Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berimajinasi untuk Memahami

25 Januari 2018   20:43 Diperbarui: 25 Januari 2018   23:57 1434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hakikat manusia salah satunya berpikir dan memahami. Apa pun yang tampak dalam kehidupan bisa memberikan makna dan pemahaman. Pun juga yang tidak ada dalam kenyataan, bisa memberikan pencerahan untuk siapa pun. Berimajinasi dalam rangka memahami merupakan upaya pribadi ketika kesadaran akan permasalahan muncul. Lakukanlah itu tanpa harus ragu!

Refleksi

Jangan kita mengira neraka ada di sana semata-mata. Namun di sini dan kini ia membuka pintu gerbang selebar-lebarnya. Setiap orang berpeluang dilumat apinya. Tidak peduli kriminal atau Kyai sekalipun. Katakan saja itu neraka jiwa.

Dunia tidak mewujud dengan tampilan membosankan. Ia tersenyum kepada seseorang. Satu waktu ia cemberut dan mengambek kepada lainnya. Ia mengangkat si A, namun menginjak si B.

Berpasangan dan berkelit kelindan sifat dunia. Tampak kontradiktif atau terkadang harmoni menjelma. Kelalaian diri memberi makna pada itu, potensial memfungsikan dunia sebagai neraka kebodohan yang membara.

Kehilangan bisa membingungkan. Kehadiran bisa menenangkan. Tetapi semu dari itu semua tetaplah ada. Tidak semua yang baik itu indah. Tidak semua yang buruk itu menjijikkan. Kewaspadaan hati dan nalar di sini diuji.

Ini bukan relativisme pemikiran. Ini bukan abu-abu pemahaman. Beragam persepsi bukan berarti ilusi. Ketika intelek kita naik dan meninggi, semua itu akan tampak seolah menjadi satu.

Keberagaman dan warna-warni terjadi manakala sisi-sisi mata manusia terhalangi. Bukan oleh kebodohan. Karena tidak ada yang namanya kebodohan. Warna-warni terhalangi oleh ego dari pengetahuan diri yang licik, sempit dan fanatik.

Orang bisa menyebut sawah sebagai ladang ketika musim palawija. Orang juga bisa melabelinya sebagai lapangan bola di sore hari musim kemarau. Atau orang bisa menyegelnya sebagai jaminan kredit usaha.

Objeknya satu, tetapi sebutan dan fungsi ganda dan beragam. Ini semua tergantung bukan karena mata di kepala. Tetapi tergantung mata pikiran dan tujuan serta kebutuhannya.

Pun demikian, kosa kata surga dan neraka itu sama. Bagi si A lautan adalah surga. Bagi si B itu adalah neraka. Kemampuan bisa membuat objek menjadi surga. Kebodohan akan menyulapnya menjadi neraka.

Inikah surga dan neraka dalam opini? Atau surga dan neraka dalam tujuan? Orang bisa memberi khayalan dan harapan melangit terhadap keduanya. Itu terserah pribadi-pribadinya.

Bukan mengingkari rukun iman atau hari nanti waktu mengatakan semua itu. Tetapi hikmah disegerakan masa kini dan di sini dari semua pemahaman tadi adalah lebih berarti.

Mengapa terhadap sesuatu yang mengasyikkan manusia menginginkan sekarang sedangkan yang memuakkan disingkirkan jauh-jauh ke belakang atau ke masa depan dengan harapan agar hilang?

Mari jujur pada diri sendiri. Apakah yang tampak sekarang di diri itu kesenangan? Apakah yang hilang itu kesengsaraan? Belum tentu. Diri manusia fleksibel dengan kenyataan.

Meski wujudnya sama namun esensi di waktu tertentu akan menjadi berbeda. Perbedaan yang dipicu oleh sifat kepentingan yang berbeda pula. Menjadi masalah dan sesak jiwa jika memaksakan perbedaan itu tidak ada.

Implementasi

Narasi di atas adalah abstraksi mengenai yang tampak dan tidak tampak dalam sudut pandang keragaman. Tak perlu istilah Bineka Tunggal Ika. Itu sudah jelas dan nyata.

Kita rakyat melihat semua gejolak dan peristiwa terkadang membuat kesimpulan sederhana. Ketika menarik, ia baik. Ketika membosankan ia jelek. Itu adalah persepsi terburu-buru.

Tetaplah kita menjadi seperti ini. Harapan bisa membuat diri tercerabut dari kesejatiannya. Mengejar keinginan bisa membuat jurang kebangkrutan dan penderitaan berkepanjangan.

Menjadi makmur adalah tujuan bangsa dan negara kita. Tetapi jika tidak cermat, ilusi dan imajinasi tentang kemakmuran bisa mengakibatkan kita tidak terkendali untuk mengejarnya.

Belum lagi ketika istilah kemakmuran diperselisihkan maknanya. Kemakmuran versi penguasa dan kemakmuran versi rakyat jelata bisa menjadi sangat berbeda. Tidak sama dalam sejatinya.

Percayakah kita pada laporan-laporan statistik yang menyebutkan tingkat kemiskinan menurun? Belum tentu. Statistik adalah hasil uji sampel dari responden yang telah ditetapkan.

Kemiskinan tidak bisa diwakilkan. Kekayaan tidak bisa dititipkan. Kenyataan tidak bisa disederhanakan dengan angka dan hitungan. Kenyataan adalah yang kita temui di lapangan bukan di tayangan.

Harapan terhadap demokrasi boleh saja menjadi mimpi. Tapi ingat, demokrasi bukan dewa. Demokrasi bukan aksioma yang benar tanpa didebat atau diperkarakan.

Penguasa bisa mengartikan demokrasi sekadar dalam konteks Pilkada atau Pemilu. Tetapi tidak dalam penguasaan potensi dan aset ekonomi. Di yang terakhir lebih banyak konsep monopoli. Cermati sendiri!

Harapan, persepsi dan opini rakyat juga bukan kebenaran. Begitu juga penampilan dan tindakan penguasa bukan keputusan akhir dalam kebenaran. Dialektika di antara keduanya penting dipertahankan.

Dengannya akan terjadi sintetis dan sinergi. Bukan kompetisi dan partisi. Kebersamaan dalam beropini akan menjadi salah satu perangkat untuk menjembatani gap dan lacuna yang muncul.

Suara rakyat tetap diperlukan. Di media, di ruang terbuka, di dunia maya dan di mana pun ruang yang bisa menjadi media bersuara. Telinga penguasa harus terbuka. Sehingga informasi dan fenomena dari arus bawah menggema di dalam kepalanya.

Titik temu dari semua adalah kebijakan, program dan kegiatan. Dirasakan oleh setiap orang. Dibuktikan oleh setiap manusia. Dibenarkan oleh setiap kita. Seperti itu seharusnya.

Tidak perlu dibenturkan antara atas dan bawah, rakyat dan penguasa, miskin dan kaya atau surga dan neraka di Indonesia ini. Kutub dan sudut pandang bukan kotak yang tidak bisa terbuka. Tetapi ruang tempat masing-masing bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi.

Maka cara berpikir hitam putih, benar salah, kamu aku, kita mereka hanya akan membuat kita menjadi manusia buta dan gelap dari cahaya pengetahuan yang terus berkelanjutan.

Abstrak, relatif dan tidak sesuai standar mungkin rangkaian kalimat di atas. Tetapi standar, absolut dan konkret hanyalah label dari kesepakatan manusia. Tak ada jaminan bahwa itu adanya. Siapa yang akan meyakini sepenuh hati bahwa Jakarta itu Ibu Kota Indonesia sampai kiamat nanti?

Sekarang mungkin ya. Tetapi bukankah sudah ada wacana untuk memindahkannya. Wacana yang mungkin saja satu ketika menjadi nyata dan fakta. Waktu lagi-lagi menjadi hal terakhir yang akan menentukannya.

Renungkan semua apa pun. Itu boleh saja. Tetapi bawalah perenungan itu dalam dunia nyata. Untuk kita di sini atau nanti. Untuk kita sebagai manusia. Untuk kita sebagai Indonesia.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun