Rocky Gerung, pakar filsafat lulusan UI pernah menyebut pancasila bukan ideologi. Menurutnya, Pancasila sejak awal kelahiranya bukan ditujukan sebagai ideologi. Pancasila sebagai ideologi sama sekali tidak memiliki pertautan historis dengan kelahirannya sendiri. Termasuk saat Bung Karno berpidato pada sidang BPUPKI I pada 1 Juni 1945. Pengistilahan Pancasila sebagai ideologi adalah gagasan baru yang sengaja dikonstruksi negara dalam rangka melegitimasi kekuasaannya.
Dalam dimensi legal formal, syarat sesuatu untuk bisa disebut ideologi adalah adanya kohesi di dalam unsur-unsur pembentuknya. Persoalannya, unsur atau sila yang terkandung di dalam Pancasila justru memperlihatkan pertentangan yang saling meniadakan satu dengan lainnya.
Sila kemanusiaan yang sinonim dengan humanisme, dengan sendirinya menolak eksistensi ketuhanan dari sila pertama. Alasannya, di dalam peradaban Eropa abad Pencerahan, paradigma kemanusiaan atau antroposentrisme menolak eksistensi theological view yang menjadi ciri khas pada Abad Pertengahan. Bahkan, radikalisasi terhadap pemikiran tersebut diaktualisasikan pada aktivitas membunuh tuhan sebagaimana yang diwartakan filsuf eksistensialis Jerman, Nietzsche.
Jika penyebutan Pancasila sebagai ideologi mendapat gugatan yang bersifat metodologis, aspek lain yang menjadi dampak turunan justru mengandung anakronisme sejarah. Rocky Gerung menjelaskan bahwa  dalam sejarah dunia, negara yang berideologi itu hanya ada dua, yakni fasisme dan komunisme.
 Gugatan terhadap ideologisasi pancasila menghasilkan pertanyaan baru, apakah Ia bersifat final ?. Jika iya, berarti tidak diperlukan lagi pembahasan yang mengarah kepada perdebatan eksistensi cum substansi. Tetapi bila tidak, perdebatan pemikiran tentangnya tetap diperlukan dan selalu dimungkinkan. Tujuannya tidak lain menjaga kewarasan dan akal sehat Pancasila sebagai ideologi terbuka yang siap menerima kritik akibat perubahan jaman. Â
Tulisan ini berupaya menjawab kritik Rocky terhadap ideologisasi Pancasila. Bukan berarti apa yang disampaikannya itu salah atau keliru. Bahkan, bukan menyetujui pendapatnya. Rocky. saya pikir melihat dari kacamata Barat. Itulah mengapa dia disebut sebagai filsuf liberal oleh kolega-koleganya.Â
Di sisi yang lain, saya justru tertarik melihat dari titik pandang yang berbeda. Jika Rocky mengkiritik ideologisasi terhadap pancasila sebagai anakronisme sejarah, maka, dengan titik pandang yang berbeda, saya akan mengatakan bahwa  Pancasila melampaui kategori ideologi.Â
Tulisan ini berupaya menghasilkan refleksi abstraksi filosofis terhadap kritik Rocky sambil mengetengahkan kemungkinan pemikiran alternatif terhadap berbagai perdebatan intelektual yang berupaya menggugat Pancasila.
Saya perlu mengetengahkan pandangan Budiman Sudjatmiko, eks Aktivis '98 ketika ditanya dalam sebuah kesempatan di sebuah program TV swasta, "apakah Pancasila sudah final ?". Dengan tenang Ia menjawab bahwa pancasila harus dipahami dari dua sudut pandang, yakni eksistensi dan substansi. Sudut pandang yang pertama akan melihat pancasila sebagai konsensus historis yang melahirkan ikatan moral legal formal kepada kelompok yang bersepakat itu.
 Gugatan terhadap eksistensi pancasila sama saja membongkar fondasi kebangsaan Indonesia yang telah diperjuangkan oleh founding fathers kita. Berbeda dengan sudut pandang pertama yang tidak boleh digugat, sudut pandang kedua memberikan kebebasan pemahaman interpretatif terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang terus berkembang mengikuti perkembangan jaman.
Memang benar, dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno tidak pernah menyebut Pancasila sebagai ideologi, alih-alih ideologi negara. Oleh sebab itu, menyebutnya sebagai ideologi di kemudian hari telah menghasilkan polemik baru yang serius akhir-akhir ini. Meskipun telah secara terstruktur diajarkan di bangku sekolah sejak Orde Baru lahir yang dengan lantang mengukuhkan pancasila sebagai salah satu visi politiknya (menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen). Kritik terhadap ideologisasi Pancasila melihat bahwa negara adalah entitas abstrak dan mati sehingga tidak mungkin berideologi. Subjek yang berideologi itu adalah manusia.
Bagi saya, anggapan itu tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Pancasila lebih dari kategori ideologi. Ia justru melampaui ideologi (beyond ideology). Dalam teks ideal, Ideologi adalah tools atau alat yang mengandung thelos (masa depan) atau cita-cita di masa depan beruwujud  utopia. Posisinya sebagai alat menyebabkan Ia berada di luar subjek. Berbeda dengan ideologi, beyond ideology melihat pancasila bukan peralatan yang  embeded, melainkan embodied di dalam praktik sosial sehari-hari.
Kita boleh berdebat dengan mengatakan bahwa pancasila adalah mimikri ideologi-ideologi Barat. Namun, kita juga harus jujur mengakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah cermin kepribadian bukan hanya bangsa Indonesia, namun juga dunia. Tidak salah bila Bung Karno menempatkan internasionalisme di sila kedua setelah nasionalisme. Menurutnya, nasionalisme rentan jatuh kepada chauvinisme. Agar sikap itu tidak mudah menyergap kita, internasionalisme diketengahkan dengan harapan mencairkan sekat primordialisme nation state yang baru lahir.
Jika dilihat sepintas, masing-masing sila pancasila yang beyond ideology itu  saling meniadakan satu dengan lainnya. Sila 1 ketuhanan atau spiritualitas, berlawanan dengan sila 5 materialisme. Jika sila 1 kita maknai sebagai aktualisasi nilai agama agar mendapat tempat terindah di dunia setelah kematian yang kita sebut dengan sorga, maka sila 5 menganjurkan kita memupuk kekayaan sehingga bermuara kepada kebahagaiaan dunia. Keduanya berbicara dua tempat yang berlawanan.Â
Sila yang satu berfokus pada dunia setelah kematian, sedangkan yang lainya berpusat pada dunia nyata. Pun demikian pada sila 3, kolektivisme dengan sila 2 individualisme. yang satu mengharapkan apresiasi diri dan kompetisi pribadi, yang lain menganjurkan kerjasama kelompok dan kolektivitas.
Pada akhirnya, semua sila yang embodied hanya akan bisa dikendalikan oleh sila 4 yakni kebijaksanaan. Spiritualitas penting, begitu juga materi. Pun demikian dengan hakikat manusia sebagai mahkluk individu sekaligus sosial. Hanya dengan kebijaksanaan, semua sila itu bisa hidup normal dalam harmoni. Bukankah tujuan hidup manusia  menemukan titik keseimbangan ?, dan itu semua terejawantahkan ke dalam nilai-nilai Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H