Mohon tunggu...
I Putu Hendra Mas Martayana
I Putu Hendra Mas Martayana Mohon Tunggu... Dosen - pendulumsenja

Ik Ben Een Vrijmaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agitasi dan Ambivalensi Modernitas Pada Sastra Indonesia 1920

14 September 2018   15:14 Diperbarui: 14 September 2018   16:28 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarawan itu adalah sastrawan yang sedang "nyambi". Meskipun sejarah dan sastra dibedakan secara ketat sebagai dampak warisan pemikiran Leopold van Ranke, namun kemutakhiran metodologi ilmu sejarah kontemporer setidaknya telah membuka batas dan menghasilkan pergumulan baru di antara keduanya.

Ilmu sejarah yang terkesan formal, kaku mungkin juga "angker", mampu dicairkan dalam narasi yang dibangun oleh sastra melalui pembumian data lapangan sehingga point of view nya dapat tersampaikan kepada pembaca.

Sebagai seorang sejarawan pendidik, saya menyesal karena baru khatam tetralogi pulau buru Pramoednya ketika studi master. Anak-anak ilmu sejarah, begitulah saya menyebutnya, bertingkah sinis ketika menyaksikan "kami", anak-anak eks IKIP yang baru belajar "berjalan" alias "latah sosial" dalam meng-"copy" buku sumber yang bagi mereka harusnya telah diselesaikan pada jenjang Strata I. 

Namun, bagi saya itu wajar dan menjadi motivasi tersendiri mengingat "kami" hidup di regime of truth nya dunia pendidikan, sehingga bacaan teori tidak terlalu ditonjolkan. Lagi pula kebudayaan literasi yang dibangun dalam iklim belajar kami sehari-hari boleh dikatakan agak kurang.

Sastrawan Angkatan 1920 khususnya, karya-karya yang dihasilkan seperti roman, novel, puisi dan cerita bersambung hampir seluruhnya berbau politik yang menampilkan kekritisan dan perlawanan terhadap tata kuasa kolonial sangat menginspirasi ketika saya berusaha menggambarkan modernitas Indonesia awal di ruang perkuliahan. 

Dengan percaya diri, saya akan menyertakan tulisan Mas Marco Kartodikromo seperti Student Hidjo, Mata Gelap dan beberapa yang tulisan lain dalam memahami kondisi mental dan sosial masyarakat Indonesia ketika dihadapkan dengan arus globalisasi yang dibawa oleh bangsa Barat melalui Belanda.

Mas Marco adalah pengecualian sastrawan Indonesia 1920 yang mempraktikkan gaya bahasa yang keluar dari pakem Melayu tinggi Balai Pustaka. Pada tahun 1911 ia sempat bekerja di Medan Prijai, koran yang diasuh oleh Tirto Adhi Soerjo. 

Mas Marco juga bisa disebut sebagai peletak dasar realisme sosialis dalam sejarah sastra Indonesia. Kecenderungan agitasi buah pemikiran Mas Marco membuat Kolonial gerah juga sehingga dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban serta kelanggenang kekuasaan. Akibatnya, Marco harus dipenjara berkali-kali. Bahkan, tulisan-tulisannya segera dilabeli "batjaan liar" oleh Rinkes yang kala itu menjabat sebagai direktur Balai Pustaka.

Usaha agitasi tidak hanya dilakukan oleh Mas Marco dan kawan-kawan, tetapi juga organisasi politik kiri seperti PKI yang kerap melakukan propaganda menggunakan media masa. Pada tahun 1924 misalnya PKI mendirikan Kommisi Batjaan Dari Hoofdbestuur PKI. Komisi ini menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan-tulisan serta terjemahan-terjemahan "literatuur socialisme".

Selain mengandung kecenderungan agitasi yang begitu kuat,  buah pemikiran sastrawan 1920-an yang saya catut berikut ini mengandung kemenduaan sikap masyarakat Indonesia ketika berhadapan dengan modernitas Barat.              

"Mata Gelap" misalnya yang ditulis oleh Mas Marco bercerita tentang sosok Subriga, pegawai rendah yang bertugas sebagai tukang tulis (klerk) di sebuah toko. Ia menjalin hubungan dengan bekas gundik Belanda (Nyai), Retna Permata. Hubungan layanya suami istri sah itu diwarnai pula dengan perselingkuhan tokoh Subriga dengan adik iparnya, Retna Purnama. Perslingkuhan itu pun terbongkar oleh pengaduan seorang jongos kepada Retna Permata.   

Marco mengambil istilah "mata gelap" sebagai metafora sosial untuk hubungan yang tidak patut antara Subriga dengan adik iparnya. Cara Marco menggambarkan hubungan badaniah yang terjadi cukup terbuka. Alih-alih sekedar mengatakan bahwa terjadi hubungan fisik, Marco malah seperti berupaya menarik imajinasi pembaca ke dalam hubungan yang penuh gairah tersebut.

Ada sebuah catatan penting bahwa Mas Marco telah memberi sengatan tentang kerawanan bahasa dan makna. Roman ini mengingatkan dan mengajak kita untuk mengerti sejarah diskriminasi. Cerita yang barangkali lazim terjadi di tanah Jawa pada masa itu. Hubungan antara asmara, modernisasi yang mulai melanda kaum muda 'kelas menengah', dan kuasa uang yang berperan sangat penting.

Berbeda dengan "Mata Gelap" yang melihat dampak modernitas dalam bentuk demoralisasi Barat dalam sendi kehidupan masyarakat, Student Hidjo menyikapi modernitas dengan menjadikanya rujukan untuk melakukan mobilitas sosial. 

Student Hidjo bercerita tentang sosok Hidjo, seorang pria muda Indonesia yang hendak berangkat ke Belanda untuk mendaftar di sebuah pergurua tiggi belanda yang bergnsi, institut teknik di delft. Alasannya bahwa ayah hidjo selalu merasa rendah diri ketika berhadapan dengan atasan-atasan sesama pribumi, terutama pejabat jawa yang terhormat. Dengan menyekolahlan aanakya ke sekolah teknik di Negeri Belanda, Ia berharap akan dapat mengubah keadaan keluarga.

Hidjo dengan mulus melakukan perjalan melewati perbatasan-perbatasan. Satu-satunya hambatan yang dialaminya saat perjalanan adalah para perempuan Belanda yang penuh gairah yang berada di atas kapal maupun di pelabuhan-pelabuhan. 

Hidjo bepergian dengan acuh tak acuh, ia bergembra, pleseir (kata belanda yang telah diindonesiakan untuk kata plezier), bersenang-senang. Demikian banyak serapan kata Belanda lainnya dalanm buku itu menunjukkan kenyamanan sebagaimana dalam modernitas.

Nuansa kejiwaan sosial dan kebudayaan yang diketengahkan Sastrawan 1920- an di atas menggambarkan sikap ambivalen masyarakat Indonesia dalam merespon modernitas Belanda, membenci sekaligus mencintai dalam satu kesempatan. Barat dicintai  karena menawarkan humanisme  pencerahan yang menjanjikan kesetaraan dalam melawan diskriminasi dan rasisme di seluruh dunia. 

Namun, di sisi lain mengutuki kebobrokan demoralisasi dalam wujud hedonisme Barat dan beberapa penyimpangan praktik humanisme yang diarahkan justru untuk mengabdi pada kapitalisme. Sambil tetap menengok modernitas, masyarakat Indonesia tetap menoleh dan mempelajarinya, menjadikan hak miliknya lalu menggunakannya sebagai senjata sosial, rujukan politis ideologis dan memancangkan posisi yang setara di hadapan bangsa-bangsa di dunia.

Dalam usaha memajukan peradaban, Barat mendirikan pusat-pusat pendidikan melalui Politik Etis yang diperuntukan pula bagi kalangan bumi putera. 

Niat awalnya adalah menghasilkan tenaga kerja murah, tetapi praktiknya di lapangan justru menciptakan "kelas menengah" baru dalam struktur masyarakat Indonesia. Mereka inilah pribadi-pribadi "necis" seperti Soekarno, Sjahrir, Gatot, Hatta dan lain-lain yang kemudian memelopori usaha  penyadaran kaumnya yang tertindas dari penjajahan Barat. Ideologi nasionalisme misalnya diadopsi dari gejala sosial di dunia Barat kontemporer, lalu digunakan untuk menghantam Barat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun