Mohon tunggu...
mahasenduro
mahasenduro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pisank Man Hal Baru

20 Maret 2019   10:24 Diperbarui: 20 Maret 2019   10:26 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah yang kita pakai ini hanya titipan, selebihnya penghuni langit sedang memandangi foto kita diatas sana. Alangkah bahagia mereka yang terkenal di langit lewat karyanya. 

Ibarat pemeran utama dalam sebuah panggung kardus yang dipentaskan di balai desa tiap setahun sekali, ternyata nasib Pisank Man tidak sebaik susunan kata puisi yang dia tulis. Dr Talaz mendaftarkan Pisank Man mengikuti kursus teater agar bakat yang dimilikinya bisa tersalurkan dengan bijak.

dokpri
dokpri
"Nak, kamu sekarang sudah saya daftarkan kursus teater. Jangan malas untuk belajar ya, manfaatkan kesempatan itu untuk mencari ilmu." Kata Dr Talaz

"Apa aku bisa paman? Aku ini seorang yang pemalu." Tanya Pisank Man.

"Belajar saja, tidak apa-apa jadi pemalu asal jangan jadi benalu." Jawab Dr Talaz.

"Kadang-kadang aku juga jadi benalu paman." Sanggah Pisank Man.

"Husft.. jangan begitu nak, benalu itu identik dengan hal buruk. Mungkin kamu salah tafsir saja." Kilah Dr Talaz.

"Oh gitu ya paman, aku pikir benalu itu artinya benar-benar pemalu." Papar Pisank Man.

Dr Talaz berspekulasi akan ada hal baru yang bisa Pisank Man dapatkan jika ikut kursus teater. Apalagi pamong belajarnya adalah seorang profesional mantan ahli bermain peran orang gila berpangkat tinggi tingkat desa. Kenapa memilih ahli pemeran orang gila?, sebab saat ini lebih banyak orang gila yang ahli berperan waras begitu batin Dr Talaz. Beliau ingin memupuk jiwa kesederhanaan sejak usia dini kepada Pisank Man. 

"Paman kenapa masih harus kursus teater jika hidup ini sendiri sebuah sandiwara?, tidakkah cukup menjadi insan yang bermoral sampai harus memahami peran gila?". Tanya Pisank Man.

"Kamu belum terjun langsung ke dunia masyarakat. Kamu butuh tempat simulasi untuk mengasah ilmu mempertajam filsafatmu. Mumpung masih libur sekolah carilah ilmu dimana pun saja. Kebetulan hanya kursus teater itu yang gratis biayanya, sabar ya nak serap ilmu semaksimal mungkin." Tegas Dr Talaz.

"Aku takut gila beneran paman." Cemas Pisank Man dengan suara gemetaran.

"Loh... Kok gila beneran Nak?. Kan materinya disesuaikan seusiamu. Lagian juga paman lihat banyak temanmu juga ikut kursus itu. Malahan ada yang sudah lama." Papar Dr Talaz.

"Siapa Paman?." Tanya Pisank Man.

"Kemarin Paman ketemu sama orang tua Cikalan Man. Kamu kenal nak?." Bujuk rayu Dr Talaz.

"Kenal Paman. Aku jadi semangat kalau ada temannya." Jawab Pisank Man.

Hingga malam hari mereka berdua menyulam kesepahaman. Pisank Man dan Dr Talaz memiliki tanggung jawab yang sepadan. Teater model rumah tangga yang ingin saling memperbaiki kwalitas personal. Jadwal kursus teater hari pertama seminggu lagi. Pisank Man hanya memiliki kesempatan hadir sebanyak 4 kali saja selama masa libur sekolah. Meskipun dirinya tidak tahu entah seperti apa materi pelajaran yang diberikan, dirinya masih memiliki modal utama menulis puisi jika sesekali ada perintah dadakan tampil di depan peserta kursus lainnya. Berbeda dengan Cikalan Man yang memang tidak memiliki bakat seni. Keraguannya mengikuti kursus teater semakin menipis. Paling tidak masih ada IQ yang masih dibawahnya itu sudah melegakan. Pisank Man tidak berfikir sedikit pun jika setiap manusia bisa berubah sekejap mata. Padahal Cikalan Man saat ini sedang mempersiapkan diri untuk ikut kursus teater dengan mumpuni. Dirinya belajar origami menggunakan media kardus bekas secara otodidak. Kardus mie instan telah mudah dia bentuk menjadi beragam karya seni. Itu sebabnya dia ingin ikut teater hanya menjadi dekorator panggung, bukan sebagai pemain peran. Di Sekolah, ruang untuk mengexplorasi bakat origami kardus tidak difasilitasi, sebab itu Cikalan Man tidak begitu bersemangat. Dengan adanya kursus teater ini, ada keinginannya tampil menjadi murid berprestasi. Jadi kenakalan murid bisa saja terjadi bukan karena murid bodoh, melainkan sebab lain semisal kurang perhatian dari pihak sekolah. Perhatian asal katanya yaitu hati. Inti berdirinya sekolah sejak zaman kemerdekaan harus menjadi tempat yang baik untuk menguatkan hati, menumbuhkan hati, dan mengobati hati. 

Waktu kursus telah tiba. Pisank Man datang terlambat. Semua peserta kursus teater sudah selesai memperkenalkan diri. Cikalan Man malah terlebih dahulu selesai daripada yang lain.

"Maaf pak guru saya terlambat." Nada ngos-ngosan Pisank Man.

"Oh ya, sini langsung perkenalkan dirimu." Pinta Pak Guru teater.

"Nama saya Pisank Man, udah gitu saja." Sapa Pisank Man.

Peserta lainnya tampak tidak begitu menghiraukan siapa yang berbicara di depan. Cikalan Man memanggil Pisank Man untuk berada di sampingnya. Ruang  belajar kursus teater itu tidak ada bangku, semua murid duduk bersila diatas karpet. Jendela ruangan juga nampak kotor tidak terawat. Pisank Man memiliki rencana hari pertama ini untuk membersihkan ruangan agar semua murid semakin nyaman belajar.

"Pak Guru, bolehkah saya nanti membersihkan ruangan ini?." Tanya Pisank Man.

"Nak, selama itu baik menurutmu lakukanlah. Disini jadikan ini rumah kalian sendiri. Pak Guru ingin kalian menikmati saat proses belajar." Lugas Pak Guru menjelaskan.

"Apa disini tidak ada tata tertibnya pak?". Tanya Pisank Man.

"Tata tertib dibuat karena kita tidak saling percaya bisa berlomba-lomba berbuat kebaikan. Pak Guru tidak ingin membuat peraturan, biarkan kepekaan hati kalian yang Pak Guru tata mulai hari ini. Setiap murid disini harus haus ilmu pengetahuan dan tergila-gila membuat karya. " Jawab Pak Guru. 

"Siap Pak Guru." Sahut Cikalan Man dengan suara paling keras.

"Muridku, Teater itu dirimu. Sandiwara kehidupan ini panggung teater terbesar di dunia. Teater bukan mainan, sebab belajar bersandiwara lebih mudah daripada harus menjadi diri sendiri. Maka kita mulai pelajaran ini dengan kesadaran untuk serius belajar dari seni peran." Mukadimah Pak Guru.

Teater menyangkut peran sedih dan peran bahagia. Namun dalam perkembangannya ekspresi sedih seperti menangis ternyata belum tentu sebuah kesedihan. Bisa jadi orang bahagia pun menangis. Juga ekspresi bahagia seperti tersenyum, ternyata tidak ada tafsir yang mutlak. Bisa saja orang tersenyum dibalik kesedihannya. Kursus teater dimaksudkan agar seutuhnya murid berdiskusi tentang kegilaan menyikapi anomali hati manusia yang bisa dipentaskan dalam sebuah panggung di balai desa. Judul berupa kritik, aspirasi, atau juga tawaran solusi saling bermuhasabah.

"Bagaimana menemukan keasyikan dalam teater ini Pak Guru?." Tanya Cikalan Man.

"Bersyukur Nak, perbanyak bersyukur maka akan sangat nikmat menemukan peran hidupmu." Jawab Pak Guru.

"Berarti semua manusia harusnya belajar teater ya Pak Guru?." Sahut Pisank Man.

"Iya Nak, tuntunan terbaik dalam teater kehidupan ini adalah Kitab Suci. Tidak perlu khawatir untuk berjalan di jalan yang lurus walaupun sendirian dan dianggap gila. Santai saja." Papar Pak Guru.

Jika di sekitarmu mulai banyak orang yang berjudi, berzina, durhaka kepada orang tua maka yakinlah akan banyak profesor yang menafsirkan datangnya bencana alam sebagai keadaan biasa. 

Padahal disitulah seharusnya manusia sadar hukum alam sedang berbicara bahwa alam pun memiliki Tuhan yang disembah. Alam semesta patuh kepada pencipta-Nya. Saat bumi terbelah, manusia binggung mencari terkaan ilmu pengetahuan. 

Sementara hanya orang beriman yang percaya diatas tanah yang dia injak ada begitu banyak kuasa Tuhan. Jangan kita ikuti mereka yang hanya pandai bicara tetapi tidak bisa memberi sebuah jawaban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun