Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Berpikir, Maka Aku Setengah Ada

8 Februari 2018   08:52 Diperbarui: 8 Februari 2018   11:52 2772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(interculturalsolutions.net)

Filosof Perancis, Rene Descartes, pernah mengatakan "aku berpikir, maka aku ada". Menurutku, dalam beberapa hal pernyataan itu salah arau setengah benar. Ungkapan sebaliknya justru yang benar; "aku berpikir, maka aku tiada". Kok bisa?

Seperti kita ketahui, Descartes adalah seorang filosof beraliran rasionalisme. Aliran filsafat yang menekankan pada fungsi-fungsi akal pikiran untuk menyerap kebenaran dan kenyataan.

Fungsi akal pikiran manusia tentunya adalah berpikir. Apa pun yang ada bisa dipikirkan oleh akal; yang ada yang bisa diindra atau yang ada yang tidak bisa diindra. Pokoknya segala yang ada itulah yang bisa dipikirkan manusia.

Ketika fungsi dari akal adalah untuk berpikir dan ciri hakiki manusia itu akal, maka menggunakan akal untuk berpikir berarti membuat manusia menjadi ada. Kira-kira demikianlah alur logika Descartes.

***

Tetapi dalam kenyataannya, sepertinya tidak demikian adanya. Ketika manusia berpikir tentang sesuatu, maka dia sedang melakukan perjalanan intelektual, imajinatif, nalar dan ideal. Itu bukan perjalanan nyata, tetapi perjalanan "tidak nyata" di alam pikiran.

Diri kita masuk ke dalam labirin-labirin pikiran. Menelusuri jalan-jalan yang di atasnya berserakan ingatan dan ide. Kemudian kita memungut salah satunya untuk dijadikan pemikiran yang baru.

Seperti itulah sesungguhnya ketika manusia sedang berpikir di alam pikirannya. Dia melepaskan diri dari pengaruh alam nyata untuk sejenak masuk ke alam tidak nyata yang tidak bisa diraba dan dirasa.

Hal ini menjadi benar adanya, ketika melihat seseorang yang sedang berpikir, dia seolah-olah tidak peduli dengan keadaan di sekelilingnya. Segala gangguan (distraksi)  sekuat tenaga disingkirkannya.

Satu dua jam atau lebih akan dihabiskannya berkelana di alam pikirannya sendiri; alam yang tidak mau diganggu oleh anak dan istri. Alam yang tidak mau disentuh oleh pacarnya sendiri sekalipun.

Baru setelah dia selesai melakukan perjalanan pikirannya, kesadaran bahwa dia lapar, dia pegal dan dia kesal muncul kemudian. Fokus dan konsentrasi dalam berpikir membuatnya lupa akan hal-hal tersebut sebelumnya.

Mengapa manusia membutuhkan "kesepian" untuk berpikir jernih dan tajam? Bukankah kesepian adalah ungkapan lain dari ketiadaan dan kehampaan; tidak ada suara, tidak ada manusia, tidak ada apa-apa selain pikirannya sendiri?

Berpikir adalah cara manusia untuk menarik ketiadaan mendekat kepada dirinya. Segala yang ada di sekelilingnya akan dilebur ke dalam pikirannya. Ketika dalam keadaan seperti itu, yang ada hanyalah apa yang terdapat di dalam pikirannya.

***

Berpikir tentang masa lalu berarti menghidupkan keadaan masa lalu yang telah tiada. Berpikir masa depan berarti memikirkan sesuatu yang belum ada. Berpikir masa kini berarti memikirkan yang ada menjadi tiada.

Dua hal dari ketiga itu mudah untuk dipahami. Sementara yang satunya perlu adanya penjelasan rinci. Penjelasan yang membuat kita membenarkan bahwa yang ada di masa kini sebenarnya ditiadakan oleh kegiatan berpikir kita.

Mari kita ambil contoh untuk memahami hal ini dengan lebih baik. Ketika Jokowi, Presiden kita, melakukan pekerjaannya sebagai pemimpin bangsa, maka akan ada tiga pemikiran yang menyikapinya.

Pemikiran pertama adalah pemikiran dari para pendukungnya. Pemikiran positif keluar dari mereka. Ungkapan, pujian dan dukungan akan mengalir deras kepadanya.

Terkadang saking positif dan baik menurut mereka, Jokowi akan menjadi sosok yang tidak nyata. Sosok yang seolah menjadi sangat ideal. Sosok yang melebihi eksistensinya pada saat ini sebagai manusia biasa.

Ini artinya sosok yang sebenarnya dari Jokowi "ditiadakan" sendiri oleh pemikiran positif pendukungnya. Sosok Jokowi sebagai Presiden sekarang sudah buru-buru ditarik untuk menjadi sosok Presiden di periode kedua nanti.

Pemikiran kedua adalah pemikiran negatif. Segala sesuatu yang dikerjakan Jokowi seolah-olah tidak ada benarnya. Kata "tidak ada benarnya" adalah hasil dari pemikiran mereka yang menentangnya atau mereka yang tidak mendukungnya.

Prestasi dan hasil kerjanya ditiadakan oleh mereka yang berpikir negatif. Seolah-olah Jokowi itu tidak ada baik dan benarnya di mata mereka. Semua kita mengetahui selama ini, siapa-siapa saja yang selalu meniadakan pekerjaan yang dilakukan Jokowi ini.

Bukankah itu menunjukkan bahwa pemikiran mereka telah menghilangkan kenyataan di depan matanya? Bukankah karya nyata Jokowi dinafikan begitu saja oleh mereka? Begitulah akibat dari berpikir negatif dalam hal Jokowi.

Pemikiran ketiga adalah pemikiran netral; tidak mendukung dan tidak menolak. Netralitas justru lebih menandakan sikap yang tidak menguatkan keberadaan dan tidak menguatkan penafian.

Dalam pemilihan umum misalnya, netralitas pemilih adalah tidak mencoblos surat suara. Karena tidak mencoblos surat suara, maka dia tidak ada di calon A atau tidak ada di calon B.

Keputusan untuk bersikap netral ini tentunya merupakan hasil dari proses pemikiran yang telah dilaluinya. Lebih baik tidak memilih Jokowi atau Prabowo. Demikianlah pemikiran mereka yang masuk dalam kelompok yang netral.

Baik Jokowi atau Prabowo, pada masa Pemilu 2014 lalu, tidak ada di dalam pemikiran mereka. Jokowi atau Prabowo menjadi tidak masuk dan eksis dalam profil Presiden Indonesia menurut mereka.

Demikian contoh dari aktivitas kegiatan berpikir seseorang ketika memikirkan sesuatu hal. Dia "meniadakan sementara" atau "meniadakan permanen" objek pemikiran di alam nyata dengan cara meleburnya dalam pikirannya.

***

"Aku berpikir maka aku ada", hanyalah ungkapan setengah jalan untuk menuju ada yang sesungguhnya. Apa yang ada dalam pikiran tidak akan serta merta menjadi ada dalam kenyataan.

Upaya manusia mewujudkannya adalah upaya lain di luar upaya berpikirnya. Gerak badan, ayunan tangan dan langkah kaki adalah bagian dari upaya mewujudkan yang ada dalam pikiran tersebut.

Ada dalam pikiran belum tentu ada dalam kenyataan. Ada dalam kenyataan belum tentu sebelumnya ada dalam pikiran. Siapa yang pernah memikirkan keberadaan alam ini sebelum alam itu sendiri ada? Tak seorang pun.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun