Marco mengambil istilah "mata gelap" sebagai metafora sosial untuk hubungan yang tidak patut antara Subriga dengan adik iparnya. Cara Marco menggambarkan hubungan badaniah yang terjadi cukup terbuka. Alih-alih sekedar mengatakan bahwa terjadi hubungan fisik, Marco malah seperti berupaya menarik imajinasi pembaca ke dalam hubungan yang penuh gairah tersebut.
Ada sebuah catatan penting bahwa Mas Marco telah memberi sengatan tentang kerawanan bahasa dan makna. Roman ini mengingatkan dan mengajak kita untuk mengerti sejarah diskriminasi. Cerita yang barangkali lazim terjadi di tanah Jawa pada masa itu. Hubungan antara asmara, modernisasi yang mulai melanda kaum muda 'kelas menengah', dan kuasa uang yang berperan sangat penting.
Berbeda dengan "Mata Gelap" yang melihat dampak modernitas dalam bentuk demoralisasi Barat dalam sendi kehidupan masyarakat, Student Hidjo menyikapi modernitas dengan menjadikanya rujukan untuk melakukan mobilitas sosial.Â
Student Hidjo bercerita tentang sosok Hidjo, seorang pria muda Indonesia yang hendak berangkat ke Belanda untuk mendaftar di sebuah pergurua tiggi belanda yang bergnsi, institut teknik di delft. Alasannya bahwa ayah hidjo selalu merasa rendah diri ketika berhadapan dengan atasan-atasan sesama pribumi, terutama pejabat jawa yang terhormat. Dengan menyekolahlan aanakya ke sekolah teknik di Negeri Belanda, Ia berharap akan dapat mengubah keadaan keluarga.
Hidjo dengan mulus melakukan perjalan melewati perbatasan-perbatasan. Satu-satunya hambatan yang dialaminya saat perjalanan adalah para perempuan Belanda yang penuh gairah yang berada di atas kapal maupun di pelabuhan-pelabuhan.Â
Hidjo bepergian dengan acuh tak acuh, ia bergembra, pleseir (kata belanda yang telah diindonesiakan untuk kata plezier), bersenang-senang. Demikian banyak serapan kata Belanda lainnya dalanm buku itu menunjukkan kenyamanan sebagaimana dalam modernitas.
Nuansa kejiwaan sosial dan kebudayaan yang diketengahkan Sastrawan 1920- an di atas menggambarkan sikap ambivalen masyarakat Indonesia dalam merespon modernitas Belanda, membenci sekaligus mencintai dalam satu kesempatan. Barat dicintai  karena menawarkan humanisme  pencerahan yang menjanjikan kesetaraan dalam melawan diskriminasi dan rasisme di seluruh dunia.Â
Namun, di sisi lain mengutuki kebobrokan demoralisasi dalam wujud hedonisme Barat dan beberapa penyimpangan praktik humanisme yang diarahkan justru untuk mengabdi pada kapitalisme. Sambil tetap menengok modernitas, masyarakat Indonesia tetap menoleh dan mempelajarinya, menjadikan hak miliknya lalu menggunakannya sebagai senjata sosial, rujukan politis ideologis dan memancangkan posisi yang setara di hadapan bangsa-bangsa di dunia.
Dalam usaha memajukan peradaban, Barat mendirikan pusat-pusat pendidikan melalui Politik Etis yang diperuntukan pula bagi kalangan bumi putera.Â
Niat awalnya adalah menghasilkan tenaga kerja murah, tetapi praktiknya di lapangan justru menciptakan "kelas menengah" baru dalam struktur masyarakat Indonesia. Mereka inilah pribadi-pribadi "necis" seperti Soekarno, Sjahrir, Gatot, Hatta dan lain-lain yang kemudian memelopori usaha  penyadaran kaumnya yang tertindas dari penjajahan Barat. Ideologi nasionalisme misalnya diadopsi dari gejala sosial di dunia Barat kontemporer, lalu digunakan untuk menghantam Barat. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H