Pembukaan UUD 1945 menekankan bahwa salah satu tujuan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Diperkuat dalam Pasal 31 UUD 1945, diamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara.Â
Pendidikan dasar merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh setiap warga negara. Pemerintah yang disini berperan sebagai pelayan publik, wajib membiayai dan memfasilitasi kegiatan tersebut.Â
Berdasarkan pasal 17 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, diterangkan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.Â
Pendidikan dasar tersusun atas sekolah dasar (SD) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan berfungsi sebagai alat utama untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat bangsa.Â
Menurut Nanang Fattah (2000: 78), pendidikan nasional masih dihadapkan pada masalah, antara lain: peningkatan kualitas pendidikan, pemerataan kesempatan pendidikan, keterbatasan anggaran yang tersedia, belum terpenuhinya sumber daya dari masyarakat secara profesional sesuai dengan prinsip pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua.
Pemerintah menyediakan solusi dari masalah-masalah pendidikan tadi dengan penyaluran dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). BOS mulai dicairkan pertama kali pada zaman presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005.Â
BOS bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan biaya pendidikan bagi siswa yang lain agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat, khususnya dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun.Â
Adanya dana BOS berperan penting dalam meniadakan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) bagi peserta didik SD dan SMP negeri di seluruh Indonesia. Bahkan, dana BOS juga disalurkan ke sekolah-sekolah swasta di Indonesia.Â
Dampaknya, beban biaya pendidikan yang ditanggung orang tua murid menjadi berkurang. Di samping itu, sekolah menjadi lebih leluasa mengembangkan program peningkatan mutu pendidikannya.
Puluhan triliun sudah digelontorkan pemerintah tiap tahunnya demi memajukan pembangunan pendidikan nasional. Yang dipertanyakan sekarang, apakah dana BOS ini sudah optimal untuk mendukung pembangunan pendidikan nasional?
Pengaruh Dana BOS terhadap Pendidikan Nasional
Untuk melihat pengaruh dana BOS terhadap pendidikan nasional, dapat dilihat beberapa parameter pendidikan yang sebelumnya telah disediakan oleh Kemdikbud.Â
Hal ini dapat dilihat dari naiknya rata-rata lama sekolah nasional dan menurunnya angka putus sekolah semenjak dana BOS dicairkan. Apabila data BPS ditelaah, semenjak disalurkannya dana BOS, memang ada kenaikan di variabel rata-rata lama sekolah nasional.Â
Misalnya saja, pada variabel rata-rata lama sekolah, pada tahun 2005 adalah 7,3 tahun. Pada data terakhir tahun 2019, rata-rata lama sekolah nasional telah mencapai 8,34 tahun.
Selain itu, dapat dilihat juga pada indikator angka partisipasi kasar (APK). Tercatat kenaikan APK pada jenjang SD dan sederajat mulai dari tahun 2005-2015, namun menurun dari 110.50 ke 107.46 dalam kurun waktu 4 tahun terakhir.Â
Berlawanan dengan harapan yang ada, kenyataannya angka putus sekolah (APS) pada jenjang pendidikan dasar masih tinggi, khususnya pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), meskipun program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sudah dilaksanakan, (Bayu Kharisma, 2013).
Dilihat dari variabel IPM (Indeks Pembangunan Manusia) nasional, pada tahun 2005, telah tercapai skor 69,57. Sedangkan, pada data tahun 2018, dengan metode baru, IPM Nasional sudah mencapai skor 71,39.Â
Namun, apabila dilihat lebih lanjut, IPM meningkat dari skor 69,57 ke 71,39 (selisih 1,82) dalam kurun 13 tahun, tentu peningkatan ini tidak dapat disebut peningkatan yang signifikan.Â
Begitu juga dengan rata-rata lama sekolah, yang dari 7,3 tahun, menjadi 8,34 tahun (selisih 1,04 tahun) dalam kurun 14 tahun, bukanlah suatu hal yang monumental.
Ditambah lagi dengan program Wajar 9 Tahun (Wajib Belajar 9 Tahun ). Dari pertama kali program ini mulai dilaksanakan di tahun 1994, rata-rata lama sekolah nasional belum pernah mencapai angka 9. Hal itu merupakan sebuah sinyal bagi pemerintah untuk mengoreksi kebijakan pendidikan yang selama ini dilaksanakan.Â
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bahwa pemerintah perlu bekerja keras dalam membangun dan memperbaiki kebijakan pendidikannya, khususnya dalam memperbaiki program penyaluran dana BOS.Â
Dengan begitu pemerintah dapat mencapai target yang ditetapkan di RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 yang menargetkan rata-rata lama sekolah minimal 9,16 tahun pada tahun 2024.
Dana BOS yang seharusnya dapat menjadi katalisator perkembangan pendidikan di Indonesia, ternyata belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Lantas, bagaimana optimalisasi penggunaan dana BOS bisa dilakukan?
Debirokratisasi dan Deregulasi
Menurut Satriwan Salim (Wasekjen FSGI, 2020), salah satu hal yang menjadi penghambat dalam optimalisasi dana BOS sejak awal adalah birokrasi dan administrasi penyaluran dana BOS yang dipersulit.Â
Perlu diketahui, bahwa untuk penyaluran dana BOS dengan metode lama, harus melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) terlebih dahulu. Di sini, banyak kejadian dana yang "tersangkut" di rekening tersebut, sehingga menyebabkan keadaan finansial sekolah ikut terhambat.Â
Sementara, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9 Tahun 2020 yang baru, Dana BOS akan langsung disalurkan ke rekening masing- masing sekolah.Â
Hal ini yang disebutnya sebagai debirokratisasi dan deregulasi yang dapat diapresiasi karena merupakan solusi atas kesulitan penyaluran dana BOS tadi.
Selain itu, Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020, juga dinilai sebagai bentuk lain dari debirokratisasi dan deregulasi yang dapat memberikan diskresi khusus kepada kepala sekolah untuk mengelola dan memanfaatkan dana BOS dengan lebih leluasa.Â
Namun pada kenyataannya, masih terjadi kembali kasus dana BOS tersangkut di RKUD, serta masih banyak kepala sekolah yang takut dalam penggunaannya.Â
Hal ini disebabkan masih banyak kepala sekolah yang menunggu instruksi dari gubernur terkait penggunaan dana BOS, misalnya saja untuk kuota internet siswa di masa PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) ini.Â
Padahal, seharusnya kepala sekolah mengacu kepada Permendikbud dan Permenkeu dalam menggunakan dana BOS, tidak perlu menunggu instruksi dari gubernur lagi.
BOS Pendidikan Layanan Khusus
Selanjutnya, yang menjadi salah satu faktor yang menghambat optimalisasi dana BOS ini adalah faktor keterbelakangan infrastruktur yang didukung oleh faktor geografis. Fasilitas penunjang KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) yang sudah ada di setiap sekolah berbeda-beda tiap daerahnya.Â
Belum lagi sekolah-sekolah yang secara infrastruktur tertinggal dari sekolah lain di daerahnya. Sekolah yang terletak di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) juga membutuhkan alat penunjang KBM sebagaimana sekolah yang ada di DKI Jakarta.Â
Tidak bisa dipungkiri bahwa alat penunjang KBM yang ada di daerah 3T, khususnya yang sulit dijangkau akan berharga lebih mahal.
Sesuai dengan Pasal 5, ayat 3 UU RI No. 20 Tahun 2003, warga negara di daerah terpencil berhak memperoleh Pendidikan Layanan Khusus (PLK).Â
Nah, apakah selama ini dana BOS untuk PLK sudah optimal? Lebih lagi, PLK ini seharusnya juga mendapatkan afirmasi dana di luar dana BOS reguler. Pembagian dana BOS yang menggunakan sistem nominal/orang tidak dapat dipraktikkan secara universal.
Pembagian dengan sistem ini tidak mengakomodasi sekolah yang masih tertinggal dan sekolah PLK yang ada di daerah terpencil. Kebutuhan sekolah di daerah bervariasi dan tidak bisa dipukul rata. Hendaknya penyaluran dana BOS ini berbasis kebutuhan.
Dengan begitu dana BOS bisa proporsional dan sesuai target. Hal ini bisa dilakukan jika dinas pendidikan setempat melakukan inisiatif pendataan ke sekolah-sekolah yang ada di daerahnya dan menganalisis kebutuhan tiap sekolah yang membutuhkan.
Tidak berhenti di sana. Permendikbud No. 72 Tahun 2013 tentang Pendidikan Layanan Khusus, ikut menjamin pendidikan bagi peserta pendidikan yang yang tidak mampu dari segi ekonomi.Â
Mereka yang kurang beruntung hingga harus menjadi tulang punggung keluarga dan terpaksa putus sekolah. Pemerintah wajib menyediakan akses pendidikan dalam bentuk Pendidikan Layanan Khusus atau PLK kepada mereka.Â
Dengan itu, penyaluran dana BOS harus ikut diselaraskan dengan program jaring pengaman sosial lainnya. Hal ini bisa dilakukan dengan sinergi antardinas di setiap daerah untuk terjun mendata dan membantu mereka yang kurang beruntung.
Porsi Dana BOS dan Inflasi
Solusi yang tidak kalah penting, pemerintah seharusnya dapat menaikkan porsi dana BOS dari anggaran pendidikan nasional. Dapat diketahui bahwa sebagian besar persentase dari anggaran pendidikan ini, dialokasikan ke transfer daerah serta kementerian lain di luar Kemdikbud dan Kemenag, yang dapat memunculkan kemungkinan tidak tepat sasaran.Â
Kemudian, berdasarkan data Neraca Pendidikan Daerah (NPD, 2019), Kemdikbud dan Kemenag yang sejatinya menaungi urusan pendidikan di Indonesia, justru hanya mendapat porsi 7,31% dan 10,53% dari total APBN Pendidikan.Â
Padahal, apabila APBN fungsi pendidikan tadi bisa diprioritaskan pada bidang pendidikan dasar, dan juga lebih tepat sasaran, maka nominal BOS yang disalurkan ke sekolah-sekolah bisa lebih maksimal dan bisa menunjang kebutuhan sekolah di Indonesia.
Pemerintah melalui Kemenkeu juga hendaknya menghitung pengaruh inflasi terhadap dana BOS ini. Inflasi yang terjadi tiap tahunnya mengakibatkan nilai rupiah terdepresiasi.Â
Walaupun tidak signifikan, tetapi inflasi ini akan berpengaruh terhadap nilai nominal dana BOS yang disalurkan. Hal ini penting untuk diperhatikan. Karena, jika dana BOS tidak dinaikkan secara signifikan, maka nilainya akan berkurang seiring waktu berjalan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa dana BOS memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Namun, masih banyak hal yang bisa dioptimalkan lebih lanjut dari dana BOS ini.Â
Misalnya, masalah administrasi dan birokrasi yang cukup ruwet, penyaluran yang tidak tepat sasaran, nominal dana BOS yang belum maksimal, serta perhatian lebih lanjut mengenai dampak inflasi terhadap depresiasi dana BOS tadi.
Dengan begitu, rekomendasi yang diajukan dalam rangka optimalisasi dana BOS adalah sebagai berikut:
1. Melanjutkan debirokratisasi dan deregulasi seputar penyaluran dana BOS. Kemudian, memastikan dana BOS bisa langsung digunakan oleh pihak sekolah setelah dicairkan.
2. Memberikan pendampingan kepada kepala sekolah agar tidak takut dalam menggunakan dana BOS. Kepala sekolah perlu mengetahui bahwa acuan mereka dalam teknis penggunaan dana BOS adalah Permendikbud dan Permenkeu, bukan bergantung kepada instruksi gubernur.
3. Penyaluran dana BOS, khususnya ke sekolah yang tertinggal dan terpencil hendaknya berbasis kebutuhan. Artinya, nominal dana BOS untuk setiap siswa yang sekarang diterapkan tidak bisa diimplementasikan terhadap sekolah-sekolah yang tertinggal.Â
Perlu peran Dinas Pendidikan Daerah dan Pemda setempat untuk membantu menghubungkan kebutuhan sekolah-sekolah ini dan memenuhinya. Hal ini bisa optimal seandainya ada anggaran khusus pemberdayaan sekolah tertinggal dari APBN atau APBD. Tentunya dengan pengawasan ketat dari badan-badan pemeriksa keuangan daerah.
4. Dana BOS afirmasi dilaksanakan sesegera mungkin. Kemudian, dana BOS tersebut juga harus diperkuat dan lebih tepat sasaran.
5. Perlunya pemonitoran proses penyaluran dana BOS. Jangan sampai dana yang diambil dari uang rakyat tersebut berujung pada perut pejabat korup.Â
Kemudian sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas, sekolah diwajibkan menyampaikan atau memasang pengumuman penggunaan dana BOS di sekolah penerima dana BOS.Â
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah diharapkan dapat menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas dalam setiap bentuk penyaluran, pencairan, penggunaan, pelaporan, serta supervisi dana pendidikan ke manapun itu.
6. Memperhatikan pengaruh inflasi terhadap nilai dana BOS yang disalurkan setiap tahun. Sinergi Kemenkeu dan Kemdikbud bisa ditingkatkan untuk memecahkan masalah ini.
Disusun bersama M. Bagus Agung R. W. dan Alif Ikhwanuddin M. Yusuf
DAFTAR PUSTAKA
1. Fattah, Nanang, Dr., (2000), Manajemen Berbasis Sekolah, Strategi Pemberdayaan Sekolah dalam rangka Peningkatan Mutu dan Kemandirian Sekolah.
2. Bayu Kharisma, (2013), Dampak Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Terhadap Tingkat Putus Sekolah di Indonesia: Analisis DID.Â
3. republika.co.id (Kamis 13 Feb 2020) FSGI: Sekolah Harus Berani Tampilkan Penggunaan Dana BOS. Diakses tanggal 30 Juli 2020
4. Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, (2016), Indikator Pendidikan Di Indonesia 2015/2016.
5. nasional.tempo.co (2020, 15 Juni) Nadiem Makarim: Dana BOS Bisa untuk Beli Kuota Internet. Diakses pada Senin, 28 Juni 2020
6. djpk.kemenkeu.go.id (2020, 10 Februari) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.07/2020 Tentang Perubahan Atas PMK Nomor 48/PMK.07/2019 Tentang Pengelolaan DAK NonFisik. Diakses pada tanggal 29 Juli 2020Â
7. kompas.com (2020,11 Februari) Perbedaan Kebijakan Dana BOS 2020 dan BOS 2019. Diakses pada tanggal 28 Juli 202
8. Sa'diyah el Adawiyah, (2016), Kontribusi Dana Bos terhadap Siswa Miskin di Lima Sekolah Swasta di Kecamatan Cakung Jakarta Timur. 9. Neraca Pendidikan Daerah. Diakses pada tanggal 21 Juli 2020 dari https://npd.kemdikbud.go.id/
10. Kementerian PPN/Bappenas, (2020), Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024
11. Sri Wayuni Okvita Sari, (2019), Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
12. bps.go.id . Angka Partisipasi Kasar (APK) menurut Provinsi, 2011-2019. Diakses pada tanggal 29 Juli 2020
13. bps.go.id , Angka Rata Lama Sekolah (RLS) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia Metode Lama. Diakses pada tanggal 12 Juli 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H