Inikah surga dan neraka dalam opini? Atau surga dan neraka dalam tujuan? Orang bisa memberi khayalan dan harapan melangit terhadap keduanya. Itu terserah pribadi-pribadinya.
Bukan mengingkari rukun iman atau hari nanti waktu mengatakan semua itu. Tetapi hikmah disegerakan masa kini dan di sini dari semua pemahaman tadi adalah lebih berarti.
Mengapa terhadap sesuatu yang mengasyikkan manusia menginginkan sekarang sedangkan yang memuakkan disingkirkan jauh-jauh ke belakang atau ke masa depan dengan harapan agar hilang?
Mari jujur pada diri sendiri. Apakah yang tampak sekarang di diri itu kesenangan? Apakah yang hilang itu kesengsaraan? Belum tentu. Diri manusia fleksibel dengan kenyataan.
Meski wujudnya sama namun esensi di waktu tertentu akan menjadi berbeda. Perbedaan yang dipicu oleh sifat kepentingan yang berbeda pula. Menjadi masalah dan sesak jiwa jika memaksakan perbedaan itu tidak ada.
Implementasi
Narasi di atas adalah abstraksi mengenai yang tampak dan tidak tampak dalam sudut pandang keragaman. Tak perlu istilah Bineka Tunggal Ika. Itu sudah jelas dan nyata.
Kita rakyat melihat semua gejolak dan peristiwa terkadang membuat kesimpulan sederhana. Ketika menarik, ia baik. Ketika membosankan ia jelek. Itu adalah persepsi terburu-buru.
Tetaplah kita menjadi seperti ini. Harapan bisa membuat diri tercerabut dari kesejatiannya. Mengejar keinginan bisa membuat jurang kebangkrutan dan penderitaan berkepanjangan.
Menjadi makmur adalah tujuan bangsa dan negara kita. Tetapi jika tidak cermat, ilusi dan imajinasi tentang kemakmuran bisa mengakibatkan kita tidak terkendali untuk mengejarnya.
Belum lagi ketika istilah kemakmuran diperselisihkan maknanya. Kemakmuran versi penguasa dan kemakmuran versi rakyat jelata bisa menjadi sangat berbeda. Tidak sama dalam sejatinya.