Mohon tunggu...
I Putu Hendra Mas Martayana
I Putu Hendra Mas Martayana Mohon Tunggu... Dosen - pendulumsenja

Ik Ben Een Vrijmaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Jomblo, "Berat" Kata Dilan

29 Juli 2018   11:56 Diperbarui: 29 Juli 2018   14:36 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini saya tujukan bagi para jomblo di "seberang lautan" sana, semoga tabah dan kuat menghadapi cobaan hidup ini.!!!!!

Jomblo ibarat beban, beban buat orang lain yang merasa risih dengan ekspresi kejombloan. Pertanyaan-pertanyaan agak sarkastik dan sentimentil dari yang bernada mengejek secara langsung, halus hingga satire saya alami selaku laki-laki yang pernah mendapat predikat "jomblo abadi" di planet ini. 

Ketika bertandang ke nikahan teman misalnya, atau saat menghadiri reuni SMA, pertanyaan, "Bro, Kapan nikah?", "sudah nikah ?", "Kok belum nikah ?", sering saya dapatkan. Pertanyaan "tembak langsung" itu saya respon dengan tabah meskipun senyum agak kecut menggelayut. 

Ketabahan itu saya anggap kesempatan untuk membayar hutang "karma buruk" di masa lalu. Beberapa jawaban pamungkas untuk meng counter pertanyaan-pertanyaan itu nyatanya belum memuaskan saya dan tentu saja mereka. Bahkan justru berbalik arah menyerang saya. 

Pernah ketika menjawab salah satu pertanyaan di atas, saya katakan "tunggu Israel dan Palestina berdamai dulu", "tunggu mati ombak". Jika dipikir, Israel dan Palestina tidak akan pernah berdamai, ombak juga tidak akan berhenti jika bukan karena kiamat. Spontan saja, mereka yang mendengar jawaban sok pintar nan garing itu tertawa terpingkal. Padahal saya sampaikan dengan serius, tetapi malah ditanggapi guyon.

Pertanyaan serupa namun agak satir mungkin pernah juga dialami para jomblo mania. Peristiwa ini saya alami sendiri dan bahkan dilakukan secara halus oleh ibu kandung. Seperti biasa saat pulang kampung, dia menyuruh saya memijat kakinya yang pegal karena seharian bekerja. Kegiatan ini semacam rutinitas sekaligus penanda jika ibu ingin mengobrol serius dengan anak sulungnya ini. 

Obrolan dimulai dengan cerita gosip yang berkembang akhir-akhir ini di desa tempat kami tinggal. Maklum, ibu-ibu kerjanya bergosip jika punya waktu luang. Dengan sedikit mendayu, Ibu berbicara,  "Itu lho, teman satu bangku saat kamu SD, SI A, sudah punya istri, dan dua anak yang lucu-lucu, terus adik kelasmu dulu yang beda dua tahun dengan penampilan perlente, bahkan sudah mau kawin untuk yang kedua kalinya". 

Sebagai "jomblo abadi" yang kenyang pengalaman "dunia akhirat", saya paham maksud cerita itu. Ibu ingin mengatakan bahwa "nak, kamu harus segera menikah, karena ibu ingin menimang cucu darimu". Tetapi saya respon dengan hanya tertawa kecil seraya mengangguk pelan.

Kejadian itu terjadi dua bulan lalu, saat terakhir kali saya pulang kampung. Saya terpaksa datang hanya untuk menyenangkan hatinya saja. Sampai saat itu, saya belum menemukan formulasi kata yang tepat jika dibrondong pertanyaan-pertanyaan seputar pernikahan. 

Hingga pada suatu ketika, secara tidak sengaja saya menemukan satu kalimat efektif yang mungkin bisa diucapkan untuk menyerang balik pertanyaan-pertanyaan yang berisik itu. 

Kata-kata itu akhirnya menemukan momennya sendiri ketika salah seorang teman SMP memberi komentar bernada sarkastik di laman FB. Tanpa tedeng aling-aling saya katakan, "Bro, mungkin Tuhan berkehendak bahwa sampai detik ini saya disuruh mengemban tugas untuk mengubah dunia, sebab ketika telah menikah nanti, jangan kan mengubah dunia, mengubah chanel TV pun tak akan bisa". LoL :)

Lain di rumah, lain pula yang terjadi di masyarakat. Jomblo serasa aib sosial dengan berbagai predikat negatif. Padahal, menjadi jomblo pada hakikatnya pilihan hidup yang sangat personal. Rasanya tidak ada pihak yang dirugikan dengan pilihan itu. Tetapi toh secara sosial menjadi bermasalah. Segala tuduhan negatif pada jomblo menjadi lebih bertendensi sosial, alih-alih personal. Akibatnya, ongkos sosial yang harus dibayar oleh para jomblo sangat tinggi.

Jomblo dalam beberapa kesempatan dicap produk gagal yang susah menemukan pasangan. Bahkan kerap dituduh yang bukan-bukan. Misalkan saja seorang jomblo laki-laki yang lebih sering memperlihatkan aktivitas sehari-hari dengan sesamanya. Ia akan dengan mudah dituduh jones (jomblo ngnes-mengenaskan), atau jangan-jangan homo. 

Mungkin saja orang yang berpikiran demikian sudah terprovokasi perkataan Raditya Dika yang menyatakan bahwa "Cowok itu ada dua tipe, kalo nggak brengsek ya homo". Jika kedekatan antar laki-laki jomblo disebut homo, kedekatan antar perempuan jomblo disebut lesbi. Keduanya sama-sama menyiratkan adanya disorientasi seksual yang teraktualisasi melalui tindakan.  

Kedekatan dengan sesama jomblo saja mendapat predikat negatif, lalu bagaimana jika kedekatan itu dilakukan dengan lawan jenis? Atau dengan kelompok umur yang lebih muda/tua?

Seorang jomblo pria seperti saya misalnya ketika dekat dengan banyak teman perempuan akan dengan mudah dituduh playboy, suka PhP jika ada salah satu di antaranya tersakiti. Saat dekat dengan anak kecil, muncul selentingan sebagai pedofil. Dekat dengan perempuan yang lebih tua, janda atau sejenis tante pasti dituduh gigolo. Beragam predikat itu menghasilkan pendapat bahwa menjadi jomblo di lingkungan sosial guyub ala dunia Timur seperti Indonesia tidak mudah dan butuh ketabahan ekstra.

Mungkin karena kasihan, atau terlihat menyedihkan, beberapa kawan berniat menjadi "mak comblang". Bahkan ada yang menawari aplikasi kencan semacam Tinder yang memungkinkan bertemu dengan orang dari berbagai segmentasi jomblo di seluruh dunia. Saya tertarik dengan pilihan yang kedua. Aplikasi ini pertama kali saya ketahui dari seorang kawan yang berstatus jomblo pula. Tetapi hari ini dia sumringah karena telah berhasil menemukan pujaan hatinya meski melalui cobaan yang berat karena telah 3 tahun menjomblo. Karena penasaran, saya iseng mengeceknya di playstore, sekedar mengetahui seberapa populer aplikasi ini bagi para jomblo. Amazing, ternyata telah diunduh lebih dari 200 miliar dengan 26 juta lebih perjodohan dalam sehari. 

Tinder sebagai aplikasi kencan telah menjadi wadah ekpresi kaum jomblo, dan memberi ruang menemukan pasangan. Jika mujur, para jomblo bisa bertemu "orang baik" yang memang berniat mencari pasangan. Tetapi bila apes, upaya perjodohan bisa bubar di tengah jalan, pasangan menghilang setelah bertemu pertama kali atau berakhir di hotel sebagai "cinta satu malam". Beragam pengalaman bisa terjadi melalui aplikasi ini. Faktanya, para member yang eksis bukan saja para jomblo yang berniat mencari pasangan, melainkan ada pula orang-orang yang ingin mencari kehangatan ekstra alias selingkuhan. Disamping itu, para member sangat heterogen, mereka datang dari berbagai latar belakang usia, profesi, agama, suku bangsa, negara bahkan orang dengan disorientasi seksual juga ada

Tinder memberi kesempatan tiap jomblo seperti saya untuk berekspresi, tetapi urung saya gunakan. Alasanya, kejombloan saya bukan perkara nasib atau ekspresi ketidakmampuan menaklukkan perempuan, melainkan lebih pada pilihan hidup. Di luaran sana, istilah kesendirian karena pilihan dan bukan nasib sial disebut "singel". Ia semacam kesendirian yang menjadi pilihan hidup. Ada berbagai alasan mereka tetap sendiri meski banyak yang mencari. Seorang teman berceloteh bahwa ke-singel-an menjadi bukti dirinya adalah high jomblo quality yang menikmati waktu dengan penuh kualitas. Mereka menyebutnya me time quality.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun