1. Hukum Memiliki: Sebuah Perspektif Filsafat Puitis
Kita hidup di bawah hukum tak tertulis: menerima yang bermanfaat, menyingkirkan yang tidak berguna. Tapi benarkah hidup bisa diringkas dalam logika sesederhana itu? Apakah yang bukan sampah harus dibuang pada tempatnya? Bukankah ada yang tetap kita genggam meski tanpa alasan, tanpa manfaat, bahkan tanpa kebahagiaan yang terlihat?
Kisah nyata tentang roda kehidupan sering menjadi cermin refleksi. Seperti perjalanan hidup Unang Bagito, pelawak yang sempat meraih popularitas di era 1990-an. Sayangnya, ketika tak lagi laku di dunia hiburan, ia kehilangan segalanya hingga harus tinggal di gudang bersama dua anaknya. (Selengkapnya, baca di sini).
Namun, apakah hidup hanya soal kalkulasi untung-rugi yang menjadi wilayah kekuasaan para Ekonom? Pertanyaan ini menjadi inti dari puisi berikut, "Hukum Memiliki" yang mengundang kita masuk ke ruang permenungan:
Hukum Memiliki
Diterima. Ada manfaat. Ada alasan. Ada bahagia. Â
Tidak ada manfaat. Tidak ada alasan. Tidak ada bahagia. Dibuang. Â
Apa kau juga begitu, kasih?Â(2025)
Puisi ini sederhana, tetapi memancing tanya yang mendalam: Apakah keberadaan sesuatu selalu harus punya guna? Apakah kita tidak melihat dari sudut yang salah? Ataukah ada makna yang lebih dalam dari sekadar kegunaan? Pertanyaan ini membawa kita ke pemikiran utilitarianisme, di mana kebahagiaan dan manfaat sering kali menjadi penentu.
2. Manfaat di Singgasana: Jejak Utilitarianisme
Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, sang punggawa utilitarianisme, berkata bahwa kebahagiaan terbesar untuk sebanyak mungkin orang adalah tujuan moral tertinggi. Dalam "Hukum Memiliki," kita menangkap jejak pemikiran ini: kebermanfaatan menjadi penguasa, alasan menjadi pengikut, dan kebahagiaan adalah mahkota yang dikenakan.
Namun, seperti yang Mill ingatkan, tidak semua kebahagiaan setara. Ada yang dangkal, ada yang luhur. Maka, mungkinkah manfaat tak hanya berbentuk materi, melainkan juga senyum tak terbalas, atau kehadiran yang diam-diam menopang? Ketika kita menggali dimensi ini, manfaat menemukan kedalaman batin yang tak terlihat di permukaan.
Namun hidup tak selalu tentang manfaat atau kebahagiaan kolektif. Bagaimana dengan hal-hal yang tampaknya tak punya guna? Di sinilah suara filsafat eksistensialisme mulai berbicara.