Beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan oleh pernyataan sarkastis seorang filsuf kondang lulusan UI yang wajahnya sering wara wiri di televisi, Rocky Gerung. Di dalam sebuah acara talkshow pada stasiun televisi swasta, Ia dengan tendensius menyebut pancasila bukan ideologi negara. Tidak sampai di situ, Ia juga menyatakan bahwa Presiden RI, Bapak Jokowi tidak paham Pancasila.Â
Perdebatannya dengan salah satu politisi kawakan PDIP, Junimart Girsang  bahkan berujung pada pelaporan Rocky ke pihak kepolisian. Delik aduan terhadap Rocky kurang lebih menyatakan bahwa Ia didakwa telah melakukan pencemaran nama baik dengan menghina lambang negara dan menyebutnya tidak paham Pancasila.Â
Bukan sekali dua kali Rocky mengeluarkan pernyataan provokatif, alih-alih intimidatif yang berujung pada pelaporan dirinya kepada pihak berwajib. Di tahun 2018 lalu misalnya Ia menyebut kitab suci itu fiksi. Namun tidak secara spesifik menyebutkan kitab suci mana yang disebut sebagai fiksi.Â
Lebih lanjut, Rocky menyatakan bahwa fiksi dan fiktif mengandung makna yang berbeda. Fiksi bagi seorang Rocky adalah energi yang mengaktifkan, sehingga memunculkan kreativitas dan inovasi. Terpenting, fiksi telah melahirkan imajinasi tentang kehidupan yang baik di masa depan. Oleh karenanya fiksi telah memupuk harapan dan semangat baru.
Setahun berikutnya di 2019, ketika kontestasi pilpres sedang berada pada titik kulminasi, Ia malah terlibat penyebaran konten hoaks operasi plastik Ratna Sarumpaet yang gagal itu. Ia dituduh ikut melakukan penyebaran hoaks bersama dengan Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang pada saat itu masih menjabat sebagai pimpinan DPR RI.Â
Namun setelah diselidiki dan dilakukan olah TKP oleh pihak kepolisian, berita penganiayaan terhadap Ratna adalah hoaks dan yang bersangkutan langsung memberikan klarifikasi sebagai pemain drama terbaik. Ratna didakwa, sedangkan Rocky, Fadli dan Fahri bebas.
Ada yang paradoks dari pensikapan Rocky terhadap hoaks. Beberapa bulan sebelumnya Ia sempat berdebat masalah hoaks di era disrupsi teknologi dengan Rhenald Kasali dan Budiman Sudjatmiko.Â
Budiman menyatakan bahwa hoaks adalah industri pikiran yang begitu laris di era Revolusi Industry 4.0, di mana agen penggeraknya adalah algoritma yang tidak memiliki hati dan pikiran. Rocky menyebut bahwa hoaks adalah the dark side yang sangat diminati otak reptil manusia. Lebih lanjut Rocky menyatakan bahwa hoaks rentan menyerang orang-orang yang Ia sebut sebagai "dungu". Oleh sebab itu menjadi tugas negara untuk menaikan digit kecerdasan masyarakat dengan melakukan budaya literasi.
Namun tuduhan atas keterlibatan Rocky atas kasus hoaks Ratna Sarumpaet mengindikasikan bahwa berita bohong tidak hanya menyerang orang "dungu" sebagaimana tuduhannya terhadap lawan debat melainkan juga kaum terpelajar seperti dirinya sebagaimana pernyataan yang disampaikan Rhenald Kasali. Â
Prof. Rocky, begitu Ia disapa. Meski tidak pernah mengecap pendidikan formal hingga ke jenjang S3, toh jejak intelektualnya di kampus UI memperlihatkan bahwa kualitas akademiknya bukan kaleng-kaleng. Minimal setara atau bahkan melebihi kapasitas seorang profesor. Beberapa pernyataannya di program televisi seperti ILC mampu mengusik zona nyaman setiap orang.Â
Oleh sebab itu, pertama-tama saya harus berterimakasih kepadanya. Tulisan ini terinspirai dari argumentasi Rocky berkaitan dengan eksistensi Pancasila dan bagaimana Ia dimaknai. Terlebih dahulu akan dilakukan lawatan dialektik historis cum logika terhadap substansi dan eksistensi Pancasila hingga pada polemik sosial yang sedang dihadapi bangsa ini, yakni depancasilaisasi.
Kita patut bersyukur bahwa bubarnya Orde Baru tidak serta merta diikuti oleh bubarnya NKRI meski kondisi itu telah mengarah kesana. Daerah-daerah yang secara historis pernah terlibat hubungan yang kurang harmonis ketika negara baru yang bernama Indonesia lahir seperti Aceh, Papua dan Maluku telah menunjukkan gejolak yang mungkin saja berakhir dengan disintegrasi.Â
Berkaca dari fenomena tersebut, potensi Indonesia mengalami balkanisasi sangat besar. Rasanya, tidak perlu menunggu hingga tahun 2030 untuk melihat Indonesia bubar sebagaimana gambaran novel fiksi berjudul Ghost Fleet yang sempat viral karena menjadi rujukan pidato Capres Prabwo Subianto yang kala itu menjadi penantang petahana Jokowi.
Di tengah usaha-usaha untuk menemukan konsep negara Indonesia yang ideal pasca Orde Baru meski dilalui dengan tragedi yang berdarah-darah, peran Pancasila tidak bisa dianggap sepele sebagai salah satu perekat tenun keindonesiaan yang memperlambat proses balkanisasi. Rasanya, belum ada gagasan setangguh Pancasila yang mampu mewadahi pluralitas Indonesia.Â
Dua ideologi besar yang sempat menjadi triumvirat pada masa Orde Lama dan dianggap berseberangan dengan Pancasila yakni agama dan komunisme pun belum mampu menjadi alternatif yang meyakinkan.Â
Meski kemudian pamor Pancasila sempat meredup pasca Orde Baru sebagai dampak politisasi rezim sebelumnya yang ditandai dengan penguatan primordialisme agama dan suku. Oleh sebab itu gagasan khas Pancasila tentang universalisme cum partikularisme keindonesiaan perlu direvitalisasi agar selalu relevan dengan perkembangan jaman.
Masalahnya, depancasilaisasi yang terjadi saat ini tidak sesederhana yang kita dibayangkan. Di dalam dirinya mengandung konflik ideologis masa lalu. Akibatnya adalah warisan konflik diametral antarkelompok yang bermusuhan itu selalu hadir sebagai pendominasi dan terdominasi.Â
Secara historis, Pancasila sejak awal kelahiran telah menghasilkan polemik ideologis antara golongan nasionalis sekuler Bung Karno dengan golongan agamis yang dinahkodai tokoh Muhamadiyah kharismatik, Ki Bagus Kusumo.
Harus diakui bahwa Pancasila lahir dari pemikiran Bung Karno dalam pidatonya pada sidang BPUPKI I, 1 Juni 1945. Tidak ada fakta sejarah yang menampik hal itu meski banyak pula yang memperdebatkan bahwa ada jejak pemikiran Yamin dan Soepomo.Â
Sebab keduanya berpidato sebelum Soekarno. Akan tetapi kehadiran golongan agamis terutama NU dan Muhamadiyah dalam memberikan legitimasi sosial dan politik terhadap Pancasila yang kita kenal sekarang dan disahkan pada sidang PPKI I tidak bisa dianggap kecil.
Di dalam pidatonya itu, Soekarno dengan begitu meyakinkan menyebut calon dasar negara yang akan dihasilkan sebagai philosopische gronslag. Hal yang mungkin jarang diajarkan di bangku sekolah adalah alasan-alasan di balik tata urutan sila yang digagas BK itu diperhalus Panitia Sembilan yang menandai lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. BK menempatkan sila persatuan di sila pertama.Â
Menurutnya, persatuan yang Ia sebut sebagai nasionalisme adalah wadah bagi keberagaman Indonesia. Tanpa persatuan, semua akan tercerai berai. Obsesi BK tentang persatuan, sebagaimana juga Soepomo membantu kita memahami jejak intelektualitasnya sebagai hegelian sejati.Â
Di sila kedua, BK menempatkan sila kemanusiaan, atau Ia sebut sebagai internasionalisme. Menurutnya, Indonesia sebagai calon negara besar jangan sampai jatuh menjadi fasisme yang berakar pada sikap chauvinisme. Internasionalisme BK juga beranjak pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan bagian dari warga dunia yang tidak bisa hidup sendiri.Â
Pencantuman sila kemanusiaan atau internasionalisme setelah sila nasionalime sekaligus berimplikasi epistemologis yakni berupaya menetralisir sikap ultranasionalisme yang bisa saja menyergap mental sakit bangsa kita pasca kolonialisme Barat sebagaimana yang terjadi pada kasus Jerman dan Italia.
Kecerdasan BK tidak berhenti pada utak atik sila dan masing-masing maknanya bagi negara bangsa Indonesia. Lima sila yang digagas itu disaripatikan ke dalam tiga sila atau tri sila menjadi sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan religiusitas.Â
Ketiga sila itu akhirnya melebur menjadi sebuah konsep yang khas dan berkarakter Indonesia, yakni gotong royong (eka sila). Menurut BK, gotong royong adalah roh dan jiwa bangsa Indonesia.
Indonesia adalah invention concept (ditemuciptakan) dan sangat social construction. Namun apa yang dilakukan BK melalui anak kandungnya yaitu pancasila  semata-mata memancangkan perlawanan terhadap sentrisme-sentrisme dominan yang selama ini menolak eksistensi bangsanya yang sedang sekarat. Oleh sebab itu konsep gotong royong adalah keberhasilan BK melakukan glokalisasi, alih-alih glorifikasi terhadap kekhasan Indonesia yang artifisial.    Â
Pidato BK pada sidang BPUPKI I sangat memukau peserta yang hadir. Tidak seperti pidato-pidato sebelumnya yang mendapat begitu banyak interupsi, pidato BK kali ini terasa menentramkan dan diterima sebagai calon konsepsi dasar negara. Untuk memperhalus redaksi BK, dibentuklah Panitia Sembilan. Hasilnya diumumkan pada 22 Juni yang menandai lahirnya Piagam Jakarta. Perbedaan dengan Pancasila yang kita kenal hari ini ada pada 7 kata tambahan di sila pertama di Piagam Jakarta yang terkesan menghadirkan nuansa negara agama.Â
Negosiasi dan tarik ulur kepentingan politis ideologis tentang bagaimana seharusnya konsepsi dasar negara terus berlanjut sampai pada sidang PPKI I, 18 Agustus 1945 yang berhasil merumuskan tiga hal pokok. Pertama, menetapkan dasar negara yakni UUD 1945. Redaksi dan tata urutan Pancasila yang sah terdapat pada Mukadimah UUD 1945 alinea keempat. Kedua menetapkan presiden dan wakil presiden. Ketiga, Â membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Â Â
Dalam proses negosiasi politis ideologis itu tidak banyak yang tahu bahwa hanya dengan keikhlasan umat Islam lah yang saat itu diwakilkan oleh tokoh-tokoh Muhamadiyah seperti Ki Bagus Kusumo, Pancasila yang kita kenal sekarang tanpa embel-embel 7 kata tadi menjadi tegak sebagai dasar Negara Indonesia. Tanpa adanya peran penting tokoh-tokoh Islam, niscaya Indonesia yang berdasar Pancasila tanpa 7 kata itu tidak mungkin terwujud
Masalahnya kemudian, Â sejak era Orde Lama dan Orde Baru bahkan sejak awal Republik ini berdiri, narasi sejarah yang menempatkan Islam sebagai magnus opum dalam bingkai kebangsaan sering di(ter)lupakan. Ingatan kolektif terhadap rendahnya posisi tawar Islam dalam narasi sejarah bangsa Indonesia selalu hadir sebagai perdebatan akademis, bahkan politis ideologis.Â
Biasanya, menjelang hajatan politik, sebagaimana bahaya laten komunisme, ingatan mengenai substansi Pancasila yang otentik itu ada pada Piagam Jakarta 22 Juni sengaja dimunculkan untuk memobilisasi massa demi syahwat politik golongan tertentu. Â bagi mereka, peristiwa 1 Juni 1945 adalah rangsangan intelektual yang mendorong Panitia Sembilan menggarap bukan hanya ide-ide Soekarno, melainkan juga Soepomo dan Moh. Yamin.
Islam sebagai kekuatan politik semenjak munculnya wacana Pan Islamisme mampu menempatkan diri sebagai antitesis kolonialisme Barat. Meski dalam beberapa kasus partikular keduanya malah bersinergi.Â
Namun secara umum nampaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Islam telah berhasil merintis radikalisasi kemerdekaan Indonesia. Oleh sebab  itu, bukan hal yang berlebihan menempatkan Islam sebagai salah satu narasi dominan dalam historiografi nasional.Â
Dengan melihat gelagat pembusukan ideologis warisan masa lalu itu di masa kini, negara perlu melakukan rekonsiliasi historiografi warisan Orde Baru yang militer sentris. Menempatkan narasi kelompok-kelompok yang tersubordinasi itu, termasuk narasi tentang Islam ke dalam arus besar untuk diajarkan di sekolah dan bangku kuliah.Â
Namun upaya ini nampaknya bukan pilihan populis yang mendesak untuk dilakukan oleh negara saat ini sebab lebih fokus pada bidang yang lain. Wacana itu hanya sekadar rencana yang masih buram dan abu-abu. Sebuah wacana yang menjadi isu menarik untuk didiskusikan di dalam ruang kelas. Namun pada akhirnya membusuk di dalam mimbar akademik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H