Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Model - Art Modeling

Hanya seorang lelaki biasa yang senang mendengar hatimu bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Segala yang Kita Miliki Harus Berguna?

25 Januari 2025   20:51 Diperbarui: 25 Januari 2025   20:51 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

3. Makna dalam Kehampaan: Suara Eksistensialis

Ketika puisi ini menyebut "tidak ada manfaat," Jean-Paul Sartre seperti ikut berbicara. "Keberadaan adalah kehampaan," katanya, "tetapi makna adalah karya manusia." Maka, saat sesuatu tampak tak berguna, apakah itu benar-benar fatamorgana kosong? Ataukah kita yang lalai memberi makna?

Martin Heidegger, dalam Being and Time, menyebut manusia sebagai makhluk yang dilemparkan ke dunia. Dalam keterlemparan itu, kita adalah pengukir makna, merajut alasan dari helai-helai keberadaan. Seperti seorang penyair yang menemukan puisi di tengah sunyi, nilai bisa tercipta di tempat yang tak pernah diduga.

Namun, pertanyaan tentang makna tak bisa dilepaskan dari pencarian kebahagiaan. Sebab, apakah ada sesuatu yang lebih kita cari selain kebahagiaan sejati?

4. Kebahagiaan: Melepaskan atau Memeluk?

Keterikatan sering kali membuat kita merasa memiliki, namun apakah itu selalu membawa kebahagiaan? Buddha mengajarkan bahwa keterikatan adalah akar penderitaan. Melepaskan, katanya, adalah jalan menuju kedamaian.

Namun Aristoteles menawarkan pandangan yang berbeda. Kebahagiaan (eudaimonia), baginya, adalah hidup yang mencapai tujuan tertinggi. Di sini, kebermanfaatan melampaui fungsi praktis; ia menjadi kompas untuk menemukan tujuan yang sejati. Maka, adakah "manfaat" yang diam-diam membawa kita menuju kebahagiaan yang abadi?

Di tengah pencarian makna dan kebahagiaan, ada satu hal yang seringkali mengelak dari logika manusia: cinta.

5. Cinta: Ketika Logika Menyerah

Di ujung puisi ini, cinta mengetuk pintu dengan pertanyaan: "Apa kau juga begitu, kasih?" Sren Kierkegaard mungkin tersenyum getir. Baginya, cinta adalah paradoks: sebuah pemberian yang tak meminta, sebuah kehadiran yang tak membutuhkan alasan. Cinta, katanya, adalah lompatan iman---melewati logika, merobek kalkulasi.

Emmanuel Levinas melangkah lebih jauh. Baginya, cinta sejati adalah tanggung jawab etis terhadap yang lain (the Other), sebuah pengakuan terhadap keberadaan orang lain tanpa syarat. Di sini, cinta bukan tentang manfaat atau alasan, melainkan tentang keberanian untuk menerima apa adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun