Mohon tunggu...
Karnoto
Karnoto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Me Its Me

Wiraswasta | Pernah Studi Ilmu Marketing Communication Advertising di Universitas Mercu Buana, Jakarta | Penulis Buku Speak Brand | Suka Menulis Tema Komunikasi Pemasaran | Branding | Advertising | Media | Traveling | Public Relation. Profil Visit Us : www.masnoto.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Anda Tak Terkenal, Menulislah!

6 November 2019   19:43 Diperbarui: 6 November 2019   19:57 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam suatu momentum saya terlibat diskusi ringan atau lebih tepatnya nasehat dari Ustadz Samson Rahman, penerjmah Buku Lahtazan. Ada nasehat sang ustadz yang menyadarkan saya sebagai seorang jurnalis, karena waktu itu saya masih aktif sebagai jurnalis di media mainstream.

Kalimat itu kurang lebih begini, usia manusia terbatas tentu kita ingin dikenang meski kita telah tiada. Fikiran kita ingin tetap dibicarakan, hikmah serpihan sejarah hidup kita ingin disajikan sebagai menu kepada generasi penerus maka ada dua pilihan yaitu menulis buku atau sejarah hidup dan fikiran kita ditulis oleh orang lain.

"Kalau kita orang yang luar biasa mungkin ada yang menuliskan fikiran kita, tetapi kalau kita orang biasa saja maka tak ada jalan lain kecuali menulis buku," kata Ustadz Samson Rachman.

Terus terang ini kalimat yang sampai sekarang teringat dan kalimat ini pula mengapa saya getol menulis buku. Alhamdulillah buku pertama saya Speak Brand sudah lahir, sekarang sedang menyelesaikan dua buah buku yaitu Meracik Brand dan Belajar Menjadi Public Relation dari Tokoh Muslim.

Apa yang disampaikan Ustadz Samson Rahman itu pula yang saya sampaikan ketika bertemu dengan beberapa orang yang memiliki beragam profesi, ada yang dokter, pengusaha, politisi ataupun ibu rumah tangga sekalipun. Terlalu sayang serpihan sejarah hidup kita dibiarkan usang dan berlalu seperti debu tersapu angin, hilang entah kemana.

Terlalu eman ketika kita memiliki fikiran - fikiran yang belum tentu orang lain memilikinya, tetapi tenggelam ditelan bumi seiring dengan berakhirnya usia seseorang. Ingat usia punya limit, sementara setiap kita menginginkan fikiran - fikiran yang kita miliki tetap bisa dibaca orang lain, tetap menjadi pembicaraan orang lain.

Jadi apapun kita maka menulislah, kecuali kita menjadi orang yang luar biasa dan orang lain mau menuliskan sejarah dan fikiran kita. Anda seorang pengusaha maka menulislah buku tentang bisnis, Anda seorang dokter maka menulislah tentang dunia kedokteran, Anda ibu rumah tangga sekalipun maka menulislah tentang pengalaman Anda menjadi ibu rumah tangga.

Beberapa tahun lalu saya bertemu dengan komunitas ibu - ibu rumah tangga dan mereka semua telah melahirkan buku. Ada yang menerbitkan buku tentang pengalaman mendidik enam orang anak tanpa pembantu, ada ibu rumah tangga yang menuliskan kisah bagaimana menghadapi ujian rumah tangga dan segala macam serpihan sejarah mereka termasuk fikiran mereka.

Dan saya kagum kepada mereka ternyata saya masih kalah padahal setiap hari pekerjaan saya adalah menulis. Saya sempat terlibat diskusi dengan penggagas komunitas ini yaitu Mba Indari Mastuti, dia adalah perempuan yang pernah gagal saat bisnis real, tetapi justru sukses ketika ia hanya menuangkan konsep bisnis.

Perempuan ini juga beberapa kali menyabet penghargaan bergengsi diantaranya pemenang Pengusaha Mandiri yang diselenggarakan oleh Bank Mandiri. Kini ia konsentrasi melatih ibu - ibu menulis.

Rupanya ada metode yang cukup ampuh untuk mengatasi seseorang yang ingin menulis buku, tetapi tak mampu melakukannya. Problem ini paling menjadi hambatan bagi mereka yang tidak terbiasa menulis meskipun sebenarnya menulis itu sama dengan kita berbicara.

Yang membedakan hanya pada media distribusi fikiran dan gagasan kita. Jika berbicara medianya lidah maka menulis menggunakan tangan. Tetapi substansinya sama, yaitu bagaimana kita menyatukan fikiran, hati dan gerakan fisik.

Memang bagi yang tidak terbiasa menulis, jangankan satu buku satu paragrap pun bisa sehari dan tidak selesai karena saat dibaca ulang tidak memiliki self confidence (percaya diri) dengan tulisannya sendiri. Metode yang dipakai Mba Indari adalah Speak Writer, yaitu metode Anda yang berbicara lalu ada orang yang jago menulis untuk menuangkan dalam sebuah tulisan.

Untuk langkah awal metode ini cukup ampuh karena akan menumbuhkan kepercayaan diri bahwa ternyata ada fikiran yang selama ini terendap dan itu adalah sesuatu yang ditunggu banyak orang. Jadi, kalau ibu rumah tangga saja bisa menulis buku kenapa Anda yang seorang profesional tak bisa?

Saya yakin bisa, apalagi fikiran Anda original, wah itu bisa menjadi letupan bagi Anda menjadi seorang penulis handal. Saking pentingnya menulis, para tokoh muslim pun menuliskan fikiran mereka, ada yang menulis buku tentang kedokteran, menulis tentang astronomi, menulis tentang bisnis, menulis tentang sejarah dan ahli - ahli lainnya.

Anda bisa membayangkan  andaikan tidak ada tokoh muslim yang menulis buku, maka fikiran mereka akan sirna seiring dengan tutupnya usia. Sayang bukan? Jangan pernah berfikiran bahwa sejarah hidup Anda biasa saja. Boleh jadi ada fikiran dan cerita yang Anda miliki justru sudah banyak ditunggu orang di luar sana. Pada akhir tulisan ini saya ingin menanyakan satu hal, yaitu seberapa kuat memori otak Anda menyimpan file kehidupan dan cerita hidup Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun