Dengan mempertimbangkan kegawatan keadaan wabah Covid-19 di DKI Jakarta, Pemprov DKI akhirnya menarik rem daruratnya. Pertimbangan yang diambil antara lain adalah data yang menunjukkan angka kematian dan bed occupancy rate yang naik, serta ketersediaan ICU yang menipis.Â
Proyeksi Pemprov DKI memperkirakan bahwa tempat tidur isolasi akan penuh pada tanggal 17 September 2020, dan tempat tidur ICU akan penuh pada tanggal 15 September 2020. Perkembangan situasi ini sangatlah mengkhawatirkan. Bahkan Anies sendiri menyebut kondisi ini adalah kondisi darurat.
Lewat pengumuman Anies pada Rabu malam, Pemprov DKI mencabut PSBB Transisi, dan akan memberlakukan kembali PSBB 'Total' pada hari Senin, 14 September 2020. Artinya, kegiatan masyarakat kembali dibatasi seperti semula ketika perkantoran, tempat ibadah, dan tempat perbelanjaan ditutup.Â
Imbasnya, Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) terjun bebas ke level 4.898,11 atau anjlok 4,8% pada Kamis pagi. Ia juga menyalahkan kebijakan ganjil genap yang masih diberlakukan pada masa PSBB Transisi. Menurutnya kebijakan tersebut membuat penularan banyak terjadi di transportasi umum.
"Sebagian besar data yang terpapar (COVID-19) 62 persen dari RS kemayoran basisnya karena transportasi umum. Beberapa kebijakan yang perlu dievaluasi termasuk ganjil-genap. Ini kemarin kami sudah sampaikan ke gubernur DKI," ucap Airlangga dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Kadin, Kamis (10/9/2020). (Tirto)
Pada hari Kamis, 10 September, Satgas Penanganan Covid melakukan konfrensi pers perkembangan terkini penanganan Covid. Airlangga selaku ketua PCPEN (Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) muncul ditemani oleh Menteri Kesehatan dan Kepala Satgas Covid-19. Airlangga menyampaikan hasil rapat antara Komite PCPEN Â dengan 8 Gubernur, termasuk Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Di dalam konpresnya, Airlangga menyampaikan bahwa hasil rapat disepakati untuk menyeimbangkan penanganan covid dengan pemulihan ekonomi. Ia mengatakan 50 persen perkantoran tetap bisa beroperasi. Meskipun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali melakukan pengetatan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Kami sudah menyampaikan bahwa sebagian besar kegiatan perkantoran melalui flexible working hours. Sekitar 50 persen di rumah, dan 50 persen di kantor, dan 11 sektor tetap dibuka," ujar Airlangga dalam Rakernas Kadin, Kamis (10/9). (Medcom)
Ia juga menyebutkan bahwa kapasitas kesehatan aman dan tidak ada kapasitas kesehatan yang terbatas.
"Pemerintah menegaskan bahwa tidak ada kapasitas kesehatan yang terbatas. Pemerintah sudah mempunyai dana yang cukup dan pemerintah akan terus menambah kapasitas bed sesuai dengan kebutuhan dan meyakinkan seluruh daerah, termasuk DKI Jakarta, kapasitas pelayanan kesehatan akan terus dimaksimalkan oleh pemerintah," kata Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto dalam konferensi pers yang disiarkan akun YouTube BNPB, Kamis (10/9/2020). (Kompas)
Pernyataan-pernyataan Airlangga di atas berseberangan dengan pernyataan Anies waktu mengumumkan bahwa DKI akan menarik rem darurat. Anies menyampaikan kapasitas kesehatan sudah gawat.Â
Sedangkan, menurut Airlangga kapasitasnya masih cukup. Anies mengarahkan untuk bekerja dari rumah. Sedangkan, Airlangga ngotot 50% perkantoran tetap beroperasi. Airlangga seperti bersikap denial akan kondisi kegawatan yang sedang dan akan terjadi.
Tentu perbedaan pernyataan ini sangat berbahaya.
Publik menjadi bingung
Siapa yang omongannya bisa dipegang?
Full WFH? Atau 50% tetap masuk?
Inkonsistensi?
Persepsi yang terbelah akan berkembang di masyarakat. Menenangkan publik tidak bisa dilakukan dengan cara denial. Diperlukan diseminasi kebijakan yang jelas terhadap publik. Membangun pemahaman di masyarakat bahwa kondisi yang terjadi sekarang adalah kegawatan
"Gawat", ya "Darurat"
Kalau tidak, masyarakat akan merasa aman dari covid dan kesadaran akan protokol bebas covid akan memudar. Dengan begitu penularan dan penyebaran covid akan semakin menggila. Padahal, kapasitas kesehatan sudah hampir mencapai titik kritis dan terancam kolaps.
Denial terhadap kondisi kedaruratan ini dapat berujung petaka. Karena, kapasitas kesehatan sudah kewalahan menangani kasus Covid-19 yang melonjak.
Jika penularan tidak dibatasi lewat kebijakan intervensi yang keras dan tegas, kapasitas kesehatan bisa benar-benar kolaps.
Tingkat kematian akan naik secara drastis ketika
Pasien bergejala berat berebut bed ICU.
Pasien bergejala sedang yang kondisinya memburuk tidak kebagian ventilator.
Pasien tanpa gejala tiba-tiba membutuhkan ventilator saat mengalami happy hypoxia atau hypoxemia.
Pasien baru tidak dapat tempat tidur saat rumah sakit full capacity dan tidak tahu mau dirujuk kemana.
Kematian-kematian yang terjadi akibat covid ini sangatlah tragis. Karena, kita sebagai masyarakat sebenarnya bisa mencegahnya. Dengan disiplin memakai masker, dan tidak bepergian untuk hal-hal yang bisa ditunda.
Kasihan mereka yang meninggal akibat covid.
Mereka meninggal sendirian di ruangan isolasi tanpa keluarga di samping mereka, meninggal di ICU yang sedang hectic karena nakes kewalahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI