Mohon tunggu...
I Putu Hendra Mas Martayana
I Putu Hendra Mas Martayana Mohon Tunggu... Dosen - pendulumsenja

Ik Ben Een Vrijmaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pancasila Beyond Ideology

8 Juni 2020   13:23 Diperbarui: 8 Juni 2020   13:29 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang benar, dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno tidak pernah menyebut Pancasila sebagai ideologi, alih-alih ideologi negara. Oleh sebab itu, menyebutnya sebagai ideologi di kemudian hari telah menghasilkan polemik baru yang serius akhir-akhir ini. Meskipun telah secara terstruktur diajarkan di bangku sekolah sejak Orde Baru lahir yang dengan lantang mengukuhkan pancasila sebagai salah satu visi politiknya (menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen). Kritik terhadap ideologisasi Pancasila melihat bahwa negara adalah entitas abstrak dan mati sehingga tidak mungkin berideologi. Subjek yang berideologi itu adalah manusia.

Bagi saya, anggapan itu tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Pancasila lebih dari kategori ideologi. Ia justru melampaui ideologi (beyond ideology). Dalam teks ideal, Ideologi adalah tools atau alat yang mengandung thelos (masa depan) atau cita-cita di masa depan beruwujud  utopia. Posisinya sebagai alat menyebabkan Ia berada di luar subjek. Berbeda dengan ideologi, beyond ideology melihat pancasila bukan peralatan yang  embeded, melainkan embodied di dalam praktik sosial sehari-hari.

Kita boleh berdebat dengan mengatakan bahwa pancasila adalah mimikri ideologi-ideologi Barat. Namun, kita juga harus jujur mengakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah cermin kepribadian bukan hanya bangsa Indonesia, namun juga dunia. Tidak salah bila Bung Karno menempatkan internasionalisme di sila kedua setelah nasionalisme. Menurutnya, nasionalisme rentan jatuh kepada chauvinisme. Agar sikap itu tidak mudah menyergap kita, internasionalisme diketengahkan dengan harapan mencairkan sekat primordialisme nation state yang baru lahir.

Jika dilihat sepintas, masing-masing sila pancasila yang beyond ideology itu  saling meniadakan satu dengan lainnya. Sila 1 ketuhanan atau spiritualitas, berlawanan dengan sila 5 materialisme. Jika sila 1 kita maknai sebagai aktualisasi nilai agama agar mendapat tempat terindah di dunia setelah kematian yang kita sebut dengan sorga, maka sila 5 menganjurkan kita memupuk kekayaan sehingga bermuara kepada kebahagaiaan dunia. Keduanya berbicara dua tempat yang berlawanan. 

Sila yang satu berfokus pada dunia setelah kematian, sedangkan yang lainya berpusat pada dunia nyata. Pun demikian pada sila 3, kolektivisme dengan sila 2 individualisme. yang satu mengharapkan apresiasi diri dan kompetisi pribadi, yang lain menganjurkan kerjasama kelompok dan kolektivitas.

Pada akhirnya, semua sila yang embodied  hanya akan bisa dikendalikan oleh sila 4 yakni kebijaksanaan. Spiritualitas penting, begitu juga materi. Pun demikian dengan hakikat manusia sebagai mahkluk individu sekaligus sosial. Hanya dengan kebijaksanaan, semua sila itu bisa hidup normal dalam harmoni. Bukankah tujuan hidup manusia  menemukan titik keseimbangan ?, dan itu semua terejawantahkan ke dalam nilai-nilai Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun