Mohon tunggu...
MAHAR
MAHAR Mohon Tunggu... -

Jajaka Bandung yang masih berharap bisa melihat lipatan pelangi kembar, masih memendam cahaya bintang jatuh, dan masih suka kepo-in serbuk bunga dandelion yang terbawa angin,,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Homo Dianggap Lebih Baik dari Radikalisme Agama?

12 Maret 2016   00:08 Diperbarui: 12 Maret 2016   00:25 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Radikalisme Agama dan Homoseksual Lebih Berbahaya Mana? Begitulah tulis satu judul di laman website yang di-copas oleh seorang yang (terang-terangan) mengaku gay di akun Line. Saya sedikit tertawa, sepintas terpikir, mungkin buka dia saja yang akan nge-share link tersebut. Setidaknya, orang yang pro homoseks juga akan mendukung isi tulisannya.

Singkatnya, isi artikel itu, menyeolahkan kaum homo bisa memberikan perdamaian sejati. Seolah, polah mencintai sesama jenis kelamin itu lebih manusiawi, lebih fitrahi, tinimbang orang-orang yang mempunyai satu keyakinan keagamaan yang radikal.

Namun tidak ke sana titik pembahasan kali ini. Permasalahannya, apakah fair membandingkan perilaku menyimpang itu dengan radikalisme? Seolah pilihan hanya ada dua, mau memilih dunia ini dikuasai orang-orang radikal yang kerap mencacah darah. Atau pelaku homoseks yang memiliki kelainan orientasi seksual, yang selalu mengklaim tidak pernah membunuh atas nama agama?

Melihat dua perbandingan ini, saya jadi teringat satu tebak-tebakan satire. Ganteng atau cantikan mana Anda dengan monyet? Bisa jawab?

Andai kata Anda menjawab diri sendiri yang lebih ganteng atau cantik. Maka Anda sebanding dengan monyet!

Sederhananya, pertanyaan itu adalah satu pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Mengapa? Karena manusia dengan monyet adalah dua jenis makhluk yang berbeda. Anda manusia, monyet binatang. Gantengnya manusia tidak bisa dibandingkan dengan binatang. Sehingga keduanya bukan sesuatu yang bisa dibandingkan, bahasa kerennya tidak apple to apple.

Kembali ke Homoseks atau Radikalisme Agama? Ah, sungguh geli membandingkannya. Tapi, baiklah, mari kita “jawab”.

Sebelumnya, ada hal menarik ketika mengetengahkan kedua aspek ini. yaitu, keduanya sama-sama lahir dan dilahirkan dari kesalahan persepsi. Ketika kita salah dalam mempersepsikan ajaran agama, ketika kita salah dalam menafsirkan ajaran kitab, maka akan muncul kesalahan dalam pengaplikasian.

Contoh, saat perseteruan agama melibatkan etnosentrisme, jangan heran bisa lahir kaum Budhis yang ekstrimis. Pembantaian yang dilakukan pemeluk ajaran Budha kepada orang-orang yang tidak sekufu. Kasus pembantaian muslim Rohingya di antaranya. Pun ketika bertolak ke Afrika Selatan, antara misionaris Kristen dengan umat muslim di sana, terjadi perseteruan yang tak kalah memilukan hati. Terjadi konflik kemanusiaan di sana.

Kata Radikalisme Agama sendiri sebetulnya mengalami kemunduran makna. Ketika sebelumnya seseorang bersiteguh memegang ajaran disebutnya radikal. Misalkan, muslimah berhijab syar’i radikal. Laki-laki yang berusaha menjaga izzah diri, disebut radikal. Bahkan jihadis yang memperjuangkan keyakinan dan tanah airnya dari jajahan laknatullah Israel juga radikal. Karena yang mereka lakukan adalah menjalankan apa yang diperintahkan kitab suci mereka. Itu definisi muasalnya.

Namun pemaknaan ini bergeser, ketika ada orang yang salah kaprah menjalankan dustur juga dikatakan radikal. Yang membunuh atas nama agama disebut radikal, yang memperkosa atas nama agama, disebut radikal. Pencampuran makna ini membuat kata radikal menjadi tidak khittah lagi. Maka perlu ada pendefinisian baru untuk menyebutkan orang-orang yang menjadi parasit, yang hidup dalam naungan agama. Dengan kata lain, mau mengalamatkan kata radikal ini ke kelompok yang mana?

Misalkan, kita posisikan kepada yang membunuh orang tak berdosa atas nama agama disebut radikal. Maka konsekuensinya, harus ada istilah lain yang meng-cover dan ditunjukkan untuk orang-orang yang memegang teguh ajaran agama. Namun tetap, hemat saya, makna radikal (yang baru) ini tidak bisa diperbandingkan menjadi salah satu yang harus dipilih. Mengapa?

Karena homoseksual juga lahir dari kesalahan persepsi. Yaitu, kesalahan dalam mempersepsikan makna cinta. Ketika cinta berlandaskan nafsu, bukan niat tulus membangun mahligai rumah tangga yang sakinah. Maka, yang dipikirkan hanyalah kepuasan. Bosan dengan seksualitas biologisnya, ia mencari sesuatu di luar kewajaran. Maka tak ayal, di samping homoseks, ada perilaku menyimpang lainnya. Seperti suka bersetubuh dengan anak di bawah umur, dengan hewan, dengan mayat atau benda mati lainnya.

Kata disorientasi ini, sudah barang tentu menggugurkan alibi bahwa ini fitrah (nature). Karena fitrahnya manusia itu berpasangan. Lelaki dan perempuan. Pasti tahukan, Allah pasangkan Nabi Adam itu dengan Hawa, bukan Nabi Adam dengan Huwa (dalam bahasa Arab artinya dia laki-laki).

Dis-orientasi kepuasan ini yang kemudian menular dan memunculkan penyakit baru, sebut saja HIV AIDS. Sebab, penularan penyakit itu bukan saja karena jarum suntik, juga seks bebas, termasuk di dalamnya seks sesama jenis. Belum lagi ditinjau dari sisi perkembangan psikologi, stress, cenderung emosional, dan lain sebagainya.

Nah, mengapa menular? Di beberapa kasus misalkan, anak kecil yang menjadi korban sodomi, faktanya, bila tidak ditangani dengan tepat, suatu saat juga akan melakukan itu pada orang lain. di sini kita lihat dengan cermat, baik sodomi maupun homo merupakan bentuk penyimpangan seksual, maka mungkinkah pengidap homoseks ini tidak akan melakukan hal yang sama? Walhasil, yang namanya hasrat seksual saat itu akan ‘hilang’ ketika disalurkan. Maka bagaimana caranya kaum-kaum tadi menyalurkan hasrat mereka? Kalau tidak ada mangsanya? Hilang begitu saja?

Dan mari kita bayangkan bila cara pandang menyalurkan hasrat seksual ke sesama jenis tadi legal di negeri ini. ngeri yah?!

Logikanya sederhana, ketika sains mengatakan seorang anak lahir dari rahim perempuan yang dibuahi sperma laki-laki, mungkinkah itu terjadi pada dua manusia yang sama-sama memiliki ovarium atau testosteron?

Fakta bahwa radikalisme agama yang membunuh orang-orang tak ‘berdosa’, memang tidak bisa dinafikan, itu jahat sekali. Namun, andaikata membunuh yang tak berdosa tadi sudah diklaim sebagai kejahatan kemanusiaan. Apa kabar dengan membunuh satu generasi secara perlahan? Itu juga kalau belum keduluan di azab Tuhan! []

Peru, 11-03-2106

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun