Mohon tunggu...
I Putu Hendra Mas Martayana
I Putu Hendra Mas Martayana Mohon Tunggu... Dosen - pendulumsenja

Ik Ben Een Vrijmaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Flu Spanyol di Hindia Belanda 1918, Cermin Penanganan Wabah di Masa Lalu

9 Juni 2020   21:37 Diperbarui: 9 Juni 2020   21:31 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Storymaps.arcgis.com

Akibatnya, tubuh bereaksi dengan mengeluarkan banyak antibodi yang menghalangi keluar masuknya oksigen serta peredarannya lewat darah di dalam tubuh. Kondisi tersebut mempercepat kematian pasien.

Di Hindia Belanda sendiri, ada upaya dari Pemerintah Kolonial menunjukkan kepada dunia bahwa situasi di daerahnya baik-baik saja. Ketika akhirnya kasus Flu Spanyol mulai merebak, Pemerintah pun mendadak bingung. Kesalahan diagnosa kerap terjadi. Dalam satu kasus, pemerintah kolonial bahkan menginstruksikan kepada Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (Dinas Kesehatan Hindia Belanda) untuk memberikan vaksin kolera besar-besaran. 

Hal ini dikarenakan Pemerintah Kolonial mengira bahwa gejala Flu Spanyol mirip dengan penyakit kolera yang saat itu kebetulan juga tengah merebak di Hindia. Imbasnya, tindakan tersebut justru semakin memperparah situasi.

Selain itu, meskipun dokter mengetahui penyakit ini menular dan sangat berbahaya, ketika dihadapkan kepada pasien dari kalangan pribumi, mereka memberikan diagnosa ala kadarnya. Mereka lebih senang mendapat pasien dari kalangan Cina atau Eropa karena dipastikan bayarannya akan lebh tinggi. Sebuah kondisi yang berbeda ketika mereka berhadapan dengan pasien pribumi yang miskin. 

Hal ini sejalan dengan kondisi struktur sosial ekonomi Hindia Belanda yang menempatkan kalangan Timur Jauh seperti orang Cina dan Arab serta Eropa pada posisi yang diuntungkan. Akibatnya korban virus dari pribumi tidak tertangani, lalu begitu saja mati.

Tidak hanya itu, dokter-dokter pemerintah bahkan berusaha meyakinkan masyarakat bahwa Flu Spanyol tidak berbahaya. Pernyataan tersebut kemudian dikutip oleh media dan dijadikan rujukan bahwa Flu Spanyol ini tidak berbahaya.

Dari sisi sosial kebudayaan, kesadaran tentang penyakit menular sering dikaitkan dengan hal-hal mistik dan pengobatan tradisonal. Banyak di antaranya yang ketika mengalami gejala sakit justru datang ke dukun. 

Ketika pandemi Flu Spanyol mencapai puncak antara November-Desember 1918, beberapa pihak memanfaatkan situasi untuk mengeruk keuntungan ekonomi. Banyak dokter yang menaikkan tarif pelayanan kesehatan berkali lipat. di sisi lain, tidak ketinggalan pembuat peti mati hanya menerima pesanan ukuran besar karena keuntungan yang didapat jauh lebih besar. 

Itu pun setelah mereka menaikkan ongkosnya. Kondisi perekonomian yang carut marut menyebabkan harga kebutuhan pokok tidak stabil. Harga beras melambung tinggi sehingga wabah kelaparan dimana-mana.

Sementara itu di rapat Volksraad (Dewan Rakyat), kasus Flu Spanyol ini tidak pernah menjadi pokok bahasan utama. Tercatat hanya Dr. Abdul Rivai saja yang bersuara lantang, mengkritik lambatnya respons Pemerintah Kolonial dalam menangani pandemi. 

Pemerintah memang kemudian bereaksi dengan membentuk Influenza Commissie dan menerbitkan dua buku melalui Balai Pustaka tentang penangkalan dan penanganan Flu Spanyol ini. Namun tindakan tersebut baru diambil ketika pandemi tersebut mulai hilang. Jutaan penduduk pun sudah telanjur menjadi korban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun