Kalau ini saya pernah alami saat saya berkunjung ke rumah sepupu. Salah satu paman di rumah itu suka ngobrol memakai bahasa Wolio. Waktu saya jawab dengan bahasa Wolio yang kadang terbata-bata, malah istrinya tertawa sambil berkata dalam bahasa Wolio yang artinya, "Kalau tidak pintar bahasa Wolio, tidak usah pakai!"
Saya kan berusaha supaya memperbaiki dan memperlancar bahasa Wolio saya malah ditertawakan. Seharusnya disuport. Akhirnya malu dong saya melanjutkan obrolan pakai bahasa Wolio. Pakai bahasa Indonesia saja.
Jadi teringat dulu semasa kuliah saya pernah menghabiskan libur semester di kampung sahabat saya di Sulawesi Selatan. Waktu saya ikut bermain sepakbola di lapangan, saya sempat bingung dengan cara apa meminta bola karena mereka saat bermain bola pun menggunakan bahasa daerah mereka. Bahkan mereka mengejek teman mereka yang menggunakan bahasa Indonesia.
Di kampung itu juga saya pernah ikut shalat dan mendengarkan khutbah Idul Adha. Demi Tuhan, sepanjang khutbah saya tidak paham isi dari khutbahnya sebab setelah membuka khutbah dengan bahasa Arab sang khatib melanjutkan khutbah menggunakan bahasa daerah. Padahal dari wajahnya, saya tebak usia khatib masih cukup muda sekitar 25 atau 30 tahunan, tapi begitu fasih berkhutbah menggunakan bahasa daerah, hal yang tidak pernah saya temukan di kampung saya di Baubau selama saya hidup. Bahkan di Masjid Keraton yang merupakan pusat kesultanan Buton di masa lalu, khutbahnya tetap menggunakan bahasa Indonesia. Seandainya saja di kampung saya bisa seperti di kampung teman saya itu.
Saya punya banyak teman dari berbagai daerah di Indonesia ketika masih kuliah dulu. Saya perhatikan, jika mereka bertemu dengan orang yang sekampung dengan mereka, mereka menggunakan bahasa daerah. Jadi mereka mau membiarakan aib saya di depan wajah saya, saya tidak akan marah karena saya tidak paham bahasa yang mereka gunakan. Tapi, hal itu tidak berlaku bagi kami anak-anak muda Baubau. Kalau bertemu tetap menggunakan bahasa Indonesia. Â
Bahasa Wolio Dipakai Untuk Memaki
Bahasa Wolio tidak sepenuhnya lenyap dari obrolan anak-anak Milenial dan Gen Z di Baubau. Saya sering mendengar anak-anak sekolah yang lewat depan rumah atau di tempat tongkrongan mereka menggunakan bahasa Wolio. Yah, meskipun bahasa Wolio yang mereka ucapkan adalah kata-kata makian dan umpatan yang sebenarnya tidak enak didengar. Tapi itulah faktanya yang terjadi di Baubau. Â
Generasi Muda di Keraton Lebih Memilih Bahasa Indonesia
Keraton Buton menurut saya adalah benteng bagi bahasa Wolio agar tetap terjaga. Sayangnya, pada hari ini generasi mudanya lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan mereka sehari-hari di rumah. Saya yang sering berkunjung ke Keraton tidak pernah lagi mendengarkan bahasa Wolio keluar dari anak-anak kecil ketika mereka bermain.
Jadi prediksi akan punahnya bahasa ini dalam 30 sampai 50 tahun ke depan adalah fakta. Sudah seharusnya pemerintah kota Baubau, para tokoh, budayawan, serta masyarakat pada umumnya mencari solusinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H