Jika Ebit G. Ade mencoba bertanya kepada rumput yang bergoyang, maka ada kalanya perlu juga berdiskusi dengan lumpur di pematang. Makhluk jadi-jadian dari tanah yang sering disingkirkan orang.
Manusia bisa belajar dari apa saja. Dari sekolahan, dari teman sesama manusia juga dari teman sesama makhluk ciptaan-Nya.Â
Sore itu aku memilih berteman dengan lumpur dengan harapan mendapatkan pencerahan hidup.
***
"Kenalkan namaku Manu, kamu lumpur kan?" Tanyaku kepadanya sambil menyodorkan tangan.Â
Disambutnya tanganku dengan penuh kesejukan dan warna-warni hitam kelam yang melekat basah di tubuhnya.
"Tapi tidak apa-apa, toh sejatinya aku juga sebagai manusia tidak ada bedanya dengan dia pada masanya dahulu kala." Batinku ketika menyentuh lumpur tanda keakraban.
"Ya, aku lumpur. Memang demikian, kamu juga asalnya sama seperti aku." Kata si lumpur tiba-tiba menyahutiku, seolah si lumpur mengetahui bisikan hati dan batinku.
***
"Dahulu kala sebelum kamu lahir ke dunia ini melalui orang tuamu, aku lebih dahulu diciptakan oleh Tuhanmu. Dari aku pulalah kalian umat manusia dibuat oleh Tuhanmu."Â
"Kamu pasti tahu kan yang namanya Adam?" Ocehnya ke aku seolah tidak memberi kesempatanku untuk berkata.