Mohon tunggu...
Jarot Mahardika
Jarot Mahardika Mohon Tunggu... Lainnya - Terus belajar

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Langit

22 Januari 2014   10:36 Diperbarui: 15 Januari 2021   15:41 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu bilang Ayah pergi ke langit. Waktu Aku Tanya kenapa Ayah lama sekali perginya, Ibu menjawab Ayah sedang bertugas di langit mungkin lama perginya, Ibu juga bilang mungkin saja Ayah tidak pulang. Lalu Aku bertanya pada Ibu, apa Ibu tidak kangen dengan Ayah. Aku bilang pada Ibu kalau Aku kangen Ayah. Ayahku sering pergi meninggalkan Aku dan Ibu. Ayahku adalah seorang pilot pesawat tempur, Ayahku seorang tentara.

“Awan kangen Ayah, Ibu… Apa Ayah tidak kangen Awan. Ayah lama sekali perginya.” Kataku. Lalu Aku melihat Ibu berkaca-kaca setelah Aku bilang begitu. Kemudian Ibu menciumku.

“Ayah sedang tugas di langit, Awan jangan kangen Ayah lagi biar Ayah tenang bekerja disana, Nak.” Ibu terus berkaca-kaca sambil kesusahan membendung air matanya. Aku tak bertanya lagi, Aku tahu Ibu pasti juga kangen Ayah.

Sudah sebulan Ayah pergi. Waktu itu selesai sholat Jumat Ayah bilang padaku kalau Ayah akan pergi bertugas. Aku bertanya pada Ayahku kemana dia akan pergi, Ayahku hanya bilang kalau dia akan bertugas terbang di langit, menjaga langit Nusantara. Aku bilang pada Ayahku agar dia menggendongku dulu sebelum pergi. Aku suka sekali digendong Ayah. Ayahku badanya besar, kokoh seperti pohon. Aku juga suka sekali bergelantungan di lengan Ayahku.

Sorenya Aku dengan Ibu ikut mangantar Ayahku sampai ke hanggar. Tak biasanya kami mengantar sampai ke hanggar, kata Ibuku sekali-sekali tidak apa-apa biar bisa melihat Ayah naik pesawat sampai terbang ke langit. Aku senang sekali, Ayah juga menggendongku sekali lagi sebelum naik ke pesawat.

“Ayah akan terbang ke langit, Awan baik-baik di rumah. Awan harus menjaga Ibu.” Kata Ayahku

“Kenapa Awan harus jagain Ibu, Awan kan masih kecil?”

“Karena kamu laki-laki, Awan. Laki-laki harus menjaga perempuan.”

“Iya, Ayah.. Awan janji mau jagain Ibu.”

Setelah itu Ayah memelukku erat sekali, lama sekali… seperti Ayah tak mau melepas pelukanku. Sebelum ahirnya Ayah naik tangga pesawat, Kami berfoto dan Ayah pun terbang. Aku terus melambaikan tangan sampai pesawat Ayah hilang di balik awan.

Aku suka sekali langit, kata Ayah suatu saat nanti kalau sudah besar Aku juga harus pergi ke langit seperti Ayah. Terbang seperti burung dan bisa melihat bumi dari ketinggian. Kata Ayah langit itu indah. Aku ingin seperti Ayah biar bisa pergi ke langit.

Kalau langit itu benar-benar indah, kenapa Ayah tak mengajakku ke langit? Mungkin harus menunggu Aku besar dulu biar bisa terbang ke langit.

Sejak Ayah tak pulang-pulang dari langit, orang-orang jadi semakin sayang sama Aku. Sekarang saudara-saudaraku, paman-paman dan tante-tante sering berkunjung ke rumah. Mereka menggendong-gendong Aku, megelus-elus kepalaku dan memberiku hadiah. Teman-teman Ayahku juga berdatangan, bergantian menggendongku dan memelukku. Komandan Ayahku yang menurutku galak juga tiba-tiba menjadi baik, Dia datang ke rumah dan memberiku hadiah pesawat-pesawatan seperti yang sering dinaiki Ayah. Aku senang sekali, ternyata Komandan Ayahku orang baik. Kakekku juga datang ke rumah. Katanya rumah Kakekku jauh sekali, harus terbang dengan pesawat jika mau kerumahku. Kata Ibuku dulu Kakekku juga seperti Ayah, terbang kemana-mana dengan pesawat. Sekarang Kakekku sudah tua, sudah tidak terbang seperti Ayah lagi.

Aku bertanya pada Kakekku kenapa akhir-akhir ini banyak pesawat yang mendarat di gunung dan jurang, apa Ayah juga mendarat di sana? Aku melihatnya di TV. Kakekku bilang kalau pesawat itu seperti burung, suatu saat akan hinggap. Mungkin di gunung, mungkin juga berhenti di jurang. Kalau Ayahku, kata Kakekku, dia tidak mendarat. Sekarang Ayah bertugas di langit, menjaga kita semua agar tetap aman. lalu Kakek memelukku erat sekali sampai badanku sakit. Matanya berkaca-kaca.

Biasanya setiap maghrib Aku, Ayah , dan Ibu selalu sholat bersama-sama. Biasanya Aku sholat disamping Ayah kemudian Ibu dibelakang Ayah. Sekarang Aku tak lagi sholat disebelah Ayah, Aku sholat disebelah Ibu. Setiap selesai sholat Ibu menyuruhku agar Aku berdoa untuk Ayah. Kata Ibu, berdoalah untuk Ayah agar Ayah selamat di langit, Ayah akan senang kalau Aku berdoa untuknya. Akupun berdoa untuk Ayah.

“Ibu, kenapa Ayah tidak menelpon?” kataku setelah berdoa.

“Biasanya kalau Ayah pergi pasti menelpon, selain itu biasanya Ayah juga mengirimkan fotonya. Kenapa sekarang tidak, Ibu?” Ibuku tersenyum sambil bibirnya bergetar-getar.

“Ayah tidak mendarat Anakku, di langit Ayah tidak bisa menelpon, juga kirim surat.” Aku melihat mata Ibu berkaca-kaca.

“Tidurlah Awan, biarkan Ibu berdoa lagi untuk Ayah.” Aku menuruti saja apa kata Ibuku.

Aku pernah bertanya pada Ibu, kenapa Ayah lama sekali di langit? Sebenarnya apa tugas Ayah di langit? Apa Ayah tidak lelah lama-lama di langit? Kata Ibu, Ayah adalah seorang yang hebat, dia tidak akan pernah lelah di langit. Ayahmu menjaga langit agar tetap damai. Ayah menyelamatkan pesawat-pesawat yang terkena badai di langit. Ayahmu orang yang hebat. Apa Ayah juga memimpin pasukan seperti disini? Iya, di langit Ayah juga memimpin pasukan sama seperti disini. Banyak teman Ayah juga bertugas di langit.Kemudian Ibu bilang, makanya tidak usah menunggu Ayah pulang sebab di langit Ayah sedang menjalankan tugas mulia. Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti, kemudian Ibuku matanya berkaca-kaca lalu Aku memeluknya. Sepertinya Ibu sedang sedih, Aku ingin menjaga Ibu seperti pesan Ayah sebelum pergi.

Sejujurnya Aku sangat rindu dengan Ayahku. Aku rindu saat bergelantungan di lengan Ayah yang kokoh. Aku rindu diajak jalan-jalan sore naik motor besar Ayahku. Ayahku punya banyak cerita, Aku rindu cerita-ceritanya. Ayahku juga pandai memasak. Setiap libur kerja, Ayahku memasak untuk Ibu dan Aku selalu membantunya. Aku benar-benar rindu sama Ayah. Aku pengin berenang lagi dengan Ayah, Ayahku pandai berenang. Tapi kalau kemudian ingat bahwa Ayah harus bertugas menjaga langit, Aku hanya bisa diam. Kata Ayah Aku tak boleh menangis, Ayah memberiku nama Awan Putra Angkasa Perkasa katanya agar Aku menjadi lelaki yang kuat, lelaki kuat tak boleh menangis kata Ayahku.

Seharusnya Ayah menelponku atau mengirim surat, masa Ayah tidak rindu padaku? Mungkin Ayah ingin Aku yang menelponya atau mengirimi surat lebih dulu. Tapi kata Ibu, di langit tidak bisa menelpon. Mungkin Aku bisa mengirim surat untuknya. Tiba-tiba Aku ingat Kak Sela, dia adalah sepupuku, anak pamanku. Kak Sela orang baik, pasti mau membantuku. Kak Sela sudah sekolah di Sekolah Dasar, dia pandai membaca dan menulis, pasti bisa membantuku.

Sejak Ayah tak pulang-pulang, Kak Sela selalu main ke rumah tiap sabtu dan minggu. Aku senang sekali ketika Kak Sela datang sabtu ini. Aku sudah menunggunya sejak pagi. Kak Sela seperti kebingungan ketika Aku minta bantuan agar menulis surat untuk Ayah. Kak Sela bertanya kenapa harus menulis surat? Aku jawab saja Aku kangen Ayah, sekarang Ayah di langit sedang sIbuk bertugas menjaga langit. sudah lama tidak pulang, mungkin tidak sempat menulis surat untuk Awan makanya Awan saja yang mengirim surat.

“Kak Sela bisa bantu kan?”

“Iya, kakak bantu.” Lalu Kak Sela mengambilkanku secarik kertas dan pena.

“Awan mau bilang apa ke Ayah?”

“Awan cuma mau bilang kalau Awan kangen sama Ayah. Awan tau Ayah sedang sIbuk di langit. Awan pengin cepat besar biar bisa terbang ke langit membantu Ayah bekerja.”

“Ada lagi yang lain?” kata Kak Sela. Aku menggelengkan kepala.

“Aku juga mau mengirim foto ini untuk Ayah. Ayah pasti senang.” Lalu Aku memperlihatkan fotoku bersama Ayah dan Ibu sebelum Ayah terbang. Kak Sela mengangguk.

“Mmm.. apa Awan sudah bisa tanda tangan?”

“Untuk apa tanda tangan? Awan belum bisa.”

“Kata Ibu guru kakak, kalau menulis surat harus dikasih tanda tangan dari pengirimnya. Biar tau kalau surat itu asli.” Aku bingung, Aku mana bisa tanda tangan. Aku pengin cepat sekolah biar bisa menulisa surat dan tanda tangan seperti Kak Sela. Kak Sela diam sejenak, tapi kemudian tersenyum seperti telah menemukan sesuatu.

“Ahaa, begini saja Awan…” lalu Kak Sela mengoleskan tinta penanya di jempol tanganku. Kemudian menempelkan jempolku di surat itu.

“Ini namanya cap jempol, sama dengan tanda tangan.” Lanjut Kak Sela. Aku tersenyum senang. Kemudian Kak Sela memasukkan surat dan foto itu ke dalam amplop lalu mengelemnya.

“Awan, nama lengkap Ayah siapa? Biar kak Sela tuliskan di amplop.”

“Satria Dirgantara.” Aku senang sekali menyebut nama Ayahku karena Aku hapal nama Ayahku.

“Bagaimana surat ini bisa sampai ke Ayah, kak?” katAku.

“Biasanya kalau mengirim surat harus lewat pos, tapi petugas pos tidak mengantar surat sampai ke langit.” kata Kak Sela. Lalu Aku bersedih.

“Begini saja, biar kak Sela titip suratnya ke Ayah kak Sela. Ayah kak Sela juga sering terbang ke langit, mungkin bisa dititipkan.” Mendengar jawabannya Aku kembali senang.

Pada saat makan malam Aku ceritakan pada Ibu kalau Aku mengirim surat untuk Ayah. Aku juga menceritakan isi suratku. Ibu tersenyum dan bibirnya bergetar lalu matanya berkaca-kaca sebelum akhirnya memelukku erat sekali.

“Apa Ayah akan membalas surat Awan, Ibu?”

Ibu diam lalu pelan-pelan mengangguk. Kata Ibuku berdoa saja agar suratku dibalas, tapi juga jangan kecewa kalau suratku tak dibalas karena Ayah sangat sIbuk disana. Aku hanya diam saja.

Setelah makan Ibu bercerita. Kini Ibulah yang bercerita setiap malam. Ibu bercerita tentang Ayah, tentang kehebatan-kehebatan Ayah. Lalu Aku bertanya, kenapa harus Ayah yang bertugas di langit? Kata Ibuku hanya oranag hebat yang bisa bertugas di langit, dan Ayah adalah orang hebat. Lalu Aku bertanya, apa Ayah juga punya kantor yang nyaman seperti disini, dilangit kan sering hujan kasian Ayah. Kata Ibuku Ayah juga punya kantor di langit, jadi jangan khawatir. Ibu terus bercerita sampai Aku tertidur.

Aku terjaga ketika wajahku terasa basah oleh air yang hangat. Aku hanya bermimpi. Aku merasa Ibu sedang menciumi Aku. Samar Aku mendengar

“Mas Tio… kamu tahu Aku dan Awan tak pernah baik-baik saja setelah kau tinggal… Awan sering menanyakanmu, Aku tak tahu harus bilang apa.”

Lalu kurasakan wajahku semakin basah oleh air hangat itu, perlahan suara Ibu berubah menjadi isakan tangis yang memilukan. Aku belum pernah melihat Ibu menangis seperti ini. Ibu megusap wajahku dengan lembut, Aku tetap memejamkan mata. Aku merasa terbang di langit, melayang di bawah hujan. Lamat Aku mendengar Ibu berkata “Mas Tio, Aku belum siap mengatakan pada Awan….”

Lalu Aku kembali terbang, kali ini tak disertai hujan, langit cerah, Aku melihat Ayah terbang bersama burung-burung jauh di depanku. Aku melihat Ayah tersenyum sambil melambaikan tangan.

Pagi harinya, ketika mau makan Aku melihat sebuah surat di atas meja makan. Lalu Aku tanyakan pada Ibu apakah ini surat dari Ayah. Ibuku tersenyum sambil mengangguk.

“Makanlah dulu lalu setelah itu Ibu akan bacakan surat dari Ayah.”

Aku senang sekali mendengarnya, Aku makan dengan lahap dan cepat. Setelah itu Aku mencuci tangan dan mengambil surat dari Ayah sambil menunggu Ibu selesai makan.

Selesai makan, Ibu membacakan surat dari Ayah. Dalam surat itu dikatakan bahwa Ayah juga kangen Awan. Aku senang sekali mendengarnya. Lalu Ibu melanjutkan, katanya Awan tak perlu mengirim surat lagi untuk Ayah karena Ayah bisa melihat Awan dari langit. Ayah selalu melihat Awan sambil bertugas katanya. Aku sedih karena tak boleh lagi mengirim surat, tapi tidak mengapa karena Ayah selalu melihatku dari langit.

“Awan tidak boleh sedih, hari ini kita akan jalan-jalan ke bandara. Disana kita bisa melihat langit yang luas. Di sana nanti Ayah akan lebih mudah melihat Awan.”  Aku senang sekali mendengar Ibu berkata begitu.

Sesampainya di bandara, Aku berlarian ke tepi landasan. Aku terus berlari sambil menegadah. Barangkali Aku bisa melihat Ayah di langit, kalaupun tidak pasti Ayah bisa melihat wajahku lebih jelas karena Aku menengadah.

Setelah lelah berlarian Aku menghampiri Ibu.

“Kenapa Ibu tidak menengadah? Pasti Ayah senang bisa melihat kita.”

Ku lihat Ibu tersenyum, bibirnya bergetar lalu Ia menangis. Ibu menangis sambil memelukku. Aku heran kenapa sekarang Ibu jadi sering menangis.

Yogjakarta, 13 Januari 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun