"Sekarang ini kok beras mahal harganya ya, tidak seperti dulu". Begitu kira-kira ucapan seorang buruh tani sawah di desa saya ketika mengeluhkah harga bahan makanan pokok. Saya bukan pengamat ekonomi atau pengamat politik di negeri ini yang bisa mencari korelasi antara keduanya. Tetapi kita bisa memahami dari kesederhanaan logika dan persepsi yang berlaku bagi setiap orang. Jadi mari kita tafsirkan ungkapan tersebut dengan cara yang sederhana pula.
Kata "Sekarang" mengacu kepada dimensi waktu. Waktu saat ini yang kita alami. Bisa saja kita mengaitkannya dengan waktu politik yang disebut "rezim" atau waktu kalender yang disebut Bulan Januari ketika panen raya padi belum tiba. Ungkapan sang buruh tani di atas tadi bisa menjadi benar dan sekaligus salah. Benar apabila diukur oleh kemampuan ekonomi orang yang mengucapkannya. Salah jika diukur oleh kemampuan ekonomi orang yang berkecukupan.
Kebenaran yang keluar dari kaum dengan kemampuan ekonomi lemah, terkadang bisa dianggap sebagai kesalahan akibat keluhan semata-mata. Orang-orang pintar akan membantahnya dengan berbagai argumen bahwa ungkapan tersebut salah. Atau mereka akan menjadikan ungkapan itu untuk bahan memotivasi mereka agar tetap giat bekerja dan pantang menyerah. Kedengarannya memang seperti pelatihan motivasi dan kepribadian.
"Perdebatan tersembunyi" ini sering terjadi setiap saat. Logika orang-orang berekonomi lemah sering kalah canggih dengan logika orang-orang dengan kemampuan ekonomi kuat yang pada gilirannya memiliki perangkat logika yang kuat pula. Ketika hal itu terjadi, maka pengetahuan akhirnya menjadi alat kekuasaan untuk membungkam teriakan orang-orang lemah. Pengetahuan menjadi instrumen untuk meredam gejolak aksi bisu kaum lemah. The power of knowledge benar-benar menjadi kenyataan.
Lebih parah lagi, keluhan mereka golongan ekonomi lemah sering hanya sekedar menjadi bahan atau tema diskusi bertele-tele yang ditayangkan semarak di berbagai media massa baik cetak, elektronik atau media sosial. Beragam teori canggih muncul untuk mengkaji faktor yang memunculkan keluhan-keluhan tersebut. Mengapa hal itu terjadi? bagaimana kita menyelesaikannya?
Coba kita bayangkan. Di saat orang-orang miskin mengeluh harga beras mahal, sebagian orang yang merasa pintar malah mendiskusikannya sambil disuguhi makanan dan minuman yang lezat yang harganya belum tentu terjangkau oleh mereka yang mengeluh. Selain itu, isi dan hasil diskusi tersebut jangankan bisa langsung membuat mereka kaum lemah merasakan hasilnya, memahaminya saja mungkin membuat mereka pusing tujuh puluh keliling.
Hal-hal seperti itu sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Sempatkan saja untuk berkunjung ke beberapa pelosok desa, kampung atau pemukiman yang ada di lereng gunung yang jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota. Akan kita dapati ungkapan-ungkapan jujur apa adanya yang keluar dari mereka. Ungkapan yang menunjukkan fakta dan kenyataan yang sesungguhnya. Ungkapan yang seolah-olah sulit ditemui ketika kita berada di kota atau di kantor-kantor dengan nuansa dan gaya penuh pesona.
Saya berpikiran bahwa ungkapan-ungkapan atau keluhan-keluhan itulah kenyataan hidup yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Kenyataan yang asli tanpa ditutup-tutupi oleh beragam argumen dan ungkapan-ungkapan canggih para teoretisi. Sementara apa yang kita temui di pusat-pusat peradaban negeri ini, hanyalah merupakan kamuflase dan topeng yang dibuat mereka dengan tujuan untuk menyembunyikan diri.
Ada ungkapan yang berbunyi: "jika ingin mengetahui kebersihan sebuah rumah, masuk saja ke kamar mandinya". Ya, kamar mandi adalah bagian dari rumah yang hanya dikunjungi apabila kita memiliki kepentingan untuk membuang sampah organik kita. Sampah yang tidak mungkin dibuang di tempat lain kecuali di sana.
Tetapi justru itulah rahasianya. Rumah yang bersih bisa kita lihat dari kamar mandinya. Karena kamar mandi menjadi tempat pembuangan dan pembersihan badan pemilik rumah. Jika kamar mandinya bersih, maka bisa dipastikan pojok dan ruangan lainnya pun bersih. Sebaliknya, jika kamar mandinya kotor, maka bagian lain rumahnya juga kebanyakan akan kotor.
Jika kita analogikan keadaan rumah tadi dengan keadaan sebuah negara dan bangsa, maka kebersihan, ketertiban, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya bisa kita lihat di tempat-tempat yang jarang dikunjungi oleh para politisi dan pejabat. Desa-desa dan kampung-kampung di pelosok di mana tempat-tempat tadi hanya akan disambangi mereka ketika mereka membutuhkan dukungan suara.
Desa atau kampung-kampung di pelosok adalah tempat yang mirip-mirip dengan kamar mandi. Hanya akan dikunjungi dan didatangi lima tahun sekali dalam rangka mengumpulkan suara-suara yang dibutuhkan oleh para politisi. Setelah itu, mereka akan melupakannya, persis seperti kita melupakan kamar mandi ketika "hajat" kita sudah terpenuhi di sana.
Mari kita bandingkan tanpa harus menyebut angka. Banyak mana antara desa dan kota di negara ini? Satu kota kecamatan saja akan menaungi beberapa puluh desa di bawahnya. Ini menunjukkan bahwa lebih banyak kamar mandi dari pada ruangan tamu dan teras di negeri ini. Padahal sejatinya, sebuah rumah itu biasanya kamar mandi akan lebih sedikit dari pada ruangan-ruangan lainnya.
Oke, kita tidak perlu menyamakan secara serampangan antara negara dengan sebuah rumah secara fisik semata-mata. Karena analogi demikian amat sangat dipaksakan. Kita ambil saja substansinya dari analogi tersebut. Bahwa cermin kesejahteraan dan kemakmuran sebuah negara tidak bisa dilihat hanya di perkotaan apalagi di ibu kotanya.
Desa-desa dan kampung-kampung tempat berkumpulnya orang-orang dengan tingkat pengetahuan terbatas, tingkat ekonomi lemah, tingkat melek dunia yang rendah adalah cerminan dari pelayanan para elite politik di negeri ini kepada mereka. Bukankah mereka selalu berjanji kepada setiap gelintir pemilihnya untuk menyejahterakan mereka di saat terpilihnya nanti? Bukankah di negeri mana pun suara akan lebih banyak didulang dari rakyat kecil biasa?
Jadi, sederhana saja sebenarnya cara kita mengetahui tingkat pelayanan publik mereka kepada rakyatnya. Tidak perlu menggunakan rumus statistik yang jelimet dan mbulet untuk mengetahui apakah mereka telah benar-benar bekerja untuk rakyatnya yang dulu mereka rayu suaranya? Atau mereka hanya bekerja untuk kelompok dan partai yang mengusungnya? Cukup bertanya saja ke mereka orang-orang miskin dan lemah yang pernah mereka beri janji sebelumnya.
Pemikiran ini tentu saja akan menjadi naif jika sekedar dijadikan alasan untuk menolak kenyataan-kenyataan yang kita temui di lapangan. Pemikiran ini juga tidak dimaksudkan untuk mereduksi kebenaran teori-teori ilmiah  yang susah payah kita pelajari di bangku-bangku sekolah mulai SD sampai Perguruan Tinggi. Tidak. Pemikiran ini hanyalah sekadar memberikan sudut pandang lain bagaimana cara kita memahami suatu masalah.
Pemikiran ini hanya sekedar menyadarkan kita bahwa kita semua masih bisa menemukan beragam kebenaran di tempat-tempat terpencil seperti yang dicontohkan tadi. Jadi bukan sekedar di sekolahan atau di teras dan  ruang pajang perkotaan saja. Desa dan perkampungan terkadang lebih banyak mengandung kebenaran dan kejujuran. Kejujuran dari suara hati nurani rakyat yang tidak punya kepentingan apa-apa kecuali bisa membeli beras dengan harga murah. Itu saja keinginan mereka tidak kurang dan tidak lebih.
Akhirnya, ketika kita terbiasa dengan cara berpikir linier dan terpenjara dengan dunia pendidikan yang dibatasi di ruangan kelas dan opini yang terpengaruh oleh suasana gemerlap perkotaan, ada baiknya kita menyempatkan diri untuk menyusuri wilayah-wilayah yang sarat dengan kesusahan dan bahkan ketiadaan. Wilayah yang jarang didatangi oleh kaum elite akademisi dan elite politisi. Wilayah di mana keadaannya mirip-mirip kamar madi di pojok, sudut atau belakang rumah kita. Mari kita mencari kebenaran bahkan dari ruang hampa dan ketiadaan sekalipun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H