Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Politisi Atau Peternak Ayam: Renungan Pilihan Karier Mantan Panglima TNI

15 Januari 2018   17:27 Diperbarui: 15 Januari 2018   21:58 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jenderal Gatot Nurmantyo saat diwawancarai usai upacara serah terima jabatan Panglima TNI di Lapangan Upacara Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Sabtu, (9/12/2017). (Sumber: www.nasional.kompas.com)

"Saya mulai belajar beternak sama berkebun. Di daerah Purwakarta sama teman-teman," ujar Gatot saat ditemui di Mabes AD, Jakarta Pusat, Senin (15/1/2018). "Ayam kan pasarnya enggak akan habis-habis telurnya. Makin naik lagi," kata Gatot. Demikian kutipan berita dari Kompas mengenai niatan mantan Panglima TNI Gatot Nurmayanto setelah pensiunnya nanti.

Ini bukan berita penting mengenai nasib bangsa dan negara yang terucap dari seorang mantan panglima TNI. Ini juga bukan kalimat retorika kaum politisi yang suka berimajinasi mengenai masa depan negeri ini tapi kemudian yang bersangkutan akhirnya malah menghabiskan masa depan hidupnya dengan meringkuk di balik jeruji besi. 

Ini adalah ungkapan sederhana seorang manusia biasa yang setelah sekian lama menduduki puncak kekuasaan tertinggi dalam barisan orang-orang kuat bersenjata di negeri ini, panglima TNI.

Sebagaimana sudah kita ketahui bersama, pada tanggal 8 Desember 2017 Presiden Joko Widodo telah melantik Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI yang baru menggantikan Gatot Nurmayanto. 

Kemudian satu hari berikutnya pada tanggal 9 Desember dilakukan upacara serah terima jabatan  di antara keduanya. Selesai sudah amanat yang diemban oleh Gatot Nurmayanto sebagai Panglima TNI dan beralih kepada Hadi Tjahjanto.

Kebiasaan para wartawan, jika melihat atau mengetahui seorang mantan pejabat tinggi apalagi sekelas mantan panglima TNI yang purna jabatan, mereka ramai-ramai menanyakan apa yang akan dilakukan yang bersangkutan. Akankah masuk ke dunia politik? Atau sekedar menimang cucu belaka? Siapa pun mungkin akan berpikiran bahwa Gatot Nurmayanto memiliki kesempatan luas jika mau terjun ke dunia politik.

Bahkan belum juga beliau resmi pensiun sebagai perwira aktif di TNI, Golkar dan Gerindra sudah "bernafsu" membuka pintu bagi beliau. Bahkan secara terang-terangan PPP Solo, seperti yang diberitakan Kompas, sudah mengatakan siap "mengusung" Gatot Nurmayanto jika yang bersangkutan memiliki kehendak untuk maju dalam Pilkada Jawa Tengah. 

Begitulah "nafsu merekrut" dari para politisi jika melihat seorang warga negara yang dianggapnya bisa jadi kader emas bagi partai politiknya.

Ini adalah hidup dan kehidupan. Ungkapan Gatot Nurmayanto di atas seolah menyadarkan dan menggedor status quo pemikiran kita semua. Pemikiran yang selalu linier dan membosankan. 

Seolah-olah jika seseorang dengan prestasi luar biasa harus selalu memiliki prestasi dalam segala hal termasuk "imajinasi yang dipaksakan" untuk masuk ke dalam dunia politik yang penuh intrik. Mungkin ada rasa "eman-eman" dengan nama besarnya sebagai mantan Panglima TNI. Nama yang biasa dipakai untuk menjulangkan nama partai politik. Begitulah barangkali pemikiran yang ada di benak mereka yang memberikan tawaran partainya untuk dimasuki oleh Gatot Nurmayanto.

Secara tidak sadar, pola pikir demikian sebenarnya telah merampas kemerdekaan pola pikir orang lain. Pola pikir yang mereduksi nilai dan manfaat nama seseorang "harus dimanfaatkan" untuk tujuan yang menurutnya benar. 

Padahal belum tentu yang bersangkutan mau dan mengiyakan tawaran-tawaran tersebut. Dagangan dan promosi industri partai politik ini menjadikan tawaran tersendiri bagi Gatot Nurmayanto yang mungkin saja bisa tertarik atau tidak tertarik.

Tetapi di balik munculnya beberapa peluang mudah dan penuh pengakuan untuk masuk ke dalam salah satu rumah politik di negeri ini, Gatot Nurmayanto justru mengatakan mau menjadi peternak ayam dan petani. Sebuah pilihan yang aneh jika dinilai dari segi potensi dan pasar politik menjelang Pilkada serentak tahun 2018 atau Pemilu serentak tahun 2019 nanti. 

Apakah ungkapan beliau itu sekadar retorika dan guyonan semata-mata? Atau apakah ungkapan itu menyiratkan "sindiran halus" kepada kita bahwa walaupun kita memiliki peluang dan kesempatan emas untuk eksis di dunia politik dengan modal masa lalu kita, tetapi ada sisi-sisi lain dari kesederhanaan manusia yang juga sama-sama bernilai bagi kita?

Lagi-lagi idealisme yang kelewatan terkadang membuat kita berpikir "seharusnya" terhadap orang lain dengan mengesampingkan pilihan pribadinya. Seharusnya Gatot Nurmayanto jadi politisi saja. Seharusnya beliau mengikuti para seniornya yang begitu pensiun ramai-ramai membentuk partai politik atau memperkuat partai politik yang ada. 

Seharusnya beliau mencalonkan diri menjadi pimpinan daerah saja dengan mengikuti kontes Pilkada atau Pemilu tahun 2019 nanti di mana pun daerah yang akan menjadi tempatnya.

Bagi saya, ketika mencerna ungkapan beliau mengenai keinginannya untuk menjadi petani dan peternak ayam, ungkapan itu memunculkan spektrum pemikiran yang lebih segar dan menggelitik. Segar karena keluar dari mainstream berpikir kebanyakan mantan pejabat di negeri ini yang kadang menjadi "sakit" karena terpapar post power syndrome.

Kondisi di mana mentalnya tidak siap untuk tidak berkuasa sehingga mencari-cari peluang agar bisa berkuasa kembali. Nafsu berkuasa yang tidak pernah padam yang terus menjadi ambisi dan menguasai diri. Seolah hidup akan menjadi "hina jika tidak berkuasa".

Tetapi bagi beliau, terlepas dari benar atau tidak ungkapan di atas tadi, cita-cita menjadi petani dan peternak ayam mencerminkan sebuah keasliannya sebagai manusia (genuine human) yang akan mengalami pasang surut dalam hidup ini. Ada kalanya manusia berkuasa, ada kalanya manusia dikuasai. Begitulah roda perjalanan hidup ini.

Boleh saja dulu beliau menjadi seorang yang sangat kuat dan ditakuti karena mengendalikan 600 ribu lebih prajurit negeri ini. Tak akan ada yang berani membantah perintahnya kapan pun dan di mana pun. Bahkan presiden pun akan "meminta bantuannya" jika melihat darurat negara mengancam. Seperti itulah masa lalu beliau dalam kancah kekuasaan di negeri ini.

Tetapi sebagai seorang manusia biasa, beliau juga berhak untuk "berkuasa di ladang pertanian dan peternakan". Sebuah kekuasaan yang tidak kalah mulia dan bermanfaat bagi manusia, minimal bagi keluarga dan orang-orang yang mencintainya dan bagi orang-orang di sekitarnya. 

Inilah kesadaran manusia yang terdalam yang mampu mendudukkan berbagai profesi secara adil dan seimbang tanpa merasa mentang-mentang. Mentang-mentang mantan ini, mentang-mentang mantan itu seperti yang menghinggapi mantan-mantan yang lain yang mungkin ada.

Dari sinilah kita bisa merenungkan kenyataan melalui gelitikan ungkapan beliau di atas bahwa profesi apa pun di dunia ini hanyalah titipan dan harus dipertanggungjawabkan bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Bahwa profesi apa pun itu memiliki potensi menjadikannya mulia atau menjadikannya tercela. Jadi politisi tidak serta merta akan memuliakan diri. 

Lihat saja kenyataan baru-baru ini. Seorang mantan Ketua Dewan yang terhormat, menjadi pesakitan KPK akibat tindakan yang dilakukannya selama menjabat. Sementara itu, lihatlah para pedagang kaki lima yang "tanpa kehormatan sebagai pejabat", mereka bebas sebebasnya menjalani hidup ini tanpa beban dan tanpa harus lelah mengikuti persidangan yang memalukan.

Hidup memang sebuah misteri. Apa yang pada awalnya sebagai sebuah kemuliaan, bisa dalam sekejap mata mengantarkannya menjadi sesuatu yang menghinakan. Apa yang sebelumnya menjadi bahan tertawaan orang, bisa dalam sekejap mata mengangkatnya ke takhta kemuliaan. 

Tak ada yang tahu arah kehendak Yang Maha Kuasa terhadap cerita hidup kita. Seolah tidak ada bedanya antara kehormatan seorang anggota dewan dan kehormatan pedagang kaki lima di mata manusia. Apalagi di mata Tuhan.

 Begitu pula dengan pilihan karier mantan Panglima TNI setelah pensiun nanti. Apakah beliau benar-benar mau terjun ke dunia politik untuk mempertahankan "kemuliaan dan derajat" sebagai seorang pejabat? Atau beliau akan memilih menjadi "penguasa lahan pertanian dan peternakan" seperti yang diungkapkan di atas tadi. 

Apa pun itu pilihannya, semoga saja menjadi pilihan yang terbaik bagi beliau dan akan mengantarkannya menjadi manusia yang penuh kesadaran bahwa kemuliaan bukan pada jabatan atau profesi tetapi pada kesejatian diri sebagai insan yang berbudi yang sadar bahwa kita semua adalah makhluk Ilahi Rabbi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun