Padahal, alangkah mestinya, pengawas banyak membaca jurnal, jangan hanya regulasi dan perundang-undangan lantas diterapkan "kaku" kepada para pendidik.
Akhir kata, kepada bapak Menteri Pendidikan dan Menteri Agama yang baru (kepemimpinan periode ke dua Bapak Jokowi), mulailah menata dua faktor utama tersebut (kepala dan pengawas) dan ini adalah sangat mendasar selain memperbaiki kualitas guru juga.
Kurikulum itu penting, tapi lebih penting metode. Metode itu penting tapi lebih penting jiwa-jiwa kepala sekolah, pengawas, dan jiwa guru.
Indonesia hebat, Indonesia emas, dan Indonesia bermartabat, sungguh sulit dan menjadi harapan kosong jika dua faktor tersebut sampai diabaikan.
Mulailah juga dengan membuka lelang terbuka bagi calon kepala sekolah atau pengawas yang baru. Assesment yang ketat, tidak perlu aturan jenjang kepangkatan yang belum tentu cerminkan kompetensinya.
Lebih baik cari kepala sekolah yang muda, energik, visi yang tajam ke depan meski baru golongan III.a atau III.b, daripada mencari yang tua golongan tinggi, namun hanya pandai dan ahli tanda tangan saja.
Kepala sekolah (tua/berumur) memang menjadi harapan sebagai kiblat dalam berkepribadian/ berakhlakul karimah, tapi kenyataannya tidak selalu bicara demikian, atau sanggupkah beliau kepala sekolah yang berumur mampu menampung gejala dan permasalahan disrupsi dalam dunia pendidikan?
Isu-isu politik yang berkembang saat ini tentang wacana menteri baru milenial diharapkan bisa melihat ini sebagai bahan pertimbangan proker ke depan. Sebab ini adalah fakta di lapangan yang terjadi. Selain menteri, perlu juga adanya wacana kepala sekolah dan pengawas milenial.
Sekali lagi, selamat datang Menteri Pendidikan dan Menteri Agama yang baru (nanti), dan mungkinkah (saya) nantinya juga akan mengucapkan, selamat datang kepada "mas dan mbak" kepala sekolah atau pengawas milenial?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H