Menurut laporan media pada tahun 2017 termasuk laporan yang dikeluarkan oleh penyedia perangkat GPS Tom Tom, Jakarta ini di samping dikenal sebagai Ibu Kota Negara Indonesia, tetapi juga termasyhur sebagai Ibu Kota termacet ke-2 di Asia setelah Bangkok bahkan masuk dalam 10 besar kota termacet di dunia. Maka tidak heran, upaya mengurai kemacetan ini sering sekali dijadikan "janji kampanye" oleh tiap calon Gubernur Jakarta dalam merangkul pemilihnya meskipun sampai sekarang masih tetap sama saja tingkat kemacetannya.
Lalu mengapa Gubernur sekarang malah akan menghidupkan kembali jenis transportasi ini di tengah-tengah maraknya beragam jenis transportasi modern berbasis online bahkan MRT yang sedang gencar-gencarnya dibangun di Jakarta? Menurut saya, jika wacana ini menjadi kenyataan, maka untuk ke sekian kalinya, upaya memiskinkan Ibu Kota dari efektivitas dan efisiensi waktu telah dilegalkan. Kemiskinan dalam hal akselerasi dan  mobilitas warga. Kedengarannya memang seperti terlalu didramatisasi. Tetapi memang begitulah mungkin kenyataannya.
Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta adalah orang-orang terpilih di antara jutaan warga Jakarta lainnya. Tentunya mereka memiliki strategi-strategi yang lebih baik dan berorientasi masa depan dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada di Jakarta. Dalam bidang lapangan kerja untuk warganya, masih banyak cara untuk menjadi pilihan di samping menjadi pengayuh becak. Gerakan OKE-OCE adalah bentuk nyata ide kreatif pemimpin Jakarta yang sekarang ini. Mungkin masih banyak ide gerakan lainnya dalam rangka memberikan alternatif lain bagai para calon pengayuh becak untuk bisa diprogramkan.
Wacana melegalkan kembali becak ini jangan sampai menimbulkan akibat-akibat yang kurang disadari. Alih-alih menciptakan lapangan kerja bagi rakyat ekonomi lemah dan miskin dengan menghidupkan kembali transportasi becak ini, malah justru menciptakan dan memelihara kemiskinan jenis baru; kemiskinan mentalitas warga, kemiskinan efektivitas dan efisiensi waktu, kemiskinan produktif dan proaktif dalam bekerja yang lebih baik, kemiskinan ketertiban lalulintas Jakarta dan kemiskinan estetika jalanan Ibu Kota. Lebih parah lagi adalah kemiskinan ide dari pimpinan Ibu Kota dalam menciptakan program dan lapangan kerja bagi warganya selain sekedar kembali mengayuh becak.
Sebagai bagian dari warisan budaya dan ciri transportasi manual tradisional kita, becak tentu layak untuk dilestarikan. Hanya saja upaya pelestariannya tidak harus dengan cara menerjunkan kembali ke jalanan Ibu Kota. Banyak cara bisa dilakukan oleh pemerintah Ibu Kota untuk melestarikan becak. Banyak pula cara bisa dilakukan oleh pemerintah Ibu Kota untuk mengangkat derajat ekonomi masyarakat lemah yang tidak harus dengan cara mengayuh becak di jalanan. Kita selaku warga pendatang sementara, mencintai Jakarta dan berharap Jakarta tetap menjadi Ibu Kota dengan sejuta pesona. Syukur-syukur menjadi kota yang bebas macet, karena macet amat menyita waktu dan tenaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H