriman, taat hukum dan taat aturan seperti yang ditetapkan oleh pemerintah atau yang berkuasa. Tidak usah banyak protes dan demo untuk menuntut keinginan dan hak-hak kehidupanmu sebagai warga dan manusia."

Begitulah bahasa sederhananya dari latar belakang timbulnya ungkapan agama adalah candu masyarakat. Karena dengan mengembalikan kepada agama, segala urusan sepelik dan serumit apa pun "bisa selesai". Agama menjadi solusi terakhir bagi manusia untuk menjawab persoalan kehidupan bahkan penderitaan.

Konotasi dari ungkapan agama sebagai candu masyarakat tentu saja negatif kedengarannya. Karena candu (opium) adalah benda yang masuk ke dalam kategori yang memabukkan. Opium menjadi bagian dari narkoba yang dilarang dikonsumsi secara bebas.

Siapa pun orang yang beragama akan protes ketika dikatakan agamanya sebagai opium. Masa iya menyamakan agama sebagai narkoba. Ini keterlaluan dan tidak bisa dibenarkan. 

Saya sendiri tidak bisa menerima ungkapan tersebut jika analoginya analogi normatif tekstual bukan analogi substantif kontekstual.

***

Jika menjadikan salat jamaah sebagai cara untuk meraih simpati dan suara masyarakat agar terpilih jadi anggota legislatif, maka menjadikan agama sebagai pembius masyarakat (pemilih) mungkin saja menjadi benar adanya.

Ini lompatan pemikiran yang kacau. Mewakili masyarakat dengan cara menjadi anggota dewan adalah mewakili masyarakat dalam urusan aspirasi dan kehidupan berpolitik di negeri ini. Pola pikir itu yang harus ditekankan pertama kali, bukan mewakili orang yang salat berjamaah di masjid.

Sebenarnya selama seseorang menunjukkan komitmen membela dan memihak rakyat dan rakyat sendiri merasakan keberpihakannya tersebut, seseorang anggota dewan atau pemimpin tidak melulu harus menjadikan agama sebagai metode pendekatan. Lihat saja bagaimana Ahok yang selama ini didukung oleh sebagian masyarakat dengan keyakinan agama yang berbeda-beda.

Sekarang ini sedang marak-maraknya antipati terhadap politisasi agama. Kasus dalam pemilihan Gubernur DKI beberapa waktu silam, oleh sebagian orang ditengarai sebagai bagian dari politisasi agama. 

Sehingga pada akhirnya hal tersebut telah membelah masyarakat Jakarta menjadi bagian-bagian yang terkadang secara frontal berhadapan meskipun hanya sebatas opini.

Mengait-ngaitkan kembali urusan ibadah menjadi bagian dari tujuan politik di negeri ini hanya akan menimbulkan keresahan ke sekian kali. Apalagi ini diungkapkan oleh seorang petinggi partai. Jangan-jangan karena sudah kehilangan cara dan strategi meraih suara, maka agama dijadikan satu-satunya upaya agar berjaya.

***

Salah satu bagian dari ajaran agama (salat berjamaah) sekarang sudah dikenalkan sebagai alat untuk berkompetisi dalam meraih suara rakyat. Ini secara terang-terangan dikatakan demikian. 

Coba saja kita renungi lagi ungkapannya: "Kenapa magrib sama subuh di masjid? Kalau kamu magrib sama subuh enggak di masjid, orang-orang di masjid nanti suaranya diambil PKS semua," katanya.

Haha...Ungkapan yang kedengarannya lucu sekali. Apakah masyarakat Indonesia khususnya mereka yang beragama Islam dan melakukan salat jamaah magrib dan subuh di masjid akan serta merta memilih salah satu dari dua partai tersebut ketika melihat kader dari dua partai itu berada di masjid bersama mereka?

Tampaknya rakyat Indonesia sekarang ini sudah pada "melek sosok wakil rakyat" ketika memilih seseorang untuk memperjuangkan aspirasinya. Rakyat sudah banyak tahu tentang bagaimana kualitas dan integritas wakil-wakilnya di gedung dewan.

Maka menjadikan bagian ajaran agama sebagai upaya untuk meraih simpati pemilih dan upaya mendulang suara agar terpilih menjadi anggota dewan atau menjadi pimpinan di negeri ini, hanyalah merupakan upaya menjadikan agama seolah "menjadi opium" untuk membius pemeluknya.

Misal pun tidak mau mengatakan demikian, maka dalam praktik dan kenyataannya, hal tersebut merupakan upaya-upaya yang mirip-mirip dengan menjadikan amalan agama sebagai instrumen politik pendulang suara. Terhadap hal ini tentu saja ada yang pro dan ada yang kontra. Itu biasa...

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun