Wacana melegalkan kembali jenis "transportasi kurang manusiawi" yang kita kenal dengan becak mulai dilemparkan oleh Gubernur terpilih Jakarta Anies Baswedan. Walaupun sejak Gubernur Ali Sadikin jenis angkutan itu telah dilarang beroperasi di Jakarta, namun seolah tidak lekang digilas zaman, ia tetap saja eksis dan malahan sekarang hendak dijamin eksistensinya di Ibu Kota.
Saya bukan warga Ibu Kota, tetapi kebetulan sedang menuntut ilmu di Ibu Kota. Selama enam bulan terakhir ini belum pernah terlihat adanya becak beroperasi di ruas-ruas jalan yang sering dilalui. Maka ketika mengetahui kabar wacana mengenai "menghidupkan kembali" jenis transportasi ini, tergelitik rasanya untuk urun rembuk opini.
Bagi saya sebagai pendatang dari daerah dan "pengamat Ibu Kota" fenomena becak ini bisa dilihat dari beberapa sudut pandang. Bisa kita lihat sebagai fenomena budaya, fenomena kelas sosial, fenomena lapangan kerja, fenomena mobilitas warga atau fenomena masa depan wajah Ibu Kota.
Jika kita lihat sebagai fenomena budaya, tentu kita akan merasa berkewajiban untuk melestarikan jenis angkutan becak. Sebab bagaimanapun modernnya transportasi masa kini, becak tetap saja merupakan bagian dari "nenek moyang transportasi" modern yang bersaudara dengan dokar, delman, cikar dan andong. Sejarah zaman kolonial dan zaman kemerdekaan tidak akan terlepas dari peranan becak di dalam menggerakkan mobilitas masyarakat.
Sebagai bagian dari budaya bangsa, becak sama bernilainya dengan batik, gamelan, tanjidor, angklung, ondel-ondel atau warisan-warisan budaya lain yang layak untuk dilestarikan oleh pemerintah dan juga warga di setiap daerah. Karena salah satu bentuk dari kesadaran historis kita sebagai bangsa adalah melestarikan warisan budaya sendiri yang menjadi salah satu identitas dan jati diri bangsa. Jika motif legalisasi becak di Ibu Kota berakar pada urusan budaya, tentu saja kita semua setuju walau harus dengan cara-cara yang cerdas bagaimana kita melestarikannya.
Tetapi jika kita lihat dari sudut pandang lain seperti kelas sosial, lapangan kerja, rasa-rasanya melestarikan jenis transportasi ini di Ibu Kota menjadi kurang tepat. Bahkan bisa kita katakan sebagai "upaya malas" untuk beralih ke lapangan kerja yang lebih produktif dan proaktif. Tanpa kita bertujuan untuk merendahkan mereka yang berprofesi sebagai pengayuh becak, di daerah-daerah sering kita lihat para pengemudi becak di perempatan atau di pinggir jalan bersikap pasrah menunggu penumpang yang datang.
Sesungguhnya, adalah tanggung jawab pemerintah (Ibu Kota) untuk mengubah mentalitas menunggu rezeki yang mungkin masih ada di kalangan warga, menjadi mentalitas yang proaktif dan produktif. Selama ini gerakan ke arah sana sebenarnya sudah digagas oleh pasangan Gubernur Ibu Kota Anies-Sandi dan telah berjalan dengan baik melalui program OKE-OCE.
Maka jika dihubungkan dengan gerakan yang sedang gencar-gencarnya disuarakan oleh mereka, menghidupkan kembali becak sebagai bagian dari cara membuka lapangan kerja dalam rangka pemenuhan hajat hidup warga adalah semacam kemunduran dalam pembangunan mentalitas kewirausahaan dari warga Jakarta. Dengan kata lain hal tersebut malah mendorong tumbuhnya "kemiskinan sikap" dan lemahnya mental produktif proaktif dalam bekerja yang lebih baik.
Jika kita lihat dari sudut pandang mobilitas warga Ibu Kota, hal ini juga tidak akan kita temukan alasan yang benar untuk menghidupkan kembali transportasi becak. Warga sekarang lebih sadar akan pentingnya kecepatan dan keamanan dalam bertransportasi. Tengok saja misalnya, banyak warga, termasuk saya yang datang dari daerah, lebih memilih transportasi ojek atau taksi online dari pada ojek atau angkutan konvensional biasa ketika tergesa-gesa. Rasa-rasanya tidak mungkin untuk memilih transportasi becak.
Maka jika becak dihidupkan kembali, ini merupakan upaya yang sia-sia karena kecil kemungkinan warga akan menggunakan jenis transportasi ini. Akibatnya justru malah membuat para pengayuh becak tersebut "menganggur" menunggu penumpang yang tak kunjung tiba. Menciptakan pengangguran berarti sama saja melestarikan kemiskinan di tengah-tengah warga. Sekilas memang seperti membuka lapangan kerja dengan menghidupkan kembali transportasi becak ini. Tetapi sesungguhnya justru malah menutup peluang lapangan kerja yang lebih baik bagi para pengayuh becak.
Alasan lain mengenai tidak efektifnya jenis transportasi becak ini, karena jenis transportasi ini akan ikut menambah potensi kemacetan di Jakarta. Bukankah hal ini telah lama disadari oleh Gubernur Ali Sadikin dahulu ketika mengeluarkan instruksi tanggal 16 Mei 1970 tentang pelarangan angkutan becak ini di mana salah satu alasannya adalah menjadi penyumbang kemacetan di samping alasan ketertiban dan keindahan Ibu Kota. Kemudian kebijakan ini terus dilanjutkan oleh Gubernur Jakarta setelahnya.
Menurut laporan media pada tahun 2017 termasuk laporan yang dikeluarkan oleh penyedia perangkat GPS Tom Tom, Jakarta ini di samping dikenal sebagai Ibu Kota Negara Indonesia, tetapi juga termasyhur sebagai Ibu Kota termacet ke-2 di Asia setelah Bangkok bahkan masuk dalam 10 besar kota termacet di dunia. Maka tidak heran, upaya mengurai kemacetan ini sering sekali dijadikan "janji kampanye" oleh tiap calon Gubernur Jakarta dalam merangkul pemilihnya meskipun sampai sekarang masih tetap sama saja tingkat kemacetannya.
Lalu mengapa Gubernur sekarang malah akan menghidupkan kembali jenis transportasi ini di tengah-tengah maraknya beragam jenis transportasi modern berbasis online bahkan MRT yang sedang gencar-gencarnya dibangun di Jakarta? Menurut saya, jika wacana ini menjadi kenyataan, maka untuk ke sekian kalinya, upaya memiskinkan Ibu Kota dari efektivitas dan efisiensi waktu telah dilegalkan. Kemiskinan dalam hal akselerasi dan  mobilitas warga. Kedengarannya memang seperti terlalu didramatisasi. Tetapi memang begitulah mungkin kenyataannya.
Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta adalah orang-orang terpilih di antara jutaan warga Jakarta lainnya. Tentunya mereka memiliki strategi-strategi yang lebih baik dan berorientasi masa depan dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada di Jakarta. Dalam bidang lapangan kerja untuk warganya, masih banyak cara untuk menjadi pilihan di samping menjadi pengayuh becak. Gerakan OKE-OCE adalah bentuk nyata ide kreatif pemimpin Jakarta yang sekarang ini. Mungkin masih banyak ide gerakan lainnya dalam rangka memberikan alternatif lain bagai para calon pengayuh becak untuk bisa diprogramkan.
Wacana melegalkan kembali becak ini jangan sampai menimbulkan akibat-akibat yang kurang disadari. Alih-alih menciptakan lapangan kerja bagi rakyat ekonomi lemah dan miskin dengan menghidupkan kembali transportasi becak ini, malah justru menciptakan dan memelihara kemiskinan jenis baru; kemiskinan mentalitas warga, kemiskinan efektivitas dan efisiensi waktu, kemiskinan produktif dan proaktif dalam bekerja yang lebih baik, kemiskinan ketertiban lalulintas Jakarta dan kemiskinan estetika jalanan Ibu Kota. Lebih parah lagi adalah kemiskinan ide dari pimpinan Ibu Kota dalam menciptakan program dan lapangan kerja bagi warganya selain sekedar kembali mengayuh becak.
Sebagai bagian dari warisan budaya dan ciri transportasi manual tradisional kita, becak tentu layak untuk dilestarikan. Hanya saja upaya pelestariannya tidak harus dengan cara menerjunkan kembali ke jalanan Ibu Kota. Banyak cara bisa dilakukan oleh pemerintah Ibu Kota untuk melestarikan becak. Banyak pula cara bisa dilakukan oleh pemerintah Ibu Kota untuk mengangkat derajat ekonomi masyarakat lemah yang tidak harus dengan cara mengayuh becak di jalanan. Kita selaku warga pendatang sementara, mencintai Jakarta dan berharap Jakarta tetap menjadi Ibu Kota dengan sejuta pesona. Syukur-syukur menjadi kota yang bebas macet, karena macet amat menyita waktu dan tenaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H