Guru digenjot untuk lahirkan prestasi sekolah, tapi ketika berhasil dan konferensi pers (sengaja mengundang media massa), bagaimana sang kepala sekolah menari kegirangan di atas jerih payah sang Guru. Ada beberapa kisah juga tentang guru yang harus di ungsikan (dipindah) karena "mengganggu" sang pimpinan.
Bahkan ada juga "perbuatan tercela" yang dilakukan oleh kepala sekolah, demi pencitraan, demi dikenal atau demi disayang oleh pimpinan diatasnya, tak segan untuk memberi "upeti" dengan menggunakan "uang rakyat" (komite sekolah). Kisah ini (saya) potret dari sekolah negeri, bukan sekolah swasta yang dikelola yayasan.
Tentang perilaku menyimpang sebagian kecil kepala sekolah tersebut, yang menjadi pertanyaan-nya adalah harus "curhat" ke mana? Bukankah dengan lapor akan menimbulkan masalah baru yang mengancam nasib kami? (tutur seorang guru).
Tiba-tiba saya teringat buku karangan Joe L. Kinchelo "Teachers as Researchers (Qualitative Inquiry as Path to Enpowerment)" tahun 2014.
Joe, demikian si penulis buku yang juga praktisi pendidikan di Amerika Serikat, menceritakan kesedihan guru-guru Amerika yang diikat oleh regulasi tak adil sehingga hampir tidak ada ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, naluri alamiah curiosity dengan meneliti terabaikan, kesalahan dan regulasi yang tak pas ini tentunya pihak pemerintah yang harus bertanggunjawab.
Tapi di negeri ini sebaliknya, mungkin ada sedikit peran pemerintah juga yang keliru, sehingga melahirkan kepala sekolah yang outlier yang semestinya tak pantas lahir dipermukaan bumi pendidikan.
Untuk meningkatkan pendidikan pada abad 21 ini, merubah paradigma pendidikan dengan merevisi kurikulum itu perlu dan sebuah keharusan, meningkatkan kualitas guru dengan memperbanyak kegiatan seminar, workshop, diklat dan sejenisnya, adalah kegiatan positif untuk bekal guru dalam menjalankan profesinya.
Namun, upaya-upaya tersebut tidak berpengaruh untuk kebaikan pendidikan jika top menager disekolah (pimpinan sekolah) masih berpikiran kolot, kaku, kuno, tidak visioner, tidak cerdas dalam membaca gelombang perubahan pada abad 21 ini.  Hal ini diperparah lagi sebagian pimpinan sekolah yang money oriented, pilar-pilar pendidikan yang dirancang dan dibangun pemerintah didekontruksi oleh pimpinan sekolah dengan keserakahan. proyek, buku, proyek selokan, hingga proyek foto copy disikat habis.  Komite sebagai perwakilan masyarakat (stakeholders) yang harusnya kritis dan mengawasi sekolah, dibuat mandul karena penunjukkan anggota komite harus melalui selera pimpinan.  Tidak semua sekolah atau madrasah yang (saya) temui  "horor" seperti kisah ini.  Banyak juga sekolah/madrasah yang memiliki pimpinan yang smart dan responsible, tapi sedikit banyak pimpinan "horor" tadi jelas sangat berpengaruh terhadap nasib pendidikan di negeri ini.Â
Setelah kepala sekolah, main factor berikutnya adalah pengawas (assesor). Pengawas semestinya update informasi terkait luaran pendidikan, semisal paradigma pendidikan abad 21 menurut PISA, OECD, ISTE dan sebagainya, apakah mereka pengawas sudah memahami dengan betul?
Terkejut bukan main ketika (saya) melakukan penelitian tentang pemahaman literasi pada guru SMA dan MA di Jawa Tengah.
Dari 287 responden, hanya 54% yang memahami digital age literacy (salah satu luaran dan harapan pendidikan pada abad 21), 46% sudah memahami, dan dari 46% hanya terdapat 10% yang dalam proses belajar mengajarnya merumuskan kemampuan/ability literasi sains sebagai tujuan pembelajarannya.