Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mempelajari Kebenaran dari Pelosok dan Kaum Pinggiran

19 Januari 2018   00:35 Diperbarui: 20 Januari 2018   12:46 2012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sekarang ini kok beras mahal harganya ya, tidak seperti dulu". Begitu kira-kira ucapan seorang buruh tani sawah di desa saya ketika mengeluhkah harga bahan makanan pokok. Saya bukan pengamat ekonomi atau pengamat politik di negeri ini yang bisa mencari korelasi antara keduanya. Tetapi kita bisa memahami dari kesederhanaan logika dan persepsi yang berlaku bagi setiap orang. Jadi mari kita tafsirkan ungkapan tersebut dengan cara yang sederhana pula.

Kata "Sekarang" mengacu kepada dimensi waktu. Waktu saat ini yang kita alami. Bisa saja kita mengaitkannya dengan waktu politik yang disebut "rezim" atau waktu kalender yang disebut Bulan Januari ketika panen raya padi belum tiba. Ungkapan sang buruh tani di atas tadi bisa menjadi benar dan sekaligus salah. Benar apabila diukur oleh kemampuan ekonomi orang yang mengucapkannya. Salah jika diukur oleh kemampuan ekonomi orang yang berkecukupan.

Kebenaran yang keluar dari kaum dengan kemampuan ekonomi lemah, terkadang bisa dianggap sebagai kesalahan akibat keluhan semata-mata. Orang-orang pintar akan membantahnya dengan berbagai argumen bahwa ungkapan tersebut salah. Atau mereka akan menjadikan ungkapan itu untuk bahan memotivasi mereka agar tetap giat bekerja dan pantang menyerah. Kedengarannya memang seperti pelatihan motivasi dan kepribadian.

"Perdebatan tersembunyi" ini sering terjadi setiap saat. Logika orang-orang berekonomi lemah sering kalah canggih dengan logika orang-orang dengan kemampuan ekonomi kuat yang pada gilirannya memiliki perangkat logika yang kuat pula. Ketika hal itu terjadi, maka pengetahuan akhirnya menjadi alat kekuasaan untuk membungkam teriakan orang-orang lemah. Pengetahuan menjadi instrumen untuk meredam gejolak aksi bisu kaum lemah. The power of knowledge benar-benar menjadi kenyataan.

Lebih parah lagi, keluhan mereka golongan ekonomi lemah sering hanya sekedar menjadi bahan atau tema diskusi bertele-tele yang ditayangkan semarak di berbagai media massa baik cetak, elektronik atau media sosial. Beragam teori canggih muncul untuk mengkaji faktor yang memunculkan keluhan-keluhan tersebut. Mengapa hal itu terjadi? bagaimana kita menyelesaikannya?

Coba kita bayangkan. Di saat orang-orang miskin mengeluh harga beras mahal, sebagian orang yang merasa pintar malah mendiskusikannya sambil disuguhi makanan dan minuman yang lezat yang harganya belum tentu terjangkau oleh mereka yang mengeluh. Selain itu, isi dan hasil diskusi tersebut jangankan bisa langsung membuat mereka kaum lemah merasakan hasilnya, memahaminya saja mungkin membuat mereka pusing tujuh puluh keliling.

Hal-hal seperti itu sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Sempatkan saja untuk berkunjung ke beberapa pelosok desa, kampung atau pemukiman yang ada di lereng gunung yang jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota. Akan kita dapati ungkapan-ungkapan jujur apa adanya yang keluar dari mereka. Ungkapan yang menunjukkan fakta dan kenyataan yang sesungguhnya. Ungkapan yang seolah-olah sulit ditemui ketika kita berada di kota atau di kantor-kantor dengan nuansa dan gaya penuh pesona.

Saya berpikiran bahwa ungkapan-ungkapan atau keluhan-keluhan itulah kenyataan hidup yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Kenyataan yang asli tanpa ditutup-tutupi oleh beragam argumen dan ungkapan-ungkapan canggih para teoretisi. Sementara apa yang kita temui di pusat-pusat peradaban negeri ini, hanyalah merupakan kamuflase dan topeng yang dibuat mereka dengan tujuan untuk menyembunyikan diri.

Ada ungkapan yang berbunyi: "jika ingin mengetahui kebersihan sebuah rumah, masuk saja ke kamar mandinya". Ya, kamar mandi adalah bagian dari rumah yang hanya dikunjungi apabila kita memiliki kepentingan untuk membuang sampah organik kita. Sampah yang tidak mungkin dibuang di tempat lain kecuali di sana.

Tetapi justru itulah rahasianya. Rumah yang bersih bisa kita lihat dari kamar mandinya. Karena kamar mandi menjadi tempat pembuangan dan pembersihan badan pemilik rumah. Jika kamar mandinya bersih, maka bisa dipastikan pojok dan ruangan lainnya pun bersih. Sebaliknya, jika kamar mandinya kotor, maka bagian lain rumahnya juga kebanyakan akan kotor.

Jika kita analogikan keadaan rumah tadi dengan keadaan sebuah negara dan bangsa, maka kebersihan, ketertiban, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya bisa kita lihat di tempat-tempat yang jarang dikunjungi oleh para politisi dan pejabat. Desa-desa dan kampung-kampung di pelosok di mana tempat-tempat tadi hanya akan disambangi mereka ketika mereka membutuhkan dukungan suara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun