Memasuki pada era reformasi hingga pasca reformasi, film tidak lagi dipakai sebagai media propaganda sebab Pemerintah Indonesia telah melakukan pemberhentian pada film yang mengandung pesan propaganda layaknya G30S/PKI. Melalui produk Undang-Undang Perfilman di Indonesia yang telah direvisi pada tahun 2009. Undang-Undang perfilman yang pertama adalah UU No. 8 Tahun 1992, kemudian telah mengalami revisi menjadi UU No. 33 Tahun 2009 yang memberikan tambahan pada fungsi lain dari film di Indonesia melalui pasalnya yang keempat: (1) budaya, (2) pendidikan, (3) hiburan, (4) informasi, (5) pendorong karya kreatif, (6) ekonomi. Melalui hal tersebut film telah dinilai sebagai suatu hal yang memiliki multifungsi, yang pertama adalah sebagai benda yang memiliki nilai ekonomi dan juga benda budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Ardan, SM. 1992. Dari Gambar Idoep ke Sinepleks. Jakarta: GPBSI.
Arsyad, Azhar, 2010. Media Pembelajaran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Hastuti, Rita Sri. 1992. “Berjuang di Garis Belakang,” dalam Haris Jauhari (ed), Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ismail, Usmar. 1983. Usmar Ismail Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan.
Irawanto, Budi. 2004. “Film Propaganda: Ikonografi Kekuasaan”, Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 8, No. 1 Juli.
Kurasawa, Aiko. 1997. “Films as Propaganda Media on Java Under the Japanese, 1942-1945,” in Grant K. Goodman (ed), Japanese Cultural Policies in Southeast during World War 2. New York: St. Martin's Press.