Mohon tunggu...
Minami
Minami Mohon Tunggu... pegawai negeri -

@maharsiana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Huru-hara FA (Ada Apa dengan Kompasiana?)

5 April 2010   17:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:58 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_111369" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi mengambil dari tulisan Kang Pepih (shutterstocks)"][/caption]

Huru-hara antara Faizal Assegaf melawan Jakob Oetama, Admin Kompasiana, Wijaya Kusumah, dan Linda Djalil rupanya berpengaruh banyak terhadap konstelasi politik dan kekeluargaan yang selama ini (katanya) dijunjung tinggi di kompasiana.

Perseteruan itu bisa dikatakan berdampak sistemik karena menimbulkan reaksi yang beragam. Banyak tulisan kompasianer yang bertolak dari pembekuan akun Faizal Assegaf, termasuk tulisan saya terdahulu. Para 'sahabat' FA yang biasa memberi komen dukungan pada tulisan-tulisan FA yang memojokkan Presiden SBY, kemarin tidak bereaksi saat admin membekukan akunnya.

Ironis memang, saat FA menghujat kepala negara, mereka mendukung sepenuh hati (lihat komen-komen mereka di sana), tapi giliran akunnya dibekukan karena mengkritisi tokoh lain, mereka seolah lari dari tanggung jawab moril. Minimal sekedar basa-basi kepada admin saya kira cukup elegan daripada tidak bereaksi sama-sekali.

Ketika admin yang diwakili Pepih Nugraha memberi semacam ‘pencerahan’ atas kasus itu dengan memposting tulisan Etika dan Moral dalam Menulis, diharapkan kabut misteri pembekuan akun bisa sedikit terkuak dan dipahami kompasianer lainnya. Dalam tulisan itu Kang Pepih menulis di kolom tanggapan,

“Tidak serta merta menutup akun. Semua penutupan postingan dan akun didahului dengan pendekatan personal, juga peringatan lewat imel atau surat-menyurat di Kompasiana. Sebelum memutuskan menutup akun atau postingan, juga mendengar tanggapan atau surat yang masuk dari pembaca, misalnya laporan keberatan karena sebuah tulisan dianggap menghina tanpa dasar dan menodai agama tertentu.Komentar pun demikian, tetap harus pegang etika dan moral dasar dalam menulis!”

dilanjutkan…

“Terhadap para penulisnya selalu kami ingatkan lewat saluran khusus!”

Syukurlah, banyak tanggapan positif yang disampaikan pembaca, hampir seratus persen komen di sana mendukung aksi admin membekukan akun FA, dikarenakan etika dan moral.

Namun, masalah belumlah selesai, justru ada persoalan baru saat Faizal Assegaf membuat tulisan tandingan untuk mematahkan alasan admin membekukan akunnya. Dia menulis di situs pribadinya visibaru.com pada tulisan Itu Watak Jurnalistik Munafik…! Di sana ia menulis sanggahan atas klarifikasi Kang Pepih di tulisan tentang etika dan moral tadi.

[caption id="attachment_111370" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi oleh Faizal Assegaf (visibaru.com)"][/caption]

“Mas Pepih saya bisa buktikan bahwa anda dan admin tidak pernah memberi teguran apapun kepada saya, justru saya yang mengkonfirmasi kepada anda soal akses login yang admin blokir. Namun anda tidak memberi satu jawaban pun. Selanjutnya, yg terjadi di blog itu muncul caci maki dan hujatan. Sebagai manusia saya berhak untuk membela diri saya. Dan saya sangat sayangkan, setelah akun saya diblokir baru muncul pernyataan2 sepihak dari anda dan rekan2... inikah yg dimaksut etika dan moral...?

***

Saya sendiri sebagai salah satu warga kompasiana pernah berseteru dengan Faizal Assegaf dalam tulisan-tulisan yang kami posting. Terakhir, FA menyerang saya secara pribadi, meski katanya sekedar becanda. Saya pun menanggapinya biasa-biasa saja. Hanya ikon senyum saja sebagai reaksi atas tulisannya yang berjudul SBY Pacarin Minami, Itu Baru Oke!

Saya dan FA, begitu juga dengan kompasianer lain, adalah kelompok arus bawah baik di kompasiana maupun di negeri ini. Tidak layak saling berseteru, mencaci-maki, saling tuduh mengatakan penjilat penguasa atau apalah namanya, saling dendam, dan sebagainya, apalagi masih dalam satu rumah. Toh yang menikmati hanya kalangan elit saja. Meski terlihat ‘berseteru di depan televisi, saat duduk manis di kafe-kafe mereka tertawa seolah tidak peduli terhadap goncangan di arus bawah (menilik kisruh kasus Bank Century).

Dulu waktu heboh Federasi Timur Raya (FTR) dan sempat memberi goncangan hebat di kompasiana, saya sama-sekali tidak bereaksi. Saya hanya senyum simpul menyaksikan debat kusir antara FA sebagai penggagas FTR dengan rekan-rekan kompasianer.

Alasan saya tidak bereaksi bukan karena saya tidak cinta terhadap NKRI yang hendak ditinjau ulang oleh FTR. Saya sadar, FTR di kompasiana adalah ibarat seekor semut yang menggigit dinosaurus. Ada tapi tidak akan berdampak apa-apa terhadap eksistensi NKRI. Logikanya, berapa sih yang tahu kompasiana? 17 ribu pengguna internet? 25 ribu? Tanpa ada blow-up dari media, saya kira FTR hanya lah pepesan kosong yang tidak memiliki efek apa-apa. Jadi, untuk apa ditanggapi. Hanya buang-buang waktu dan pulsa bandwitch saja, lebih baik saya gunakan energi positif untuk menulis artikel yang bermanfaat. Waktu itu saya malah menulis trafik kompasiana pasca heboh FTR.

Pada akhirnya akun FTR ditutup. Saya setuju dan tetap tidak bereaksi. Selesai urusan.

Lain halnya jika admin sudah berbicara etika di rumahnya. Itu adalah hak mereka dan saya kira wajar. Sebagai tamu, kita harus tunduk patuh terhadap tata-tertib yang telah digariskan tuan rumah. Tapi, ada tapinya.

Saya cari di tag Tata Tertib (lihat) sama-sekali tidak ada pernyataan yang menyebutkan pelarangan menghujat dan mengkritik pemilik blog kompasiana. Bahkan pelarangan menghujat kepala negara dan person penyelenggara pemerintahan juga tidak diatur. Artinya, sah-sah saja kita mau menulis apa pun meski menghujat presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, dan pejabat-pejabat lainnya. Saya sendiri sering mengulas kebejatan pejabat dan tindak korupnya, tentu dengan data dan fakta yang saya kumpulkan. Bukan berdasar imajinasi dan tuduhan-tuduhan tanpa bukti.

[caption id="attachment_111373" align="alignleft" width="300" caption="Slogan situs Faizal Assegaf (visibaru.com)"][/caption]

Itulah ironi yang saya temukan dan ingin saya tanyakan. Mengapa mengujat dan memfitnah kepala negara diperbolehkan, namun sekedar mengkritik kepala kompasiana saja dilarang dan diberi sanksi tegas (pembekuan dan penutupan akun).

Pada awalnya, penjelasan Kang Pepih cukup membuat saya paham. Tapi, sanggahan Bang Ical langsung meruntuhkan kepercayaan saya akan bahasan etika dan moral dasar yang masih hangat dikemukakan admin kompasiana. Entah mana yang benar. Entah menurut pendapat Anda masing-masing.

Wallahua’lam.

Catatan :

Judul semula tulisan admin tentang etika dan moral adalah Mengapa Faisal Assegaf Selalu Mencaci Kompas dan Jakob Oetama? (lihat alamat url-nya)

Apapun alasannya, cara FA mengkritik Wijaya Kusumah dan Linda Djalil, menurut saya kurang tepat untuk ukuran adat ketimuran. Bagaimana pun juga mereka adalah tokoh senior yang telah ditempa pengalaman.

Saat ini saya merasakan kompasiana mempunyai aura yang berbeda dibanding minggu-minggu sebelumnya, lebih sepi dan kurang menggairahkan lagi. Ah, mungkin hanya perasaan saya saja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun