Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Retorika Rakyat: Aku Bagian Darimu, tetapi Anda adalah Mereka

23 Januari 2018   23:45 Diperbarui: 24 Januari 2018   01:51 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Haha. Saya sedikit tertawa dengan judul yang saya tulis sendiri itu. Rangkaian kalimat itu mirip-mirip tautologi atau malah kontradiksi. Tapi terkadang dalam kehidupan sehari-hari retorika dan pelesetan kata bisa menjadi hiburan juga bagi kita. Lihat saja "Cak Lontong" kalau tidak percaya.

Preposisi yang dijadikan judul di atas bisa saja digunakan untuk memotret hubungan percintaan antara dua orang manusia yang tidak mendapat restu orang tua. Bisa juga digunakan untuk memotret perkongsian bisnis segitiga di mana masing-masing anggotanya berusaha saling mencari keuntungan satu sama lain.

Namun di sini preposisi tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan peta hubungan kepercayaan dan cara kerja proses terjadinya sebuah kepemimpinan di mana pun berada. Perhatikan saja nanti ketika pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2018 ini.

Tulisan ini sekadar sebuah imajinasi dari penulis amatir yang baru gabung dengan Kompasiana yang tentunya bukan seorang pengamat politik. Sekarang, mari kita lanjutkan permainan kata-katanya. Permainan dengan cara mengurai bagian-bagian dari kalimat di atas.

"Aku Bagian darimu"

Setiap kita mencoblos gambar calon anggota dewan atau pimpinan baik daerah atau nasional, kita seakan berkata pada mereka yang kita pilih tersebut: "aku dukung kamu oleh karenanya aku adalah bagian darimu". Begitu kan sebenarnya yang terjadi ketika kita memilih?

Sebuah "kepercayaan hidup mati" dalam urusan politik yang kita yakini, kita pasrahkan kepada calon idaman dan pilihan kita. Berharap bahwa mereka akan menyuarakan dan mewujudkan aspirasi-aspirasi dari rakyat yang salah satunya adalah kita, akhirnya dengan penuh keyakinan kita coblos gambar-gambar pilihan kita itu.

Tanpa peristiwa yang dimulai dari penyerahan kepercayaan kita kepada mereka dalam bentuk pencoblosan gambar calon pilihan kita, maka demokrasi di Indonesia tidak akan jalan. Jadi "aku bagian darimu" menjadi keharusan untuk dijalankan oleh segenap rakyat Indonesia.

Tidak ada pilihan lain. Meskipun bisa saja abstain, tetapi apa jadinya sebuah praktik demokrasi apabila dalam pemilu, pemilihnya abstain semua? Mustahil terlahir sebuah kepemimpinan jika semua pemilihnya abstain. Maka mau tidak mau harus ada amalan dari dalil "aku bagian darimu" tersebut.

Sejak tahap inilah proses penyerahan kekuasaan dan penunjukan wakil dari kita sebagai rakyat dimulai. Tidak peduli apakah penyerahannya melalui proses bujukan dan "serangan fajar" atau tidak, yang jelas proses tersebut sudah dimulai.

"Tetapi Anda..."

Dalam kalimat ini ada perubahan kata dari "kamu" menjadi "Anda". Kamu adalah sebutan keakraban antara dua orang teman. Sedangkan Anda adalah ungkapan dengan mengesankan adanya jarak. Jarak karena belum kenal, jarak karena status dan hierarki sosial atau jarak antara rakyat dan penguasa.

Perubahan kata ini seolah menyiratkan proses transformasi dan metamorfosis orang yang kita pilih. Orang yang asalnya bukan siapa-siapa dan menjadi bagian dari kita sebagai rakyat biasa. Setelah dia memenangkan pemilihan, maka berubahlah dia dari yang asalnya sekedar rakyat biasa menjadi penguasa atau wakil rakyat yang terhormat.

Meskipun pada awalnya terjalin keakraban sebagai seorang teman, tetapi ketika teman tersebut sudah menjadi seseorang yang memenangkan pemilihan, maka tetap saja ada jarak yang tercipta dari munculnya dunia baru di antara keduanya.

Yang tadinya "kamu" berubah menjadi "Anda" jika arah komunikasinya dari bawah. Kemudian dari "kamu" menjadi "saudara" ketika arah komunikasinya dari atas. Bukankah ini mencerminkan adanya jarak?

"...Adalah Mereka"

Yang terakhir inilah yang harus lebih kita waspadai. Jika frasa itu menjadi kenyataan, maka terjadilah perubahan. Perubahan dari kepercayaan, yang pernah kita berikan kepada dia sebagai "kamu" yang menjadi "Anda", menjadi kecurigaan. Karena "mereka" adalah sekelompok orang asing yang mungkin saja tidak kita ketahui yang sebenarnya.

Dia yang dulunya berteman dan dekat dengan kita sehingga kita berani mengatakan "aku bagian darimu" berubah menjadi dia yang mungkin akan melupakan kita dan kemudian bergabung dengan teman-teman atau kelompok yang mengusungnya.

Apabila "mereka" secara kebetulan adalah orang-orang atau kelompok yang memiliki kesamaan dengan kita, maka tidak akan menjadi masalah. Karena dengan kesamaan itu, kepentingan bisa menjadi satu. Kepentingan dari kita selaku rakyat biasa dengan kepentingan "mereka" yang merupakan jelmaan dari kepentingan rakyat juga.

Masalah akan muncul jika "mereka" adalah orang-orang atau kelompok yang sama-sama telah lupa dengan asal-usul mereka sendiri. Asal-usul yang sebenarnya harus kembali ke rakyat biasa, bukan kembali kepada penguasa yang diberi kekuasaan atau wakil yang diamanati rakyat.

Andai keadaan ini terjadi, maka lenyapnya aspirasi kita sebagai rakyat biasa yang kita titipkan beberapa bulan sebelumnya, akan mungkin saja menjadi nyata. Dia mungkin akan lupa dengan semua janji dan kesepakatan yang pernah diucapkannya di hadapan para pemilihnya. Dia kemudian asyik dengan teman-teman barunya yang sama-sama menjadi penguasa atau wakil rakyat terpilih lainnya.

Jika sekadar menjadi bagian dari mereka sebenarnya tidaklah menjadi masalah karena bagaimanapun seseorang ketika mengalami perubahan dari dunia lama dan memasuki dunia baru, maka dia akan berteman dan menjadi bagian dari mereka yang ada dalam dunia baru tersebut.

Tetapi kalau sudah menjadi mereka yang tidak kita ketahui dan mereka yang lupa dengan asal-usulnya, ini yang akan menjadi masalah; masalah dalam hal kepercayaan. Dia yang asalnya rakyat biasa, menjadi dia yang sepenuhnya penguasa atau wakil rakyat yang lupa dengan asal-usul dirinya. Lupa bahwa dirinya juga rakyat yang harus dia perjuangkan aspirasinya sama seperti yang lainnya.

Untuk menghindari hal tersebut terjadi, maka sesungguhnya harus ada frasa yang bisa mengingatkan agar tidak menjadi seperti demikian. Frasa tersebut misalnya adalah "namun tetaplah bersama kita".

"Namun Tetaplah Bersama Kita"

Hanya dengan cara menyadari bahwa sebagai penguasa atau wakil rakyat merupakan bagian dari rakyat itu sendiri (kita) maka mereka akan waspada dan selalu mengingat janji-janji yang pernah diucapkannya dahulu kala. Karena sesungguhnya tidak ada penguasa jika tidak ada yang dikuasai, tidak ada wakil jika tidak ada yang diwakili.

Yang dikuasai dan diwakili adalah rakyat. "Kita" yang ideal adalah kita sebagai rakyat yang merupakan sumber penguasa dan wakil rakyat. Rakyat adalah benih yang darinya tumbuh pohon kekuasaan. Mau segede apa pun pohon tersebut tumbuh dan akarnya mencengkeram kemana-mana, tetap saja pohon tidak mungkin ada jika tidak ada benih.

Menjadi kita adalah menjadi rakyat dengan segala masalah dan kesulitan yang dihadapi. Rakyat adalah tanggung jawab kepemimpinan dari penguasa sebagaimana tercermin dari makna katanya "rakyat" itu sendiri.

Kata ini berasal dari bahasa Arab "ra'iyah"yang berarti kepemimpinan. Ungkapan yang mengatakan bahwa "setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya (ra'iyah) menunjukkan asal kata rakyat ini.

Kepemimpinan sebenarnya berasal dari rakyat. Kepemimpinan diberikan kepada seseorang untuk menjadi penguasa ketika pemilihan dilaksanakan. Jadi sebenarnya yang memiliki kekuasaan dan kepemimpinan itu adalah rakyat. Terhadap ungkapan ini, kita semua sudah mengetahui tentunya.

Begitu pula wakil rakyat adalah mereka yang diberi wewenang untuk mewakili rakyat sebagai pemilik kekuasaan, kekuatan dan otoritas. Tidak ada yang namanya wakil lebih berkuasa dari yang diwakili. Tidak ada Wakil Presiden di mana pun di dunia, yang lebih berkuasa dari Presiden itu sendiri. Siapa yang lebih berkuasa antara Pak Jokowi dengan Pak Jusuf Kalla?

Dapat disimpulkan bahwa setelah seseorang menjadi penguasa (pimpinan) atau wakil rakyat, hendaklah dia jangan lupa dengan kita-kita sebagai rakyat yang memberikan kekuasaan dan kepemimpinan, juga kita-kita sebagai orang yang diwakili.

Sampai di sini, jelas sudah maksud dan tujuan pernyataan judul di atas. Meskipun tampak seperti tautologi bahkan kontradiksi, tetapi menurut saya, kalimat itu memiliki makna yang bisa mendorong pada terciptanya iklim kepemimpinan yang amanah sebagaimana yang kita semua harapkan.

Kalimat "aku bagian darimu, tetapi Anda adalah mereka"  tidak akan mengkhawatirkan apabila diikuti dengan frasa "namun tetaplah bersama kita".

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun