Percayakah kita pada laporan-laporan statistik yang menyebutkan tingkat kemiskinan menurun? Belum tentu. Statistik adalah hasil uji sampel dari responden yang telah ditetapkan.
Kemiskinan tidak bisa diwakilkan. Kekayaan tidak bisa dititipkan. Kenyataan tidak bisa disederhanakan dengan angka dan hitungan. Kenyataan adalah yang kita temui di lapangan bukan di tayangan.
Harapan terhadap demokrasi boleh saja menjadi mimpi. Tapi ingat, demokrasi bukan dewa. Demokrasi bukan aksioma yang benar tanpa didebat atau diperkarakan.
Penguasa bisa mengartikan demokrasi sekadar dalam konteks Pilkada atau Pemilu. Tetapi tidak dalam penguasaan potensi dan aset ekonomi. Di yang terakhir lebih banyak konsep monopoli. Cermati sendiri!
Harapan, persepsi dan opini rakyat juga bukan kebenaran. Begitu juga penampilan dan tindakan penguasa bukan keputusan akhir dalam kebenaran. Dialektika di antara keduanya penting dipertahankan.
Dengannya akan terjadi sintetis dan sinergi. Bukan kompetisi dan partisi. Kebersamaan dalam beropini akan menjadi salah satu perangkat untuk menjembatani gap dan lacuna yang muncul.
Suara rakyat tetap diperlukan. Di media, di ruang terbuka, di dunia maya dan di mana pun ruang yang bisa menjadi media bersuara. Telinga penguasa harus terbuka. Sehingga informasi dan fenomena dari arus bawah menggema di dalam kepalanya.
Titik temu dari semua adalah kebijakan, program dan kegiatan. Dirasakan oleh setiap orang. Dibuktikan oleh setiap manusia. Dibenarkan oleh setiap kita. Seperti itu seharusnya.
Tidak perlu dibenturkan antara atas dan bawah, rakyat dan penguasa, miskin dan kaya atau surga dan neraka di Indonesia ini. Kutub dan sudut pandang bukan kotak yang tidak bisa terbuka. Tetapi ruang tempat masing-masing bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi.
Maka cara berpikir hitam putih, benar salah, kamu aku, kita mereka hanya akan membuat kita menjadi manusia buta dan gelap dari cahaya pengetahuan yang terus berkelanjutan.
Abstrak, relatif dan tidak sesuai standar mungkin rangkaian kalimat di atas. Tetapi standar, absolut dan konkret hanyalah label dari kesepakatan manusia. Tak ada jaminan bahwa itu adanya. Siapa yang akan meyakini sepenuh hati bahwa Jakarta itu Ibu Kota Indonesia sampai kiamat nanti?