Mohon tunggu...
Mahasiwa AtmaJaya
Mahasiwa AtmaJaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

only little human

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan Komunikasi di Bidang Penyiaran Televisi dan Radio

11 Juli 2022   00:15 Diperbarui: 11 Juli 2022   00:39 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

  1. Televisi

Televisi merupakan sebuah media massa yang menghasilkan gambar dengan alat penangkap siaran. Kata tele yang artinya jauh dan vision artinya tampak. Apabila digabungkan arti Televisi adalah tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan televisi ini juga bersamaan dengan penemuan roda, hal ini karena mengubah perubahan dunia. Televisi adalah sebuah alat elektronik yang dapat mengirimkan pesan melalui gambar bergerak beserta suara melalui kabel atau ruang  (Arsyad, 2010:30-39). Alat elektronik tersebut menggunakan peralatan yang dimana dapat merubah cahaya dan suara ke dalam gelombang elektronik serta mengubahnya kembali dalam cahaya yang dapat dilihat maupun di dengar melalui suara (Soerjokanto   2003:24).

  1. Orde Lama

Tahun 1962, Televisi Republik Indonesia lahir, dan menjadi saluran televisi pertama di Indonesia. Pada masa pemerintahan Ir. Soekarno, TVRI digunakan sebagai alat propaganda persatuan nasional, tempat dimana budaya nasional dipanggungkan dan komando pemerintah didengungkan. Kebijakan tersebut bukan sekedar persoalan teknis, tetapi juga untuk menciptakan persamaan paradigma mengenai media komunikasi publik (televisi). Landasan hukum yang mengatur adalah Keputusan Presiden  No 215/1963 yaitu tentang pembentukan Yayasan stasiun televisi TVRI yang diketuai oleh Presiden Indonesia. Selain itu, pada pasal 4 dan 5 menyebutkan bahwa TVRI menjadi alat pembentukan mental dan fisik pada masyarakat Indonesia khususnya membentuk masyarakat yang sosialis. Menurut Kitley, pada masa orde lama, media tidak hanya menciptakan persamaan paradigma saja tetapi juga mampu mendefinisikan penontonnya. Praktik media Pemerintah Jepang dengan Pemerintah Orde Lama terus berlanjut hingga masa orde baru. Pada masa orde lama, negara memonopoli menggunakan TVRI, dengan cara tidak memberikan kebebasan kepada para penonton untuk memiliki pemahamannya sendiri. 

  1. Masa Orde Baru

Praktik monopoli media yang dilakukan negara pada masa orde lama berlanjut hingga masa orde baru. Pada tanggal 5 Januari 1981, Presiden Soeharto mengeluarkan  aturan pelanggaran siaran Niaga. Kitley mencatat hal tersebut sebagai suatu episode penting dalam sejarah penyiaran, yang ditandai dengan menguatnya paradigma penonton. Pada awal masa orde baru, media televisi yang tersedia hanya RCTI, SCTV, TPI, dan TVRI yang menjadi pusat informasi dan hiburan bagi masyarakat. Saluran televisi swasta muncul akibat inisiatif dari putra kedua Soeharto, Bambang Trihatmodjo (pemimpin RCTI), sehingga pada akhirnya, pemerintah memberikan bagi televisi swasta.Hal ini yang menjadi pemicu munculnya stasiun televisi swasta lainnya. Tak hanya itu, pada masa orde baru juga mulai muncul pay-tv, yang hanya bisa dinikmati oleh kaum elit dengan cara berlangganan. Setelah itu, pada tahun 1990 didirikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) oleh putri Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana. TPI menjadi televisi free-to-air (siaran gratis) akibat permintaannya. Akibatnya, RCTI takut kalah bersaing sehingga mendesak presiden untuk mengizinkan mereka melakukan hal yang sama. Dalam waktu dua tahun pemerintah mengubah kebijakan tentang jangkauan televisi komersial menjadi free-to-air. Terdapat 2 kebijakan pada masa ini yaitu Keputusan Menteri Penerangan Pasal 3 No.111 Tahun 1990 tentang Penyiaran Televisi dan UU No.24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.

(Sen dan Hill, 2002) Pada masa orde baru, TVRI yang mengudara secara nasional menjadi tontonan dan tuntunan masyarakat. Hal ini karena Pemerintah menggunakan TVRI sebagai sarana sosialisasi dan komunikasi politik untuk masyarakat.  Menurut Kitley, tayangan pada televisi masa orde baru lebih banyak menyajikan tontonan yang menanamkan ideologi masa orde baru, contohnya tayangan Si Unyil. Si Unyil merupakan salah satu contoh perangkat ideologi masa orde baru karena tayangan tersebut dianggap mampu memberikan pengenalan bagi anak-anak untuk menjadi warganegara yang baik.

  1. Masa Reformasi sampai Sekarang

Pada era reformasi, setelah beberapa waktu statusnya berkembang seiring dengan likuidasinya Deppen. Berdasarkan SK Presiden RI No. 335/M/1999 mengenai pembentukan kabinet persatuan nasional. Melalui PP No. 153 tahun 1999 pemerintah menetapkan badan informasi dan komunikasi nasional sebagai pengganti Deppen. Pada Juni 2000, diterbitkan peraturan pemerintah No. 36 tahun 2000 tentang perubahan status TVRI menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan), yang secara kelembagaan berada dibawah pembinaan dan bertanggung jawab kepada Departemen Keuangan RI. Pada pemerintahan Presiden Habibie, beliau memberikan izin kepada lima stasiun televisi baru di Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 286/SK/Menpen/1999. Pada masa itu, di Indonesia mulai muncul banyak televisi swasta dengan beragam jenis, diantaranya yaitu: televisi publik (TVRI) dan layanan televisi berbayar (kabel). Akan tetapi, akibat krisis moneter yang terjadi, membuat televisi banyak mengalami penurunan, sehingga disiasati dengan mengurangi waktu siaran. Tak hanya itu, UU tahun 1997 tentang penyiaran juga mengalami revisi pada tahun 2002 menjadi UU No. 32 tahun 2002. Pada tahun 2013, terdapat aturan baru mengenai televisi digital yang dimuat dalam Peraturan Menteri No. 32 tahun 2013 mengenai penyelenggaraan penyiaran televisi secara digital dan penyiaran multipleksing melalui sistem terestrial.

 

B. Film 

            Film merupakan media yang cukup menarik di dalam menanamkan pesan kepada khalayak secara luas, khususnya penontonya. Mengutip perkataan dari Ismail (1983, h.47-48) bahwa film mampu memberikan dobrakan pertahan akal dan dapat memberikan keyakinan melalui pesan yang berbicara langsung ke dalam hati penonton. Melalui hal tersebut maka tidak heran jika film kerap kali dijadikan oleh penguasa sebagai alat untuk propaganda pesan demi kepentingan status quo, kultus individu, legitimasi, penaburan hingga pada manipulasi sejarah. Pernyataan ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Sumarno (1994, h.20) bahwa potensi yang dimiliki oleh sebuah film bergantung pada siapa aktor pembuatnya dalam merekam sebuah realitas, dan juga film memiliki fungsi sebagai media komunikasi.

1. Era Penjajahan Belanda

            Produksi film propaganda pertama kali di Indonesia diproduksi pada tahun 1936 oleh Algemeen Nederlandsch-Indisch Film (ANIF) dengan judul Tanah Seberang. Film propaganda tersebut disutradarai oleh Mannus Franken, seorang filmmaker dokumenter asal Belanda. Di dalam film tersebut mengunggul-unggulkan kebijakan transmigrasi yang dilakukan pemerintah Belanda yang memindahkan sebagian penduduk dari Jawa ke Sumatera. Film Tanah Sebarang merupakan pesanan Central Committee for Emigration and Colonialism for Natives yang mendapatkan dukungan sponsor cukup banyak dari berbagai lembaga pemerintahan, termasuk kepolisian dan juga Balai Pustaka (Sen, 2009, h.27).

            Film Tanah Seberang mengisahkan seorang petani bernama Sukromo dan keluarganya berasal dari Jawa yang telah sukses hidup di tanah seberang (Lampung, Sumatera) setelah ikut serta dalam program kolonial Belanda. Awal mula saat Sukrono dan keluarganya di Lampung, dan telah mampu memenuhi kebutuhan primernya melalui hasil panen, kemudian Sukromo membuka lahan yang baru di hutan dan mulai membuat sawah dan bangunan rumahnya sendiri. Bahkan dalam perjalan hidupnya di Lampung, Sukromo telah menjabat kepala desa di Lampung (Sen, 2009, h. 7).

            Perjalanan pengembangan film setelahnya, ANIF yang merupakan sebuah perusahaan film dari Belanda ini mempunyai peranan yang cukup besar bagi sejarah produksi film di Indonesia sebab mempunyai 3 alasan yang kuat. Pertama, ANIF berhasil memproduksi film musikal romantik yang laku keras pada masyarakat Indonesia saat itu, sebab film tersebut merupakan film pertama yang pemerannya secara keseluruhan merupakan orang pribumi dan premis ceritanya berangkat dari skenario yang dibuat asli oleh orang Indonesia. Kedua, perusahaan film tersebut yang pertama kali melakukan produksi film propaganda pemerintah (Belanda-pen). Ketiga, ANIF telah berevolusi menjadi Perusahaan Film Negara (PFN) yang merupakan sebuah unit milik pemerintah Indonesia secara independen pada tahun 1950 (Sen, 2009, h. 26)

2. Era Penjajahan Jepang

            Pada masa kolonial Jepang, film secara nyata telah digunakan sebagai sarana propaganda, sesuai dengan pernyataan yang telah diucapkan oleh Irawanto (2004, h. 9): “Pemanfaatan film sepenuhnya sebagai alat propaganda terjadi pada masa pendudukan Jepang melalui penutupan perusahaan film swasta dan pemusatan produksi di tangan pemerintah pendudukan Jepang”.  Biran (2009) memberikan catatan bahwa Jepang telah sadar akan pentingnya untuk menjadikan film sebagai alat propaganda, hal ini tampak pada saat pendudukan Jepang telah berjalan selama enam bulan dibentuklah Sendenbu (Badan Propaganda dan Penerangan) oleh Gunseikanbu (Pemerintahan Militer Jepang).  Kemudian Sendenbu mendirikan Keimin Bunka Shidosho (Pusat Pendidikan Populer dan Pengembangan Kebudayaan) pada bulan April 1943 yang memiliki peranan untuk melakukan pengembangan kebudayaan Indonesia dengan cara memperkenalkan kebudayaan Jepang dan menjadi sarana pelatihan dan pendidikan banyak seniman di Indonesia (Kurasawa, 1997).

            Jepang tidak memiliki fokus dalam segi komersial melalui film yang mereka produksi, tujuan utamanya adalah untuk melakukan propaganda dan penerangan. Mereka lebih menekankan pada film non-cerita yang memiliki maksud untuk memberikan gambaran bahwa militer Jepang bukanlah aggressor (penyerang), namun justru pembebas bangsa Asia dari praktek perbudakan yang dilakukan oleh bangsa Barat (Ardan, 1992, h. 34).  Film propaganda Jepang kerap kali ingin memberikan sebuah pemahaman bahwa tentara Jepang amat tangguh dan kuat di dalam berbagai arena pertempuran, tujuannya adalah memberikan kesan kepada masyarakat Indonesia, bahwa Jepang bersungguh-sungguh di dalam memperjuangkan Asia Timur Raya dengan menempuh cara apapun dan memusnahkan apa yang menjadi penghalang dalam mencapai tujuannya (Hastuti, 1997, 37-38).

3. Era Orde Lama

Pada masa orde lama, film merupakan tontonan yang tepat dalam menyampaikan sebuah makna pesan.  Hal tersebut pernah disampaikan oleh Gotot Prakosa bahwa melalui film kerap digunakan untuk suatu orientasi bagaimana memanfaatkan politik dan kedudukan yang ada (Prakosa, 2004: 49). Selain itu Budi Irwanto berpendapat bahwa sebagai bagian cara pengelabuan massa, film propaganda bekerja lewat representasi yang bersifat monolitik dan sepihak. Pada tahun 1950-1960-an terdapat film propaganda yang menggambarkan tentang images of soekarno. Film tersebut menggambarkan tentang sebuah representasi Soekarno sebagai Bapak Rakyat. Pada tanggal 19 Desember 1963 tepatnya di Yogyakarta, pidato tentang pembebasan irian barat dari kekuasaan Belanda tersebut disuarakan dengan lantang. Sebab pembebasan tersebut merupakan bukan karena kepentingan pribadi, melainkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Kemudian, menurutnya dalam pidato tersebut hanya sekedar menyuarakan suara hati rakyat agar irian dibebaskan dari kolonial Belanda (Irawanto, 2004: 9-10).

4. Era Orde Baru 

Pada Era orde Baru masih memiliki misi yang sama, yaitu melakukan berbagai propaganda politik melalui media film. Salah satu propaganda politik melalui media film yaitu film G30S/PKI, film tersebut setiap tahun ditayangkan di stasiun TVRI. Kemudian film G30S/PKI mengandung makna propaganda politik, yaitu agar bangsa Indonesia untuk selalu menjaga dan waspada terhadap PKI. Dalam hal ini, Soeharto digambarkan satu-satunya pahlawan dalam menumpas pemberontakan itu (Nurudin, 2001: 37).

Selain itu, landasan kebijakan film G30S/PKI ini menimbulkan keuntungan finansial dan propaganda. Pada tahun 1980, Badan Sensor Film (BSF) mulai menyusun pedoman-pedoman serta Kode Etik Produksi Film Nasional pada tahun 1981. Dalam hal ini bertujuan untuk menginstruksikan bahwa sebuah film tidak boleh beredar jika berpotensi merusak kerukunan agama di Indonesia, membahayakan pembangunan kesadaran nasional, dan mengeksploitasi sentimen kesukuan, agama, keturunan atau memancing ketegangan.

5. Era Reformasi-Sekarang

            Memasuki pada era reformasi hingga pasca reformasi, film tidak lagi dipakai sebagai media propaganda sebab Pemerintah Indonesia telah melakukan pemberhentian pada film yang mengandung pesan propaganda layaknya G30S/PKI. Melalui produk Undang-Undang Perfilman di Indonesia yang telah direvisi pada tahun 2009. Undang-Undang perfilman yang pertama adalah UU No. 8 Tahun 1992, kemudian telah mengalami revisi menjadi UU No. 33 Tahun 2009 yang memberikan tambahan pada fungsi lain dari film di Indonesia melalui pasalnya yang keempat: (1) budaya, (2) pendidikan, (3) hiburan, (4) informasi, (5) pendorong karya kreatif, (6) ekonomi. Melalui hal tersebut film telah dinilai sebagai suatu hal yang memiliki multifungsi, yang pertama adalah sebagai benda yang memiliki nilai ekonomi dan juga benda budaya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ardan, SM. 1992. Dari Gambar Idoep ke Sinepleks. Jakarta: GPBSI.

Arsyad, Azhar, 2010. Media Pembelajaran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Hastuti, Rita Sri. 1992. “Berjuang di Garis Belakang,” dalam Haris Jauhari (ed), Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ismail, Usmar. 1983. Usmar Ismail Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan.

Irawanto, Budi. 2004. “Film Propaganda: Ikonografi Kekuasaan”, Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 8, No. 1 Juli.

Kurasawa, Aiko. 1997. “Films as Propaganda Media on Java Under the Japanese, 1942-1945,” in Grant K. Goodman (ed), Japanese Cultural Policies in Southeast during World War 2. New York: St. Martin's Press.

Nurudin. 2001. Komunikasi Propaganda. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sen, Krishna. 2009. Kuasa Dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru. Jakarta: Ombak.

Soerjokanto. (2003). Definisi Televisi, Jakarta : PT. Gramedia

Sumarno, Marselli. 1994. Perfilman Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Film.

Ardiyanti, H. (2020). PERFILMAN INDONESIA: PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN, SEBUAH TELAAH DARI PERSPEKTIF INDUSTRI BUDAYA (CINEMA IN INDONESIA: SEJARAH DAN REGULASI PEMERINTAH, PERSPEKTIF INDUSTRI BUDAYA). Kajian , 22 (2), 163-179.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun