Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Modal Sosial Kultural dalam Pembangunan Ekonomi Nasional

20 Januari 2018   12:05 Diperbarui: 20 Januari 2018   15:09 2117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: reemill.blogspot.com)

Kemakmuran sebuah negara salah satunya ditentukan oleh perkembangan dalam pembangunan ekonomi nasionalnya. "Modal finansial" memang diperlukan dalam rangka menggerakkan roda perekonomian bangsa. Tanpa modal finansial, maka pembangunan ekonomi tidaklah akan berjalan.

Contoh kecil saja misalnya, sebuah perusahaan tidak mungkin dapat menjalankan roda produksi jika tidak memiliki bahan-bahan, alat-alat dan tidak mampu membayar tenaga kerja untuk memproduksi barang. Ketika modal finansial tidak cukup untuk memproduksi komoditas atau barang yang bernilai ekonomis dalam wujud apa pun, maka secara otomatis akan terhenti produktivitasnya.

Selain itu, modal finansial dalam pembangunan ekonomi skala nasional juga diperlukan dalam rangka menyiapkan berbagai infrastruktur ekonomi mulai dari yang bersifat regulasi sampai yang bersifat fisik yang berfungsi untuk kelancaran dalam rangka produksi atau distribusi.

Namun demikian, pembangunan ekonomi tidak boleh hanya memfokuskan diri pada pertumbuhan ekonomi berbasis modal finansial yang mengarah pada peningkatan nilai tambah ekonomi semata-mata, tetapi juga pembangunan yang berdasarkan pada "modal sosial-kultural". Seorang pakar ekonomi nasional Prof. Dr. Sri Edi Swasono, dalam setiap sesi kuliah yang saya ikuti, sangat menekankan pentingnya modal sosial kultural ini dalam pembangunan ekonomi nasional.

Modal sosial kultural dalam pembangunan ekonomi negara berarti modal yang berkaitan dengan sikap mental, intelektualitas, kecakapan dan keterampilan masyarakat yang terlibat dalam pembangunan tersebut. Misalnya saja, sumber daya manusia yang menggerakkan roda perekonomian sebuah perusahaan, tentunya merupakan modal sosial-kultural yang amat berharga dan merupakan aset tak ternilai dalam rangka menjaga produktivitas perusahaan tersebut.

Maka dalam konteks nasional, sumber daya masyarakat sebagai aset utama pembangunan ekonomi nasional harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Keseriusan ini bisa diwujudkan dengan cara meningkatkan skill dan keterampilan serta sikap mental masyarakat melalui pendidikan, training atau kegiatan apa pun yang memberikan manfaat lebih dalam bidang kultural.

Di samping itu, memelihara kultur kebersamaan dan rasa kesatuan sebagai sebuah bangsa juga merupakan bagian tak terpisahkan dari fokus pembangunan ekonomi nasional dalam hal modal kultural. Bahwa ekonomi nasional tidak semata-mata hanya memikirkan tentang kesejahteraan segelintir orang yang mendapatkan hak istimewa dalam menguasai potensi-potensi ekonomi, tetapi juga yang lebih penting adalah masyarakat banyak yang justru lebih membutuhkan dukungan dan penopang untuk melakukan kebangkitan ekonomi.

Antara To Have More dan To Be More

"To have more" bukanlah jargon ekonomi ideal. Ungkapan tersebut hanya akan mengantarkan mentalitas dan pola pikir masyarakat menjadi masyarakat yang rakus dan serakah tanpa memedulikan kehidupan sosial sekitarnya. Barangkali praktik-praktik monopoli merupakan salah satu bentuk praktik ekonomi yang berdasarkan pada mentalitas to have more.

Padahal dengan memiliki sesuatu yang bernilai ekonomi, seharusnya seseorang atau masyarakat menjadi lebih baik bukan hanya secara materi tetapi juga jiwa dan mentalitasnya makin membaik, inilah yang disebut sebagai to be more dalam masyarakat.

To be more setelah melalui tahapan to have more berarti pelaku ekonomi akan semakin peka dalam kehidupan sosialnya, akan menjadi lebih peduli dengan sesama akan lebih bersyukur dengan perolehannya.

Pemerintahan sebuah negara yang menganut konsep pembangunan ekonomi yang menggabungkan kekuatan modal finansial untuk memperoleh nilai ekonomi yang lebih besar dan modal kultural untuk lebih memperbaiki kualitas kehidupan rakyatnya, maka hal tersebut menandakan tingginya kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya bukan semata-mata sisi kehidupan materinya, tetapi juga kehidupan mental masyarakatnya.

Melupakan pentingnya modal kultural akan membuat praktik ekonomi semacam mesin yang sekadar menghasilkan barang produksi tanpa memiliki perasaan sebagai manusia yang memiliki hati dan pikiran. Penekanan tersebut pada akhirnya akan membawa dampak buruk karena telah terjadi ketidakseimbangan dalam hal memperlakukan aset sosial dan kultural sebuah bangsa.

Menerapkan paradigma Robinson Crusoe dalam pembangunan ekonomi nasional sebuah negara berarti negara akan mula-mula mengusahakan kemandirian ekonomi tanpa harus tergantung dengan berbagai macam skema hutang luar negeri. Seluruh potensi dan kemampuan dari sumber daya sebuah negara dikerahkan sepenuhnya dalam rangka meningkatkan saving dan investasi yang berorientasi jangka panjang. Konsep ini barangkali telah secara serius dijalankan pada masa pemerintahan Soeharto dengan mengusung Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Tentu saja ending dari rencana tersebut adalah tinggal landasnya negara ini dalam berbagai bidang pembangunan bukan hanya semata-mata ekonomi saja. Di dalamnya juga tersirat adanya upaya take off dalam kemandirian bangsa yang merupakan cerminan dari kesigapan mental, kultur, sikap seluruh rakyat sebuah negara berkat paradigma pembangunan yang tidak hanya mengutamakan peningkatan nilai ekonomis tetapi juga peningkatan nilai sosial-kultural.

Dari tidak memiliki sesuatu, kemudian menyimpan sesuatu untuk melakukan investasi dengan mengorbankan kepentingan jangka pendek untuk mengejar kepentingan jangka panjang sebuah ketahanan ekonomi negara, maka paradigma Robinson Crusoe masih amat layak untuk diterapkan dalam pembangunan nasional ekonomi negara dan bangsa Indonesia kontemporer.

Ajaran Agama sebagai Modal Kultural

Salah satu nilai yang terkandung dalam ajaran agama (Islam) sebagai modal kultural dalam kerangka mendahulukan kepentingan orang banyak adalah adanya konsep yang disebut dengan "itsar". Itsar berarti mengorbankan kepentingan pribadi atau golongan demi kepentingan orang lain atau orang banyak di luar diri sendiri.

Contoh ini sering dipraktikkan terutama pada masa peristiwa hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah. Orang-orang penduduk Madinah yang disebut golongan Anshar berlomba-lomba memberikan harta benda ataupun kekayaan bahkan mencarikan istri bagi golongan Muhajirin sebagai bentuk implementasi dari ajaran menolong sesama dan mendahulukan orang lain atau orang banyak.

Nilai religi ini di abadikan oleh Allah dalam Alquran yang artinya: Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran darinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS. Al-Hasyr :9)

Apabila konsep dan nilai religi ini dikaitkan dengan konsep "opportunity cost" dalam ekonomi publik, maka akan melahirkan sebuah konsep kebijakan publik yang akan mampu meredam egoisme dan sikap individualisme dari masyarakat. Opportunity cost sendiri sangat sejalan dengan konsep nilai itsar di atas.

Opportunity cost mengandung makna mengorbankan sesuatu yang bernilai pada saat ini dalam rangka meraih hal yang dianggap lebih bernilai. Hal ini juga sejalan dengan watak dasar manusia yang selalu mengejar sesuatu yang lebih baik walaupun harus membayarnya dengan biaya tinggi sekalipun.

Contoh tepat dalam hal itsar dan opportunity cost ini adalah misalnya pembangunan sarana sosial keagamaan untuk kepentingan bersama. Seseorang akan rela untuk mengorbankan harta bendanya dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama tadi. Karena dalam diri setiap orang sesungguhnya mereka membenarkan bahwa menjaga kepentingan orang banyak jauh lebih berharga dan lebih baik dari pada mementingkan diri sendiri.

Apalagi hal ini jika dikaitkan dengan konsep amal ibadah baik zakat, sedekah atau amalan lainnya. Umat beragama akan rela mengorbankan hartanya bahkan jiwa raganya dalam rangka untuk mendapatkan nilai pahala di akhirat nanti. Itulah contoh implementasi itsar dan opportunity cost yang lebih berdimensi sosial.

Contoh yang lebih menarik barangkali bisa kita bawa dalam urusan ekonomi bersama. Ekonomi yang diusung bareng-bareng dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama. Praktik ekonomi seperti ini sebenarnya merupakan implementasi dari itsar di atas. Di mana kemakmuran ekonomi tidak didudukkan sebagai sebuah tujuan individual tetapi dijadikan sebagai tujuan sosial dan komunal.

Dengan konsep seperti ini, maka sebenarnya bentuk-bentuk amalan ibadah seperti zakat, sedekah atau amalan dalam bentuk membelanjakan harta yang bernilai ekonomis, bisa diarahkan menjadi sebuah gerakan ekonomi produktif. Sehingga seseorang yang beragama (Islam) tidak akan pelit untuk mengeluarkan modal bersama dalam rangka menjalankan roda perekonomian masyarakat. Sebut saja misalnya koperasi yang merupakan bentuk dari "ekonomi kejama'ahan".

Dari perspektif contoh ini, maka opportunity cost bisa digeser pemaknaannya bukan sekadar mementingkan nilai sesuatu di masa depan tetapi hanya bersifat individu semata, tetapi nilai besar di masa depan yang juga memiliki dampak publik dan dampak sosial yang luas. Ini artinya konsep zakat, sedekah, bisa ditransformasikan menjadi gerakan yang berdimensi kebijakan ekonomi publik untuk dijalankan oleh warga negara Indonesia.

Kebersamaan memang menjadi ciri khas dan tradisi Bangsa Indonesia. Modal sosial kultural ini jika dikuatkan dengan modal kultural keagamaan, diharapkan bisa menjadi pendorong bagi kita semua dalam rangka menciptakan sistem dan "gaya ekonomi" Indonesia yang bersifat kegotongroyongan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun