Dosen Pengampu : Dr. Ira Alia Maerani SH, MH. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)
Penulis : Mahatma Purba Magani (Mahasiswa Prodi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Unissula Semarang)
Indonesia merupakan negara hukum yang berlandasan pada UUD 1945. Adapun mengapa hukum tersebut perlu diadakan pada suatu bangsa secara garis besar berfungsi sebagai untuk menjaga keamanan dan kententraman bangsa, mencegah tindakan yang sewenang-wenang, menjamin dan melindungi HAM warga negara, meminimalisir dari konflik yang akan muncul, sebagai penetapan hukuman untuk menyelesaikan masalah yang terjadi, dan untuk memberikan hukuman, sanksi, atau denda kepada pelaku kejahatan agar jera.Â
Mendapatkan perlakuan  hukum yang sama adalah hak setiap warga negara tanpa terkecuali tidak memandang agama, ras, suku, golongan, ataupun kedudukan ekonomi. Hal itu telah tercantum di dalam UUD 1945 pada pasal 28 D ayat 1 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum". Namun sangat disayangkan hal ini, belum terlaksanakan dengan baik dan adil. Maksud dari hal tersebut adalah di mana kita dapat melihat bahwa hukum di Indonesia masih bersifat tumpul keatas dan tajam kebawah. Mengapa demikian? dalam menetapkan hukuman, sanksi, dan denda yang diberikan terkadang tidak sesuai dengan tindakan apa yang telah dilakukan oleh pelaku.Â
Dalam keputusan sidang yang dilakukan pada hakim beserta jajarannya masih sering bersifat tidak netral dan transparan, di mana terkadang orang yang memiliki kedudukan ekonomi yang lebih tinggi atau jabatan dalam pemerintahan cenderung kebal atas hukuman yang berlaku.Â
Jikapun mereka mendapat hukuman atas tindakan mereka sering kali vonis yang dijatuhkan tidak sesuai atas perilaku mereka yang sering merugikan. Hal ini justru berbanding terbalik dengan masyarakat yang berada pada kelas ekonomi bawah, yang mana mereka sering kali dianggap sebelah mata di dalam persidang dan mendapatkan vonis hukuman yang tidak sesuai seperti beberapa contoh yang dapat kita lihat.Â
Pada kasus korupsi dana bantuan sosial pada tanggal 6 Desember 2021 yang dilakukan oleh menteri Sosial Juliari Batubara sebesar 32,5 Miliar hanya mendapatkan vonis yaitu pidana penjara selama 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta yang dijatuhkan pada 23 Agustus 2021. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, mengingat dengan tindakan yang dilakukan beliau sangat merugikan masyarakat. Di mana pada zaman pandemi seperti ini masyarakat khususnya dari kelas ekonomi bahwa sangat berharap besar bantuan dari pemerintah agar bisa untuk tetap makan dan bertahan hidup.
 Tidak sampai di situ saja, hal yang membuat masyarakat geram adalah di mana majelis hakim meringankan hukuman mentri sosial karena cacian, hinaan, dan ujar kebencian yang dilontarkan rakyat sudah membuat ia merasa menderita. Di sini hakim dinilai berat sebalah dan tutup mata karena tidak memandang dari sudut masyarakat yang sangat dirugikan, seharusnya dengan melihat perilaku yang diberikan masyarakat bisa menjadi tolak ukur bahwa tindakan yang dilakukan sangat merugikan dan harus dihukum seberat beratnya.Â
Kemudian pada kasus nenek Minah yang berawal dari tanggal 2 Agustus 2009, nenek Minah mencuri 3 buah kakao pada sebuah perusahaan, ketika mencuri ia ketahuan oleh mandor yang bekerja di situ, pada saat itu ia pun mengembalikan kakao yang telah diambilnya kepada mandor itu. Namun hal tersebut tidak selesai sampai di situ saja, kasus ini menjadi besar dan dibawa ke pengadilan dan akhirnya nenek Minah mendapatkan hukuman vonis penjara selama 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan pada tanggal 19 November 2009 di pengadilan negeri Purwokerto.Â
Di sini kita tidak membenarkan tindakan yang dilakukan oleh nenek Minah, namun tindakan dari para jaksa, hakim, dan polisi yang mengusut dan membahas kasus ini dengan serius dan tegas tanpa belas kasih yang diberikan membuat masyarakat kecewa atas perlakuan tersebut. Dari perbandingan kasus di atas dapat kita lihat bahwa dalam menetapkan suatu hukuman negara kita masih cenderung tidak adil dan berpihak pada golongan masyarakat kelas atas dan mereka yang memiliki jabatan. Ketika mengusut kasus dari para pejabat tidak terbuka dan vonis yang dijatuhkan tidak sesuai dan tidak adil, tetapi jika kasus tersebut dari golongan masyarakat kelas maka akan diadilin sesuai undang undang dan divonis seberat beratnya.Â
Di lihat dari sisi agama dalam menetapkan suatu hukuman atas suatu perkara harus bersitaf adil dan memberikan hukuman yang sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Hal yang terjadi pada negara kita ini sangat tidak sesuai dengan dalil Al-Qur'an yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Q.S. An Nisa: 58)
Melalui ayat ini, Allah memerintahkan kepada umat manusia bahwa ketika memberikan suatu hukuman pada suatu perkara haruslah bersifat adil, yaitu sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan dan hukuman yang diberikan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, tidak memandang siapa pelakunya (diskriminasi), tidak berat sebelah, dan bersifat terbuka serta transparan kepada semua yang menyaksikan.Â
Dari sini kita belajar jadilah manusia yang bersifat adil pada orang lain karena setiap perbuatan yang kita lakukan akan di mintai pertanggung jawabannya di akhir. Harapan ke depannya untuk hukum keadilan di Indonesia adalah harus lebih netral dalam menetapkan suatu hukuman tidak karena dia seorang pejabat atau memiliki kekayaan yang lebih membuat mereka kebal akan hukuman yang berlaku, dan rakyat kecil yang melakukan keselahan dihukum seberat-beratnya yang mana membuat rakyat kecil yang memiliki banyak beban semakin menderita.Â
Harusnya pemerintah dan para penegak hukum sadar bahwa tindakan kejahatan yang dilakukan oleh rakyat kecil seperti mencuri singkong, kakao, pisang, dan lainnya merupakan bukti bahwa ekonomi Indonesia yang tidak merata membuat rakyat kecil terpaksa melakukan hal tersebut.Â
Tentu saja tindakan itu tidak benarkan, namun alangkah baiknya pemerintah memberikan solusi dan bantuan kepada mereka untuk meminimalisir dan mencegah tindakan ini agar tidak terulang kembali, seperti memberikan lowongan pekerjaan, memberikan bantuan untuk modal usaha, atau melatih dan memberikan mereka fasilitas serta wadah untuk  menghasil sebuah karya seperti kerajinan tangan yang dapat dijual dipasaran yang dapat membantu untuk meningkatkan siklus ekonomi pada suatu daerah.Â
Dengan keluhan dan masukan yang terus diberikan dari masyarakat atas keresahan yang mereka rasakan, kepada para pemerintah dan penegak hukum diharapkan dapat didengar dan diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata bukan hanya melalui omongan saja. Semoga pemerintah dan para penegak hukum dapat menjalankan tugas dengan sesuai dan belajar dari pengalaman yang sudah terjadi, bersifat seadil-adilnya dan mau mendengarkan suara rakyat selama ia menjabat, tidak hanya ketika sedang pemilihan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H