Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa Kabar "Praduga Tak Bersalah"?

6 Februari 2018   18:37 Diperbarui: 6 Februari 2018   18:49 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bertebaran analisis politik di mana-mana. Setiap orang memiliki sudut pandangnya sendiri-sendiri. Semua itu ikut meramaikan wacana dan berita mengenai wacana. Seperti inilah asyiknya hidup di zaman merdeka seperti sekarang ini.

Bagi kakek-nenek yang mengalami hidup di zaman kolonial dan revolusi plus zaman Orde Baru, mungkin hal ini sesuatu yang mengejutkan. Mereka pada zamannya tidak merasakan lezatnya kebebasan berbicara, bersuara, berpendapat dan memberikan wacana.

Tetapi saat ini siapa pun bisa berbicara dan berwacana. Tidak peduli apakah wacana tersebut sesuai fakta atau sekedar imajinasi belaka. Terlepas dari itu semua, ini sebuah fakta bahwa di Indonesia sekarang manusianya sudah benar-benar menjadi manusia dengan ciri nalar dan wacananya.

Isu paling menarik di dalam perputaran dan pertukaran wacana tentu saja isu politik. Karena politik -meminjam definisi klasik- adalah cara atau seni untuk mendapatkan kekuasaan dalam rangka mengendalikan keadaan di tengah-tengah masyarakat.

***

Ok, kekuasaan yang ingin didapatkan tersebut dari mana asalnya. Ya dari rakyat toh. Karena siapa lagi yang memiliki kekuasaan di negeri ini selain rakyat. Ini disebabkan karena sistem politik kita tidak menganut sistem teokratis seperti yang diimpikan sebagian kalangan.

Kita menganut sistem politik dengan ideologi demokrasi. Benar atau tidak dengan sebutan tersebut tidak harus terlalu dipikirkan. Mau sistem, mau ideologi mau apa kek sebutannya, intinya kekuasaannya berasal dari rakyat. Titik.

Jika kekuasaan berasal dari rakyat itu, berarti tidak ada yang bisa memberikannya kecuali rakyat? Benar, memang demikian adanya. Lihat saja bagaimana potongan-potongan dan fragmen-fragmen kekuasaan dipungut dan dikumpulkan setiap kali ada hajatan Pemilu atau Pemilukada.

Para calon penguasa itu turun gunung menebar senyuman supaya si Painem menyerahkan "suara dan kekuasaannya" ke dia. Jika dirasa kurang berhasil dengan senyuman, satu bungkus sembako berisi 1 kg beras, mie instan, gula dan teh jadi andalan.

Tetapi setelah berkuasa, apakah mereka ingat dengan semua senyuman dan barter sembakonya? Pasti sebagian di antara mereka ingat lah. Ingat bagaimana caranya mereka mengembalikan modal jualan janji tersebut. Ingat dari mana kira-kira mencari lubang untuk mengalirkan uang pengganti modal tersebut.

***

"Kamu kok suuzon dengan semua para politisi." Mungkin ada yang berpikiran demikian. Sebentar, siapa pula yang  mengatakan "semua?" Sebagian bukan semua. Lanjut, sekarang apa itu suuzon? Suuzon itu kan berburuk sangka kepada seseorang. "Berburuk sangka", bukan "berburuk fakta".

Apakah jika kita sebagai rakyat telah melihat fakta penyimpangan sebagian pejabat baik pusat dan daerah kemudian mengatakan "sekarang banyak pejabat di negeri ini pada korupsi dan dipenjara" itu dikatakan suuzon? Bukankah itu telah menjadi fakta?

Keadaan demikian itu bukan lagi ada di ranah berburuk sangka, tetapi itu berada di ranah "berburuk fakta" alias fakta buruk dari pejabat yang terciduk tersebut. Janganlah rakyat selalu dibingungkan dengan prinsip "praduga tak bersalah" ketika melihat oknum pimpinannya diseret KPK.

Oke, kita harus menjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah dalam arti junjung dan simpan di rak dan lemari buku saja biar jadi prinsip hukum untuk diberlakukan di ruang-ruang pengadilan. Biar keadilan benar-benar diwujudkan di ruang persidangan.

Untuk rakyat yang telah mengikhlaskan suaranya dalam membantu menyulam dan merangkai kekuasaan orang yang dipilihnya, tidak ada itu praduga tak bersalah, yang ada adalah fakta bersalah. Titik.

Terkadang selama ini, masih saja ada seruan untuk berpraduga tak bersalah. Bahkan pun ketika rakyat mencurigai tindak-tanduk mereka yang berkuasa sebagai gelagat akan diseret KPK, seruan praduga tak bersalah selalu digadang dan didagangkan oleh sebagian orang.

Capek deh,  jelas-jelas sudah menggasak duit rakyat, kok masih bisa-bisanya tidak boleh berburuk sangka. Masih saja rakyat dilarang untuk memikirkan sesuatu keadaan yang buruk mengenai pimpinannya karena the bos is always right.

Mestinya, biarkan saja term praduga tak bersalah itu berkeliaran di ruang persidangan tetapi tidak di pikiran rakyat (bukan nama koran). Karena jika kata itu tetap dipaksakan untuk hilang  dari pikiran rakyat, terus siapa lagi yang akan memberikan warning terhadap gejala menyimpang dari oknum-oknum itu?

***

Tulisan ini bukan merupakan tulisan akademik tentang wacana hukum dengan teori rumit berlandaskan definisi diskursif analitis substantif spekulatif, tetapi ini hanya merupakan cara seorang rakyat yang gerah dengan berita-berita mengenai oknum penjabat yang diseret KPK di mana-mana. Tulisan agar tidak lagi terbius dengan ungkapan praduga tak bersalah yang sering bertebaran dan berseliweran di berbagai media.

Karena jangan sampai praduga tak bersalah ini sekarang berubah makna. Makna yang asalnya menjadi dogma dan prinsip hukum agar keadilan ditegakkan terhadap seorang yang terkena kasus, kemudian dijadikan "instrumen verbal politik" untuk menjaga citra dan nama baik seseorang meskipun sudah nyata-nyata dia mencoreng mukanya sendiri.

Sangat aneh ketika seseorang mencoreng mukanya sendiri kemudian ia atau temannya mengatakan ke orang lain: "jangan kamu mengatakan mukaku atau mukanya coreng-moreng, jangan berburuk sangka bahwa mukaku atau mukanya penuh arang!" Padahal seluruh mata memandang dan membenarkan bahwa mukanya berlepotan arang. Tidak lucu jadinya kan...?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun